Kisah
Beranda » Berita » Kisah Abdurrahman bin Auf: Saudagar Surga yang Takut pada Kekayaannya

Kisah Abdurrahman bin Auf: Saudagar Surga yang Takut pada Kekayaannya

Ilustrasi Saudagar

SURAU.CO – Sejarah Islam mencatat banyak sahabat Nabi sebagai teladan agung bagi umat. Namun, ada satu sosok yang kisahnya sangat unik, yaitu Abdurrahman bin Auf. Beliau merupakan salah satu dari sepuluh sahabat yang Rasulullah jamin masuk surga. Istimewanya, beliau juga seorang saudagar kaya raya. Akan tetapi, limpahan harta itu justru menjadi sumber ketakutan terbesarnya. Kisah hidupnya mengajarkan kita cara sejati dalam memandang dunia.

Sejak awal dakwah Islam, Abdurrahman bin Auf telah mengikrarkan keimanannya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam kelompok Assabiqunal Awwalun atau pemeluk Islam pertama. Sebagai pebisnis ulung di Mekkah, ia memiliki hampir segalanya. Namun, panggilan iman menuntut sebuah pengorbanan total. Ketika perintah hijrah tiba, ia dengan ikhlas meninggalkan seluruh aset dan hartanya di Mekkah. Ia pun tiba di Madinah hanya dengan pakaian yang melekat di badan.

Memulai Kembali dengan Kemandirian

Setibanya di Madinah, Rasulullah SAW segera mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Mekkah dengan kaum Anshar dari Madinah. Dalam program ini, Rasulullah mempersaudarakan Abdurrahman dengan Sa’ad bin Rabi’, salah seorang terkaya di Madinah. Sa’ad lantas menawarkan bantuan yang sangat tulus. Ia berkata, “Aku adalah orang terkaya di Madinah. Ambillah separuh hartaku. Aku juga memiliki dua orang istri. Pilihlah salah satu yang kau suka, akan aku ceraikan untukmu.”

Tawaran tersebut menunjukkan betapa dalamnya ikatan persaudaraan yang diajarkan Islam. Meskipun demikian, Abdurrahman bin Auf menunjukkan kemuliaan dan kemandiriannya. Dengan halus, ia menolak tawaran itu. Ia hanya memohon, “Semoga Allah memberkahi hartamu dan keluargamu. Cukup tunjukkan saja di mana letak pasar.”

Berbekal keahliannya, ia pun segera memulai bisnis di pasar. Awalnya, ia berdagang mentega dan keju sederhana. Namun, berkat kerja keras dan keberkahan dari Allah, usahanya melesat dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia sukses membangun kembali bisnisnya dan menjadi saudagar kaya. Hartanya bahkan terus bertambah hingga melimpah ruah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Saat Harta Menjadi Sumber Ketakutan

Pada akhirnya, kekayaan Abdurrahman bin Auf menjadi legenda di seluruh Jazirah Arab. Akan tetapi, ia tidak pernah silau oleh gemerlap dunia. Justru sebaliknya, semakin banyak hartanya, semakin besar pula rasa takutnya kepada Allah. Ia senantiasa khawatir bahwa harta itu akan memberatkan hisabnya di akhirat kelak. Perasaan inilah yang kemudian mendorongnya untuk berinfak tanpa henti.

Salah satu kisahnya yang paling terkenal menggambarkan hal ini. Suatu hari, sebuah kafilah dagang yang terdiri dari 700 unta memasuki Madinah dan menggemparkan penduduk. Seluruh unta itu penuh dengan barang dagangan milik Abdurrahman bin Auf. Aisyah RA yang mendengar keributan itu lantas berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Abdurrahman bin Auf akan masuk surga sambil merangkak’.”

Ketika kalimat itu sampai kepadanya, Abdurrahman langsung bergetar ketakutan. Ia cemas jika hartanya benar-benar memperlambat jalannya menuju surga. Akibatnya, tanpa berpikir panjang, ia mengambil keputusan fenomenal. Ia berkata, “Saksikanlah, seluruh kafilah ini beserta muatannya aku sedekahkan di jalan Allah.” Seketika itu juga, ia membagikan seluruh 700 unta dan muatannya kepada kaum fakir miskin.

Kedermawanan Tanpa Batas

Tentu saja, tindakan itu bukanlah satu-satunya bukti kedermawanannya. Sepanjang hidupnya, Abdurrahman bin Auf terus mengalirkan hartanya di jalan Allah. Ia pernah menyumbangkan 40.000 dirham perak. Di lain waktu, ia bersedekah 40.000 dinar emas. Selain itu, ia juga pernah menghibahkan 500 kuda dan 1.500 unta untuk para pejuang Islam.

Perhatiannya pada sesama sangatlah besar. Ia memberikan santunan rutin kepada para veteran Perang Badar. Bahkan, ia mewasiatkan 400 dinar emas untuk setiap veteran Badar yang masih hidup saat ia wafat. Selama hidupnya, ia juga telah memerdekakan lebih dari 30.000 budak.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Menangis di Tengah Hidangan Mewah

Meskipun hidupnya bergelimang harta, hati Abdurrahman bin Auf tetap terpaut pada akhirat. Suatu ketika, pelayannya menyuguhkan hidangan lezat untuk berbuka puasa. Bukannya bersuka cita, ia justru menangis tersedu-sedu.

Sambil terisak, ia berkata, “Mus’ab bin Umair jauh lebih baik dariku. Ia wafat di zaman Rasulullah dan hanya memiliki sehelai kain untuk kafannya. Jika kain itu ditarik untuk menutupi kepala, kakinya terbuka. Jika digunakan untuk menutupi kaki, kepalanya terlihat.” Ia melanjutkan, “Kini, dunia telah dibukakan untuk kita. Aku takut pahala kita telah disegerakan di dunia ini.”

Ketakutannya menunjukkan kedalaman imannya. Ia khawatir nikmat dunia akan mengurangi jatahnya di surga. Inilah cerminan seorang hamba sejati, yang hartanya hanya berada di tangan, tidak pernah masuk ke dalam hati. Abdurrahman bin Auf adalah bukti nyata bahwa kekayaan dapat menjadi jembatan menuju surga, asalkan kita mampu menaklukkannya dengan kedermawanan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement