Nasional
Beranda » Berita » Islam di Tengah Sengkarut Politik Nasional: Iman atau Kepentingan?

Islam di Tengah Sengkarut Politik Nasional: Iman atau Kepentingan?

Gambar Ilustrasi
Gambar Ilustrasi

SURAU.CO-Islam di tengah sengkarut politik nasional kembali menjadi sorotan dalam setiap siklus elektoral. Islam di tengah sengkarut politik nasional tidak lagi tampil sebagai nilai moral yang mempersatukan, melainkan sebagai komoditas yang bisa dijual demi kekuasaan. Di antara semangat iman dan ambisi duniawi, banyak aktor politik yang memanfaatkan simbol agama demi meraih simpati umat. Fenomena ini memunculkan satu pertanyaan besar: apakah agama menjadi dasar perjuangan atau hanya topeng kepentingan?

Penting bagi kita untuk menelaah lebih dalam bagaimana Islam diseret dalam pusaran politik nasional dan sejauh mana peran keimanan tetap terjaga di tengah tarik-menarik kepentingan elite.

Simbol Islam dan Politik Identitas dalam Kontestasi Politik

Para politisi kerap tampil religius menjelang pemilu. Mereka mengenakan peci, bersorban, dan rajin berkunjung ke pesantren demi membangun citra Islami. Strategi ini menjadi bagian dari politik identitas yang membingkai Islam sebagai pembeda utama di tengah masyarakat plural.

Namun, penggunaan simbol agama secara berlebihan justru mempersempit makna Islam. Nilai universal seperti keadilan dan persatuan tergeser oleh narasi permusuhan antar kelompok. Alih-alih memperkuat keimanan umat, politik identitas justru menciptakan polarisasi dan konflik horizontal.

Beberapa kasus menunjukkan bagaimana kampanye yang mengatasnamakan Islam memicu ujaran kebencian, fitnah, hingga kekerasan simbolik. Dalam konteks ini, para pelaku politik tidak memuliakan ajaran agama, melainkan memperalatnya demi kepentingan elektoral.

Peduli Sumatera: Saat Saudara Kita Menjerit, Hati Kita Harus Bangkit

Umat Islam dan Dilema Memilih dalam Politik Elektoral

Umat Islam di Indonesia menghadapi dilema besar ketika terjun ke bilik suara. Mereka ingin memilih pemimpin yang taat beragama, tetapi sering kali harus berhadapan dengan propaganda agama yang menyesatkan. Narasi seolah-olah hanya satu calon yang mewakili Islam mempersempit ruang berpikir rasional.

Dalam situasi seperti ini, iman dan akal sehat perlu berjalan beriringan. Umat tidak boleh terjebak pada penampilan luar yang belum tentu mencerminkan komitmen pada nilai Islam. Kepentingan politik bisa menyamar dalam wajah keagamaan, dan hanya dengan literasi politik yang tinggi umat mampu membedakannya.

Masyarakat juga perlu sadar bahwa memilih pemimpin adalah bagian dari tanggung jawab moral, bukan sekadar ritual lima tahunan. Islam tidak mengajarkan fanatisme buta, melainkan mengedepankan pertimbangan akhlak dan maslahat.

Gedung Parlemen

Gedung Parlemen di Senayan

Ulama dalam Politik: Penjaga Moral atau Alat Kekuasaan?

Peran ulama dalam politik sangat strategis karena mereka dipercaya menjadi rujukan moral oleh umat. Namun, tidak semua ulama mampu menjaga jarak dari godaan kekuasaan. Beberapa justru terlibat aktif dalam kampanye dan menunjukkan keberpihakan yang terang-terangan.

Kondisi ini memunculkan kecurigaan publik terhadap independensi para tokoh agama. Ketika ulama menjadi juru bicara politisi, maka pesan-pesan keislaman yang mereka sampaikan kehilangan bobot spiritualnya.

Asosiasi Ma’had Aly Dorong PenguatanDirektorat Jenderal Pesantren

Ulama sejatinya berperan sebagai pengawal moral bangsa. Mereka harus berani menegur kekuasaan yang zalim, bukan justru menjadi pelindungnya. Dengan berdiri di atas semua golongan, ulama bisa menjaga keseimbangan dan mencegah umat terseret dalam pusaran konflik kepentingan.

Mengembalikan Islam sebagai Pedoman Etika Politik

Islam mengajarkan prinsip keadilan, amanah, dan musyawarah sebagai dasar dalam kehidupan politik. Nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi etika bersama, bukan hanya slogan saat kampanye. Sayangnya, banyak pihak yang mengabaikan substansi ajaran ini dan hanya fokus pada simbol-simbol luar.

Gerakan Islam moderat seperti wasathiyah perlu diperkuat agar mampu menahan laju politisasi agama. Organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sudah memberi contoh bagaimana berdakwah tanpa terjebak dalam kepentingan kekuasaan. Mereka fokus pada pendidikan, kesehatan, dan penguatan masyarakat sipil.

Untuk mengembalikan Islam ke jalur etika politik, perlu sinergi antara tokoh agama, akademisi, dan masyarakat. Umat juga harus aktif menolak narasi keagamaan yang menyesatkan dan memilih pemimpin berdasarkan integritas, bukan sekadar atribut religius.

Tren Islam Politik di Era Pasca-Reformasi

Pasca-reformasi, partai berbasis Islam sempat mengalami lonjakan dukungan. Namun dalam beberapa pemilu terakhir, elektabilitas mereka menurun. Lembaga survei seperti LSI menunjukkan bahwa publik mulai kritis terhadap partai yang mengklaim Islam namun gagal memberi keteladanan.

Banjir Peminat, Kemenag Tambah Madrasah Aliyah Unggulan

Sementara itu, muncul tren baru berupa gerakan Islam non-partisan yang lebih fokus pada pemberdayaan sosial. Mereka menolak terlibat langsung dalam kontestasi politik praktis tetapi tetap aktif mengawal kebijakan publik. Gerakan ini menunjukkan bahwa Islam bisa tetap relevan dan bermartabat dalam politik, asalkan tidak dipolitisasi.(Hen)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement