Tradisi Maulid Nabi di Banyuwangi: Meriahnya Endhog-Endhogan dan Kearifan Lokal
SURAU.CO – Bulan Rabiul Awal selalu membawa suasana istimewa. Umat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan suka cita. Mereka merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW. Momen ini menjadi pengingat kelahiran sang suri tauladan. Di Indonesia, perayaan Maulid memiliki warna tersendiri. Setiap daerah menampilkan kearifan lokal yang unik. Salah satu yang paling menonjol adalah Kabupaten Banyuwangi.
Daerah di ujung timur Pulau Jawa ini punya cara khas. Mereka memadukan ajaran Islam dengan budaya secara harmonis. Perayaan Maulid di sini bukan sekadar ritual. Ia adalah sebuah pesta rakyat yang penuh makna. Acara ini memperkuat ikatan sosial dan spiritual masyarakat. Tradisi ini hidup dan terus mewarisi dari generasi ke generasi. Mari kita telusuri lebih dalam kekayaan tradisi Maulid Nabi di Banyuwangi.
Banyuwangi: Panggung Harmoni Religi dan Budaya
Banyuwangi sering disebut sebagai “Sunrise of Java”. Wilayah ini memang dipenuhi dengan keindahan alam. Namun, kekayaan budayanya juga sangat menarik. Penduduk Banyuwangi sangat menjunjung nilai-nilai Islam. Mereka berhasil memadukan ajaran agama dengan tradisi nenek moyang. Hasilnya adalah identitas budaya yang kokoh dan unik.
Saat merayakan Maulid Nabi, keselarasan ini sangat tampak. Berbagai kecamatan di Banyuwangi menyelenggarakan acara yang meriah. Mereka mengintegrasikan elemen religi, seni budaya, dan rasa kebersamaan. Semangat kerjasama menjadi inti dari setiap perayaan. Semua lapisan masyarakat ikut serta dengan antusias. Dari anak-anak sampai orang dewasa, semua merasakan kegembiraan tersebut.
Endhog-Endhogan: Ikon Utama Peringatan Maulid yang Penuh Filosofi
Jika berbicara tentang Maulid di Banyuwangi, satu tradisi pasti akan muncul dalam pikiran. Tradisi tersebut adalah Endhog-Endhogan. Istilah ini berasal dari bahasa Using, yang berarti aktivitas mengolah telur. Tradisi ini menjadi simbol yang paling dinanti. Ia bukan hanya sekadar dekorasi telur biasa. Tetapi, di baliknya terdapat arti filosofis yang dalam.
Prosesnya dimulai dengan merebus sejumlah besar telur, bisa puluhan hingga ratusan. Telur-telur tersebut kemudian diwarnai dengan berbagai warna yang ceria. Kemudian, setiap telur ditusuk menggunakan bilah bambu yang sudah didekorasi. Telur-telur ini kemudian ditancapkan pada batang pisang. Lalu, batang pisang tersebut disusun secara estetis membentuk sebuah struktur yang disebut “Jodang”. Jodang ini diarak keliling desa dengan semangat yang tinggi.
Iringan alat musik rebana dan pembacaan sholawat mengikutinya. Setelah diarak, telur-telur itu dibagikan kepada masyarakat. Terutama kepada anak-anak yang selalu menantikan momen ini dengan antusias. Tradisi ini juga menjadi sarana dakwah yang menyenangkan. Bahkan, telur itu sendiri melambangkan lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tiga bagian dari telur (kulit, putih, dan kuning) diartikan sebagai pilar-pilar agama: Islam, Iman, dan Ihsan.
Gema Sholawat dan Kitab Diba’ di Setiap Sudut Desa
Inti dari perayaan Maulid adalah mengingat Rasulullah. Masyarakat Banyuwangi melakukannya dengan khusyuk. Hampir setiap masjid dan mushala menggelar pembacaan Maulid. Mereka biasanya membaca kitab Maulid Diba’. Kitab ini berisi riwayat hidup dan pujian untuk Nabi.
