Opinion
Beranda » Berita » Etika Memviralkan Aib dalam Pandangan Islam

Etika Memviralkan Aib dalam Pandangan Islam

Media (Gambar Ilustrasi)
Media (Gambar Ilustrasi)

SURAU.CO-Etika memviralkan aib dalam pandangan Islam adalah persoalan besar di era media sosial. Banyak yang belum menyadari bahwa etika memviralkan aib dalam pandangan Islam bukan hanya urusan pribadi, tapi juga menyangkut dosa sosial dan kehancuran nilai keadaban umat.

Fenomena ini menjadi semakin relevan ketika siapa pun bisa menjadi “hakim” di dunia maya. Hanya dengan sekali klik, kehormatan seseorang bisa hancur. Tapi bagaimana sebenarnya Islam memandang praktik membuka aib orang lain?

Aib dan Larangan Membuka Aib Sesama Muslim

Islam memiliki prinsip tegas dalam menjaga kehormatan manusia. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Dalam pandangan syariat, aib adalah bagian dari kehormatan (al-‘irdh) yang wajib dijaga. Membuka aib tanpa keperluan syar’i termasuk ghibah (menggunjing) atau bahkan fitnah jika tidak terbukti benar. Bahkan dalam kasus nyata sekalipun, Islam mendorong penyelesaian tertutup melalui proses adil, bukan diviralkan.

Etika Menyebar Informasi dan Dampak Sosial Aib yang Viral

Islam mengajarkan prinsip tabayyun atau klarifikasi sebelum menyebarkan informasi. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 6 mengingatkan,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Masyarakat digital sering kali menyebarkan konten aib demi viral, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis terhadap korban. Padahal, menyebarkan aib bisa menjadi dosa jariyah jika terus dibagikan.

Dampak viralisasi aib antara lain:

  • Merusak nama baik seseorang tanpa proses hukum

  • Menyulut ujaran kebencian atau persekusi

  • Menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan dalam masyarakat

    Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

  • Menormalisasi pelanggaran etika publik

 

Gambar Ilustrasi

Gambar Ilustrasi

Antara Kritik Konstruktif dan Pengumbaran Aib

Islam tidak melarang nahi munkar (mencegah kemungkaran), tetapi tetap harus dengan cara yang beradab, santun, dan penuh hikmah. Melaporkan ke pihak berwenang, memberi nasihat pribadi, atau membuat edukasi tanpa menyebut nama adalah cara-cara Islami yang lebih beretika.

Perbedaan antara kritik konstruktif dan pengumbaran aib:

Kritik Konstruktif:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

  • Fokus pada isu

  • Bertujuan perbaikan

  • Tidak menyebut identitas pribadi

  • Dilakukan dalam konteks edukatif

Pengumbaran Aib:

  • Fokus pada individu

  • Bertujuan menjatuhkan

  • Menyebut jelas identitas korban

  • Dilakukan untuk sensasi atau emosi

Balasan Dunia dan Akhirat Bagi Pelaku Pengumbar Aib

Menurut para ulama, membuka aib tanpa alasan syar’i termasuk dosa besar. Bahkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa membuka aib adalah salah satu bentuk penistaan terhadap martabat manusia yang bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan syariat).

Tak hanya berdosa, pelaku juga bisa terkena hukuman sosial: kehilangan kepercayaan, tercoreng reputasi, bahkan berpotensi terkena hukum UU ITE (jika dalam konteks Indonesia).

Menutup Aib: Jalan Menuju Keberkahan Sosial

Menjaga rahasia dan menutup aib orang lain adalah bagian dari akhlak mulia seorang Muslim. Sebaliknya, mengumbar aib dapat membuka peluang terjadinya perpecahan dan dendam sosial.

Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan orang lain…” (HR. Bukhari-Muslim)
Inilah esensi dari ukhuwah Islamiyah: menjaga kehormatan sesama agar masyarakat hidup dalam kedamaian dan saling percaya.

Di era digital yang cepat ini, setiap Muslim harus lebih bijak saat memakai media sosial. Mengedepankan etika Islam bukan sekadar soal pahala dan dosa. Ini juga menyangkut kehormatan pribadi, kepercayaan sosial, dan pentingnya menciptakan ruang publik yang aman dan sehat untuk semua, Daripada menyebar aib, lebih baik menjaga martabat sesama.

Dengan saling menjaga, umat akan lebih kuat. Inilah inti ukhuwah Islamiyah: membangun kedamaian, bukan menyulut permusuhan di dunia nyata maupun dunia maya.(Hen)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement