SURAU.CO. Di pesisir Banten, sebuah bangunan tua berdiri dengan kokoh. Ia menjadi bukti sejarah yang tak lekang oleh waktu. Bangunan itu adalah Masjid Caringin. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah biasa. Dinding dan tiangnya menyimpan kisah perjuangan, bencana dahsyat, dan semangat gotong royong yang luar biasa. Hingga kini, pesonanya terus menarik wisatawan sejarah dan religi.
Masjid ini terletak di lokasi yang sangat strategis. Lokasinya berada di Jalan Raya Labuan-Carita, Kampung Caringin. Secara administratif, ia masuk dalam wilayah Desa Caringin, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang. Letaknya tidak jauh dari destinasi populer Pantai Carita. Hal ini menjadikannya paket lengkap bagi para pelancong. Mereka bisa menikmati keindahan alam sekaligus wisata sejarah.
Sejarah Awal Penuh Perjuangan
Kisah pembangunan masjid ini berawal dari sebuah perlawanan. Pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pemerintah kolonial Belanda memaksa rakyat membangun Jalan Anyer-Panarukan. Banyak pekerja paksa tidak tahan dengan perlakuan kejam. Sebagian dari mereka memberontak dan melarikan diri ke arah selatan. Mereka akhirnya tiba dan menetap di wilayah Caringin.
Kelompok masyarakat baru inilah yang kemudian berinisiatif mendirikan sebuah masjid. Mereka membangun Masjid Caringin pada tahun 1884 Masehi. Masjid ini dengan cepat menjadi pusat kegiatan keagamaan. Ia juga menjadi simbol perlawanan diam-diam terhadap penindasan kolonial.
Satu-satunya Bangunan yang Bertahan dari Tsunami Krakatau
Sejarah masjid ini tidak dapat dipisahkan dari bencana alam terbesar pada masanya. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883 mengubah segalanya. Erupsi tersebut memicu gelombang tsunami raksasa. Ketinggian ombak diperkirakan mencapai 120 kaki atau sekitar 40 meter. Gelombang besar ini menyapu bersih seluruh bangunan di pesisir.
Semua rumah dan infrastruktur rata dengan tanah. Bencana itu menelan korban jiwa hingga lebih dari 35.000 orang. Namun, sebuah keajaiban terjadi di tengah kehancuran. Masjid Caringin menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa. Meskipun rusak parah, beberapa bagian pentingnya selamat. Salah satunya adalah mimbar masjid yang ditemukan tetap utuh.
Mimbar bersejarah ini konon suda ada dari abad ke-18. Hal ini terlihat dari corak ukirannya yang khas. Ukiran tersebut menampilkan motif buah-buahan dan kaligrafi Arab yang klasik. Keajaiban ini membuat masyarakat semakin yakin akan kekeramatan masjid tersebut.
Dibangun Kembali dengan Semangat Gotong Royong
Setelah bencana, wilayah Caringin sempat kosong selama 10 tahun. Namun, semangat untuk bangkit kembali sangat kuat. Kemudian terjadi pembangunan kembali masjid tua ini. Adapun pelopornya adalah seorang ulama karismatik bernama Syekh Asnawi. Beliau bersama penduduk setempat bergotong royong mendirikan kembali rumah ibadah itu.
Masjid Caringin yang baru kemudian menjadi pusat syiar Islam yang lebih besar. Tempat ini juga menjadi basis perjuangan rakyat Banten melawan penjajahan. Semangat perlawanan yang dulu dibawa para pekerja paksa terus menyala di sini.
Keunikan Arsitektur Kuno yang Memesona
Masjid Caringin memiliki desain arsitektur yang sangat khas. Bangunan utamanya berbentuk persegi empat berukuran 12 x 12 meter. Lantainya lebih tinggi sekitar 120 cm dari permukaan tanah.
Pintu masuk utama berada di sisi timur. Terdapat tiga pintu yang terbuat dari kayu dan kaca. Lubang angin di atas pintu tengah berbentuk setengah lingkaran dengan motif trawangan. Sementara itu, dua pintu lainnya memiliki lubang angin persegi dengan hiasan geometris.
Di dalam ruang salat utama, empat tiang penyangga utama berdiri kokoh. Tiang ini dikenal dengan sebutan soko guru. Bentuk tiangnya persegi delapan dengan umpak batu berbentuk buah labu. Pada sisi sebelah barat, terdapat mihrab yang sekelilingnya ada empat tiang semu. Bagian atasnya berhias ukiran kaligrafi dan sulur-sulur daun yang indah.
Atap masjid ini terdiri atas tiga tingkatan atau tumpang. Struktur atap ini menyatu dengan atap ruang salat khusus perempuan (pawestren). Pada puncaknya, terdapat mustaka dari tanah liat dengan hiasan bulan sabit.
Fitur Istimewa: Kolam dan Penanda Waktu Matahari
Di halaman timur masjid, terdapat dua fitur unik. Pertama, ada dua kolam berbentuk persegi. Kolam ini berfungsi sebagai tempat mencuci kaki sebelum masuk ke dalam masjid. Tradisi ini menjaga kesucian ruang ibadah.
Kedua, terdapat sebuah Istiwa atau jam matahari. Alat ini berfungsi sebagai penunjuk waktu salat. Bentuknya menyerupai huruf L dengan busur setengah lingkaran di sisi utara dan selatan. Sayangnya, saat ini tidak banyak jemaah yang memahami cara penggunaannya.
Pada tahun 1980-1981, pemerintah melakukan pemugaran. Proyek ini bertujuan menyelamatkan bangunan dari pelapukan. Selain itu, ada fasilitas baru seperti kamar mandi dan ruang generator. Upaya ini memastikan Masjid Caringin tetap lestari sebagai cagar budaya dan warisan berharga bagi generasi mendatang.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