Jamaah berkumpul dan membacanya bersama-sama. Lantunan sholawat bergema memenuhi ruangan. Suasananya begitu syahdu dan menenangkan jiwa. Tradisi ini menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah. Para orang tua membawa anak-anak mereka. Ini adalah cara efektif mengenalkan sosok Nabi sejak dini. Pembacaan Diba’ menjadi pusat spiritual perayaan Maulid.
Kenduri dan Tumpeng: Simbol Syukur dan Kebersamaan
Setelah acara pembacaan Maulid selesai, momen kebersamaan berlanjut. Masyarakat biasanya mengadakan kenduri atau selamatan. Mereka makan bersama sebagai wujud rasa syukur. Sajian utamanya adalah nasi tumpeng. Tumpeng berbentuk kerucut ini memiliki makna mendalam.
Bentuknya melambangkan gunung, sebagai simbol keagungan Tuhan. Tumpeng juga merupakan ungkapan terima kasih atas kelahiran Nabi. Kelahiran yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Lalu, mereka membagikan makanan dalam kenduri secara merata. Tidak ada perbedaan status sosial di sini. Semua duduk bersama, menikmati hidangan dengan gembira. Nilai solidaritas sosial dan persaudaraan menjadi sangat kuat.
Semarak Arak-Arakan dan Festival Maulid Kreatif
Di beberapa wilayah, perayaan Maulid lebih meriah lagi. Kecamatan seperti Rogojampi, Genteng, dan Blimbingsari menggelar arak-arakan besar. Jalanan utama penuh oleh lautan manusia. Anak-anak menjadi bintang utamanya. Mereka mengenakan pakaian muslim yang indah. Ada pula yang memakai kostum unik bernuansa Islami.
Menghias mobil dan gerobak dengan hiasan yang megah. Ornamen kaligrafi dan replika Ka’bah sering terlihat. Peserta arak-arakan menyanyikan sholawat sepanjang jalan. Suasananya sangat hidup dan penuh energi positif. Bahkan, beberapa sekolah dan pondok pesantren mengadakan festival. Mereka menyelenggarakan lomba sholawat, lomba pidato, dan berbagai kompetisi Islami lainnya. Ini menunjukkan bahwa tradisi terus berkembang secara kreatif.
Ngaji Maulidan: Memperdalam Cinta pada Rasulullah
Selain perayaan yang meriah, ada juga tradisi yang lebih mendalam. Di kalangan pesantren dan warga Nahdliyin, ada tradisi Ngaji Maulidan. Kegiatan ini fokus pada pengkajian ilmiah dan spiritual. Para kiai dan ustadz membahas kisah-kisah Rasulullah. Mereka mengkajinya dari kitab-kitab klasik.
Tujuannya bukan sekadar merayakan, tetapi memahami. Memahami ajaran, akhlak, dan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini memperkuat fondasi spiritual masyarakat. Ia memastikan bahwa membangun cinta kepada Rasulullah di atas ilmu. Sehingga, kecintaan itu tidak dangkal, melainkan berakar kuat.
Warisan Budaya yang Menginspirasi
Tradisi Maulid Nabi di Kabupaten Banyuwangi adalah contoh luar biasa. Ia menunjukkan bagaimana ajaran Islam bisa menyatu dengan budaya lokal. Perayaan ini bukan hanya ritual tahunan. Ia adalah momen penting untuk mendidik generasi muda. Ia juga menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan.
Lebih dari segalanya, semua tradisi ini bermuara pada satu tujuan. Tujuan itu adalah untuk menyemai dan memupuk cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Banyuwangi telah berhasil merawat warisan ini dengan indah. Sebuah warisan yang terus hidup, relevan, dan menginspirasi banyak orang. Sampai saat ini, penulis masih merasakan nuansa endhog-endhogan dengan suasana meriah namun masih islami. Baca juga artikel ini untuk kamu yang ingin menikah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
