Surau.co — Sosial media (Sosmed) dengan berbagai kontennya bisa menjadi hiburan yang tak ada habisnya bagi kesehatan jiwa kita. Namun di sisi lain, Sosmed juga bisa menjadi sumber penyakit di hati kita. Salah satu yang paling rentan terjadi adalah paparan penyakit iri dan kufur nikmat.
Di era serba butuh legitimasi sosial, konten sosmed banyak berisi orang-orang yang memamerkan kesempurnaan hidup. Meski kondisi riilnya, mungkin saja jauh dari apa yang dipublikasikan ke khalayak.
Jebakan Ilusi Kekurangan di Sosial Media
Tapi kita harus mengakui, hal-hal yang terlihat di layar sosmed, kerap kali membuat banyak dari kita terjebak dalam ilusi kekurangan. Kita merasa tidak cukup cantik atau ganteng, tidak cukup sukses, tidak cukup bahagia dan berbagai “tidak” lainnya.
Kita secara tidak sadar, telah terjebak pada kebiasaan mengukur hidup dengan standar visual yang boleh jadi palsu. Padahal, jika saja kita berhenti sejenak dan menengok ke sekeliling, ada begitu banyak nikmat milik kita yang mengalir tanpa henti. Hidup kita, sejatinya baik-baik saja.
Nikmat sehat misalnya, atau nikmat kenyang. Kondisi yang terkesan sederhana, namun ada ribuan orang di balai-balai rumah sakit yang merindukan hal yang kita anggap bukan apa-apa itu.
Perlu Jeda dan Merenung
Pada momen itu, kadang kita perlu berhenti, lalu menghela napas dan lirih membaca satu ayat Al-Quran yang amat populer. Fabiayyiala irabbikumatukazziban. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Ayat ini berasal dari surat Ar-Rahman. Salah satu surat dalam Al-Qur’an yang penuh kelembutan. Sama seperti makna harfiahnya, yakni Yang Maha Pengasih. Ayat tersebut kerap juga menjadi konten di sosmed, namun belum sanggup sanggup mengcounter bahaya peyakit hati itu.
Dalam surat tersebut, Allah menyebutkan begitu banyak nikmat yang Ia curahkan kepada manusia. Lalu mengulang-ulang pertanyaan itu hingga 31 kali. Sebuah pengulangan yang bukan sekadar gaya bahasa, tapi juga memiliki banyak pesan. Sebagai sebuah teguran, pengingat, sekaligus pelukan kasih dari Sang pemilik semesta.
Nikmat bisa berbentuk apa saja seperti yang saya sebutkan di atas. Bahkan, yang paling basic sekalipun. Kesempatan nafas dan detak jantung yang belum Allah izinkan berhenti. Tapi sering kali kita lupa. Kita sibuk menghitung apa yang belum kita miliki, tanpa sempat menghargai apa yang telah kita genggam.
Dalam surat Ar-Rahman, Allah tak hanya menyebut nikmat besar seperti penciptaan manusia atau penyeimbangan langit. Allah juga menyebut hal-hal yang sangat dekat dan tampak kasat mata. Air tawar yang menyegarkan, buah-buahan, bahkan lautan yang menghasilkan mutiara. Seolah-olah Allah sedang berkata, “Lihatlah sekitarmu. Aku hadir di setiap apa saja yang kamu lalui.”
Cermin Ketidakpekaan Kita
Dan dalam setiap pengulangan ayat itu, ada nuansa lembut sekaligus menggugah. Ia tak menghardik, tapi mengajak merenung. Ayat itu bukan sekadar kalimat, tapi cermin yang memantulkan ketidakpekaan kita atas semua anugerah-Nya.
Maka ketika hidup terasa sempit, ketika doa-doa belum juga terkabul, mungkin yang perlu kita lakukan bukan menuntut lebih, tapi mensyukuri yang sudah ada. Karena barangkali, kita bukan sedang kurang nikmat, melainkan kurang sadar.
Meski demikian, ayat ini bukan alibi untuk malas. Syukur sangat penting sebagai bentuk terima kasih atas apa yang ada. Namun berusaha mencapai dan memiliki sesuatu yang lebih adalah dua hal yang berbeda. Ikhtiar, tawakal, lalu syukuri.
Sekali lagi, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
