Opinion
Beranda » Berita » Tabuik Pariaman: Antara Wisata, Budaya dan Agama

Tabuik Pariaman: Antara Wisata, Budaya dan Agama

Tabuik Pariaman: Antara Wisata, Budaya dan Agama
Hoyak Tabuik di Pariaman. Foto: wikipedia.

SURAU.CO. Tabuik atau sering disebut dengan hoyak tabuik merupakan tradisi masyarakat Pariaman yang dilakukan setiap bulan Muharram. Pariaman adalah sebuah kota kecil di Sumatera Barat yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Kata Tabuik sendiri berasal dari Bahasa arab yaitu at-tabut yang berarti keranda atau peti mati. Kemudian dalam dialek Minang tabut menjadi Tabuik.

Tabuik adalah warisan budaya yang sudah ada di Pariaman sejak sekitar dua abad yang lalu. Asal muasalnya tabuik merupakan upacara atau perayaan mengenang kematian Husain yang kemudian berkembang menjadi sebuah pertunjukkan budaya khas Pariaman. Kekinian, bagi masyarakat Pariaman pelaksanaan tabuik tidak menyangkut dengan ketuhanan atau akidah. Tabuik semata-mata menjadi budaya dan pesta anak nagari Pariaman dalam upacara memperingati kematian Husain.

Tabuik sebagai Destinasi Wisata

Upacara tabuik erat kaitannya dengan kisah terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad di Padang Karbela pada tahun 681 Mesehi. Dia terbunuh dalam peperangan melawan tentara Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah di Syam (Syria). Peperangan antara kedua belah pihak berlangsung selama 10 hari yakni dari tanggal 1 sampai 10 Muharam.

Masyarakat Pariaman memulai tradisi batabuik dengan mengambil tanah yang biasanya berlangsung selama 2 minggu. Masyarakat Pariaman membuat dua buah tabuik, yaitu tabuik pasa dan tabuik subarang. Tabuik itu sendiri berbentuk seperti kuda yang berkepala manusia, memiliki sayap yang lebar. Konon bentuk ini adalah perwujudan burung buraq yang dipercaya membawa tubuh husein ke langit. Tabuik memiliki tinggi 12 meter terdiri atas dua bagian. Masyarakat mendesain tabuik dengan bagian atas menyerupai keranda berbentuk menara dan bagian bawah menyerupai burung buraq.

Masyarakat memulai Festival Tabuik dengan proses maambik tanah, maatam, maarak jari-jari, maarak saroban, dan ritual lainnya. Setiap prosesi dan ritual yang dilakukan ini sarat makna. Puncak perayaan ini adalah “Hoyak Tabuik”, di mana mereka membuang tabuik ke laut untuk mengakhiri peringatan kematian Husein.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tabuik yang awalnya merupakan pesta rakyat masyarakat Pariman memiliki beberapa versi tentang asal muasalnya. Terlepas dari itu, Pemko Pariaman mengangkat tabuik menjadi Festival Budaya untuk mendatangkan wisatawan ke Pariaman. Dalam masyarakat Pariaman yang menganut Islam Sunni, tidak mempermasalahkan asal muasal tabuik dari kalangan Islam Syiah. Masyarakat melaksanakan tradisi tabuik dalam rangka menjaga dan melestarikan tabuik sebagai warisan budaya.

Upacara tabuik yang meriah dan melibatkan banyak orang menarik wisatawan untuk menyaksikannya. Tidak hanya wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara. Pada pelaksanaan hoyak tabuik, Pariaman menjadi lautan manusia yang datang dari berbagai daerah. Tidak main-main, dari sebuah sumber diketahui Pemkot Pariman mengeluarkan dana hingga 1,5 M untuk festival tabuik.

Pro dan Kontra Tabuik

Asal muasal tabuik dari kalangan Syiah memicu pro dan kontra pelaksanaan festival tabuik di Pariaman. Tuangku Rang Kayo Sati merupakan salah satu ulama Pariaman yang menentang adanya festival tabuik, karena berakar dari ajaran syiah. Menurut Tuangku Rang Kayo Sati, tabuik sama sekali tidak mencermin ajaran Islam, hanya saja mengingatkan kembali terbunuhnya cucu Rasulullah SAW di padang kerbala. Pada festival itu masyarakat menampilkan kembali drama pertempuran kerbala dengan memainkan fasa dan dhol.

