SURAU.CO – Cinta. Kita sering kali mengurungnya dalam definisi sempit: emosi yang menggebu, drama romantis, atau sekadar chemistry biologis. Namun, pernahkah Anda bertanya, apa sebenarnya makna cinta menurut para filsuf? Jauh dari sekadar perasaan sesaat, para pemikir besar dari peradaban Islam dan Barat memandangnya sebagai kekuatan fundamental yang membentuk realitas dan eksistensi manusia itu sendiri.
Bagi mereka, cinta bukanlah objek yang ditemukan, melainkan sebuah daya kosmis, kompas moral, dan kunci untuk membuka gerbang pemahaman diri. Mari kita tinggalkan sejenak playlist lagu galau dan selami pemikiran terhebat dalam sejarah untuk menjawab pertanyaan mendasar ini.
Pandangan Filsuf Islam: Cinta sebagai Jembatan Menuju Tuhan
Dalam tradisi pemikiran Islam, makna cinta (mahabbah) tidak berhenti pada hubungan antarmanusia. Ia adalah prinsip spiritual dan ontologis yang menjadi jembatan tak kasat mata antara ciptaan (al-Khalq) dengan Sang Pencipta (al-Khaliq).
Menurut Ibnu Miskawayh, cinta Ilahi adalah manifestasi keadilan dan kesempurnaan abadi. Sementara itu, cinta antarmanusia, meskipun berharga, hanyalah pantulan atau turunan dari cinta yang lebih agung tersebut. Pandangan ini diperdalam oleh Imam Al-Ghazali, yang menegaskan bahwa cinta sejati lahir dari pengenalan (ma’rifah) terhadap Tuhan. Semakin dalam seseorang mengenal keindahan, kebaikan, dan kesempurnaan Allah, semakin kuat pula cintanya. Dari hubbullah (cinta kepada Allah) inilah kemudian memancar rahmah (kasih sayang) ke seluruh makhluk.
Puncak pemahaman mistis tentang cinta ditemukan pada Jalaluddin Rumi. Bagi Rumi, cinta adalah api ilahi yang membakar habis ego dan dualitas. Dalam mahakaryanya Masnavi, ia menggambarkan bagaimana cinta meleburkan “aku” yang terbatas ke dalam “Engkau” yang tak terbatas. Cinta bukanlah alat untuk mencapai surga atau tujuan lain; cinta adalah tujuan itu sendiri. Ia adalah sebuah jalan spiritual (tariqa) untuk kembali kepada Yang Satu, sebuah tarian kosmis di mana jiwa menemukan kebebasan sejatinya.
Pandangan Filsuf Barat: Dari Nalar hingga Relasi Manusia
Bergeser ke gelanggang Barat, para filsuf di sana mengupas makna cinta melalui lensa rasionalitas, psikologi, dan dinamika interaksi sosial. Mereka berusaha memahami bagaimana cinta berfungsi dalam struktur kehidupan manusia.
Plato, melalui dialognya Symposium, memperkenalkan konsep eros sebagai “tangga cinta”. Ini adalah perjalanan pendakian jiwa dari kekaguman pada keindahan fisik satu orang, naik ke apresiasi terhadap keindahan semua fisik, lalu keindahan jiwa, keindahan hukum dan institusi, hingga akhirnya mencapai puncak perenungan akan “Bentuk” Keindahan itu sendiri. Bagi Plato, cinta adalah katalisator filosofis yang mendorong kita menuju kebijaksanaan tertinggi.
Muridnya, Aristoteles, lebih membumi. Ia fokus pada philia (persahabatan) sebagai elemen krusial untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia). Ia membedakannya dari cinta yang berbasis kesenangan atau manfaat, dan menyebut persahabatan sejati sebagai yang didasarkan pada kebajikan, di mana kita mencintai seseorang demi kebaikan orang itu sendiri.
Di era modern, psikoanalis Erich Fromm dalam The Art of Loving secara radikal mengubah cara kita memandang cinta. Ia berargumen bahwa cinta bukanlah perasaan pasif yang “menimpa” kita, melainkan sebuah seni yang membutuhkan latihan aktif dalam empat komponen: kepedulian (care), tanggung jawab (responsibility), rasa hormat (respect), dan pengetahuan (knowledge). Seperti seni lainnya, ia menuntut disiplin, konsentrasi, dan kesabaran untuk dikuasai.
Sementara itu, filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre menyajikan pandangan yang lebih getir. Baginya, cinta adalah arena konflik yang tak terhindarkan, di mana kebebasan individu berbenturan dengan keinginan untuk “memiliki” kebebasan orang lain. Ini adalah sebuah proyek paradoksal yang sering kali gagal, menyoroti kerapuhan dan tantangan dalam hubungan manusia.
Sintesis Makna Cinta: Titik Temu Pemikiran Para Filsuf
Meskipun berasal dari tradisi dan metodologi yang berbeda, para filsuf ini mencapai satu kesimpulan universal: cinta adalah kekuatan transformatif yang esensial bagi kehidupan manusia yang utuh. Keduanya sepakat bahwa cinta mendorong manusia untuk melampaui dirinya sendiri (self-transcendence).
Perbedaan mendasarnya terletak pada sumber dan tujuannya. Filsafat Islam secara konsisten menempatkan Cinta Ilahi sebagai sumber dan tujuan utama. Sementara itu, filsafat Barat—terutama setelah Abad Pertengahan—cenderung berfokus pada dimensi manusiawi sebagai konstruksi psikologis, etis, dan sosial.
Pada akhirnya, memahami makna cinta menurut para filsuf memperkaya perspektif kita. Cinta ternyata jauh lebih dalam dari sekadar urusan hati; ia adalah pencarian makna, jalan menuju kebijaksanaan, dan salah satu misteri terbesar dalam panggung pengalaman manusia.
Jadi, masihkah Anda berpikir cinta itu sederhana?
Oleh: Ibrayoga Rizki Perdana, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
