Surau.co – Masyarakat Indonesia kian mengenali Layanan pinjaman online peer to peer (P2P) lending, atau yang lebih dikenal sebagai pinjol. Bahkan, sudah menjadi gaya hidup keseharian. Tren tersebut tercermin dari jumlah penggunanya yang terus mengalami penambahan dari tahun setiap tahun.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dimuat Inews mencatat, pengguna pinjol per Januari 2025 telah mencapai 146,5 juta jiwa. Meningkat 20 persen di bandingkan jumlah pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini menunjukkan lonjakan angka yang cukup eksponensial.
Dugaan Akibat Penurunan Daya Beli
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyebut bahwa peningkatan pengguna pinjol menunjukkan berbagai gejala negatif. Salah satunya mencerminkan penurunnya daya beli masyarakat Indonesia. Untuk menyiasati kebutuhan hidup yang terus meningkat, masyarakat memilih berutang melalui pinjol. Apalagi, proses pengajuan pinjol relatif lebih mudah dari perbankan.
Desakan kebutuhan itu, yang membuat banyak orang terpaksa menggunakan pinjol. Meski bunga yang dikenakan jauh lebih tinggi dibanding bank. dalam konteks sosial, banyak juga yang kesulitan meminjam ke kerabat karena sama-sama berada dalam kondisi ekonomi sulit.
Risiko Gagal Bayar
Pinjol memang cara praktis dalam mencari pinjaman, namun menyimpan potensi masalah lainnya. Tingginya bunga pinjol misalnya, meningkatkan risiko gagal bayar atau kredit macet. Jika itu terjadi, peminjam bisa kehilangan ketenangan hidup. Dari sisi administratif, pinjol akan mengenakan denda besar, dan jumlahnya bisa terus bertambah jika utang tak segera dilunasi. Bergulung layaknya gulungan es yang tak ada ujungnya.
Secara psikologis, utang dan denda tersebut menjadi beban mental yang berat. Tekanan makin besar jika debt collector atau petugas penagih, mulai menagih dengan cara kasar dan mengancam. Tekanan kian kuat akibat reputasi yang hancur jika kerabat, atau tetangga mengetahui kondisi keuangan kita.
Dalam jangka panjang, kredit macet akan menurunkan skor kredit SLIK OJK. Sehingga kita, akan kesulitan dalam mengakses pembiayaan lain, seperti untuk kredit kendaraan, KPR rumah, atau bahkan pinjaman produktif lainnya.
Pinjol dalam Pandangan Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah merespons fenomena ini cukup lama. Dalam Ijtima’ Ulama tahun 2021 lalu, MUI telah menyampaikan hasil kajian hukum terkait pinjol.
MUI memandang pinjam meminjam sebagai bentuk tolong-menolong. Yang membedakan hanya platformnya berupa digital. Prinsip dasar pinjam meminjam diperbolehkan sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran Surat Al-Ḥadid ayat 11 :
“Siapakah yang (mau) memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik? Dia akan melipatgandakan (pahala) untuknya, dan baginya (diberikan) ganjaran yang sangat mulia (surga).”
Namun sebagai konsekuensinya, Islam mengharamkan pengambilan keuntungan atau bunga dalam pinjam meminjam, karena hal itu termasuk riba. Maka, MUI mengharamkan sebuah platform pinjol yang menerapkan sistem bunga.
Mengharamkan Praktik Kekerasan dalam Menagih
MUI juga mengharamkan praktik penagihan utang yang menggunakan kekerasan fisik atau membuka aib peminjam. Sebaliknya, MUI menganjurkan pemberi pinjaman untuk memberi keringanan atau penundaan kepada peminjam yang sedang kesulitan.
Namun, jika peminjam sudah mampu membayar utangnya, Islam melarang dia menundanya secara sengaja, sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu membayar utang adalah kezaliman.”
(HR. Bukhari No. 2225)
Ruang bagi Pinjol Syariah
Berdasarkan hal tersebut, MUI memberikan ruang moderat hadirnya layanan pinjaman online, selama platform tersebut menerapkan prinsip-prinsip syariah. Saat ini, beberapa platform pinjol syariah sudah beroperasi dan terdaftar di OJK.
Dalam praktiknya, pinjol syariah menggunakan akad-akad yang sesuai dengan ekonomi Islam, seperti ijarah, mudharabah, musyakarah, qardh, dan wakalah bi al-ujrah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