Tabuik dapat menggores akidah umat Islam, terutama warga Pariaman itu sendiri. Festival tabuik seolah mendukung praktek kemusyrikan di Pariaman. Masyarakat mendatangi kuburan Syekh Burhanudin mengharapkan berkah dari kuburannya. Sebuah ritual yang didukung oleh kaum Syiah. Belum lagi, masyarakat berebut serpihan tabuik di laut untuk dibuat jimat penglaris dan sebagainya. Aktifitas ini dilihat sebagai peluang bagi majusi Syiah untuk menyebarkan agama Syiah di Pariaman. Maka ada kewajiban bagi para ulama/Tuangku dan da’i untuk mencegah kaum Syiah menyebarkan ajarannya terutama di Pariaman.

Pada tahun 1969 tabuik sempat berhenti dikarena terjadinya perkelahian masal yang menganggu ketentraman Kota Pariaman. Namun, pada tahun 1980-an tabuik kembali dihidupkan namun mengingat pembiayaan yang cukup besar, Pemkot mengambil alih tabuik untuk dijadikan festival budaya. Beberapa tokoh Pariaman juga berpendapat, tabuik dahulu berbeda dengan tabuik yang sekarang. Dahulu masyarakat mempercayai bahwa ketika tabuik dibuang ke laut masyarakat mengambil lempengan tersebut untuk dijadikan jimat penglaris dari jual meraka. Namun sekarang, masyarakat hanya mengenal tabuik sebagai ikon wisata.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Tabuik sebagai Budaya

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 170. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapatkan petunjuk?”.

Islam tidak melarang tradisi dan budaya yang tidak menyimpang terhadap prinsip dan nilai syariat agama Islam. Al-Quran telah memaparkan peran tradisi budaya dan adat istiadat dalam agama. Islam membolehkan upacara tradisi dan budaya seperti tabuik di Kota Pariaman asalkan tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan islam mendukung adanya tradisi yang sesuai dengan syariat agama islam agar bermanfaat dan bertujuan kedepannya baik untuk kehidupan umat manusia.

Contohnya, masyarakat melakukan prosesi maambiak tanah (mengambil tanah) sebagai bagian pertama dari tabuik, yang mengingatkan manusia bahwa mereka berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, mengisyaratkan hidup dan mati.

Pemerintah dan masyarakat Pariaman menggelar tradisi Tabuik setiap tahunnya sebagai event wisata andalan. Adat dan agama memiliki peran yang penting terhadap keberadaan tabuik di Pariaman. Budaya yang berlandaskan dengan adat dan agama sebagaimana dalam filosofi Minang “adaik basandi syarak,syarak basandi kitabullah.” Adat dan agama bagi masyarakat pariaman adalah dua pranata yang saling melengkapi.

Bagi masyarakat pariaman yang mayoritas adalah penganut Islam Sunni, perayaan tabuik ini hanyalah semata-mata untuk mengenang sejarah Islam dan sekaligus untuk menjemput tahun baru Hijriyah dengan lebih baik. Pelaksanaan tabuik sama sekali tidak ada kaitannya dengan aqidah. Penyelenggaraannya lebih mengedepankan seremonialnya dari pada sakral, sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat hidup bersosial masyarakat Pariaman.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Nilai-Nilai dalam Tabuik

Selain dari pengembangan wisata dan manfaatnya secara ekonomi terhadap masyarakat, festifal tabuik juga memiliki nilai-nilai positif dari sisi agama, sosial, budaya dan adat. Tabuik berperan penting dalam mempererat tali silaturahmi antar masyarakat pariaman, menjaga kelestarian budaya, serta mengingkatkan akan sejarah dan nilai-nilai agama.

Tradisi tabuik merupakan upacara memperingati peristiwa penting dalam sejarah Islam, gugurnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala. Tabuik dapat menjadi sarana untuk merenungkan nilai-nilai kepahlawanan, pengorbanan dan perjuangan melawan kezaliman.

Proses pembuatan dan pelaksanaan tradisi tabuik yang melibatkan banyak orang, menumbuhkan semangat gotong royong, solidaritas dan mempererat silaturahmi, serta rasa kebersamaan antar warga. Prosesi tabuik yang unik dan khas menjadi identitas budaya dan kearifan local masyarakat Pariaman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement