SURAU.CO – Pada tahun 665 Hijriah, ketenangan desa Dair (Pemukiman) Abu Salamah terusik. Sumber masalahnya bukan wabah atau paceklik, melainkan seorang laki-laki. Namanya tidak tercatat jelas, namun perilakunya membekas dalam ingatan. Ia dikenal sebagai biang onar, seorang pria yang lisannya penuh caci maki dan perbuatannya jauh dari kebaikan. Warga desa sudah lelah menasihatinya. Setiap kebaikan yang didengar, ia ubah menjadi bahan ejekan.
Suatu sore, di serambi masjid, imam kampung sedang memberi tausiah. Beliau dengan penuh semangat menjelaskan keutamaan bersiwak.
“Saudaraku sekalian,” kata sang Imam dengan suara lembut. “Rasulullah bersabda, siwak itu membersihkan mulut dan mendatangkan ridha Allah. Sebuah amalan ringan, namun pahalanya sungguh besar.”
Sebagian besar jamaah mengangguk takzim. Namun, di sudut belakang, pria pembuat onar itu tertawa sinis. Suaranya cukup keras untuk memecah kekhusyukan majelis.
“Sepotong kayu?” cibirnya sambil berdiri. Semua mata kini tertuju padanya. “Kalian begitu memuja sepotong kayu untuk membersihkan gigi? Hah, sungguh bodoh!”
Sang Imam mencoba menenangkannya. “Saudaraku, jagalah lisanmu. Ini adalah sunnah Nabi yang mulia.”
Namun, ejekannya semakin menjadi. Dengan nada menantang, ia berseru kepada kerumunan, “Dengar semua! Jika kalian bersiwak dari mulut, maka aku punya cara yang lebih hebat! Aku tidak akan bersiwak kecuali dari duburku!”
Orang-orang terkesiap ngeri. Ucapan itu adalah puncak dari segala kebodohan dan penghinaan. Tanpa rasa malu sedikit pun, lelaki itu mengambil sebatang siwak. Di hadapan beberapa orang yang tertegun, ia benar-benar meletakkan siwak itu pada duburnya, seolah memamerkan penghinaannya pada sunnah yang suci. Setelah itu, ia tertawa terbahak-bahak dan pergi meninggalkan masjid.
Malam itu juga, azab dari langit seakan turun menimpanya.
Ia mulai merasakan sakit yang luar biasa di bagian dubur dan perutnya. Rasanya seperti ada bara api yang membakar dari dalam. Ia menjerit, bergulingan di atas ranjangnya, namun rasa sakit itu tidak kunjung reda. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Penderitaannya berlangsung tepat selama sembilan bulan. Perutnya membesar layaknya wanita hamil, namun isinya adalah penderitaan yang tak terperikan.
Tibalah hari yang menentukan
Dalam puncak kesakitannya, ia merasakan dorongan kuat dari dalam perutnya. Ia meraung kesakitan. Lalu, dengan sebuah proses yang mengerikan, keluarlah dari duburnya seekor binatang yang wujudnya tak pernah terbayangkan. Makhluk itu begitu menjijikkan dan aneh.
Kepalanya menyerupai kepala ikan. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan empat taring tajam. Tubuhnya memiliki ekor yang panjang dan meliuk-liuk. Ia juga memiliki tangan dengan empat jari. Anehnya lagi, duburnya mirip sekali dengan dubur seekor kelinci. Begitu keluar dari tubuh pria itu, makhluk mengerikan ini mengeluarkan suara pekikan yang keras sebanyak tiga kali, seolah mengumumkan kelahirannya yang terkutuk.
Suasana menjadi panik. Putri dari lelaki itu, dengan keberanian yang luar biasa, segera bertindak. Ia mengambil sebuah benda tumpul dan dengan sekuat tenaga membelah kepala binatang aneh itu hingga mati. Darah aneh muncrat, mengakhiri teror singkat dari makhluk terse
Semuanya sudah terlambat
Selang dua hari setelah kejadian itu, lelaki penghina siwak tersebut menghembuskan napas terakhirnya. Sebelum meninggal, ia sempat berkata dengan suara lemah kepada keluarganya.
“Binatang itu… ia telah merusak seluruh isi perutku,” bisiknya dengan napas tersengal. “Inilah penyebab kematianku. Azab ini nyata.”
Peristiwa ajaib nan mengerikan ini tidak terjadi dalam kesunyian. Sekelompok besar masyarakat desa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Sang imam masjid yang tausiahnya pernah ia ejek juga turut menjadi saksi. Ibnu Khallikan menuturkan kisah ini sebagai ibrah, sebuah pelajaran nyata bahwa memperolok-olok ajaran agama dapat mendatangkan murka Allah dengan cara yang tak pernah diduga. Kisah ini menjadi pengingat abadi di Dair Abu Salamah, bahwa sunnah Nabi bukanlah bahan untuk bercanda.
_____________________
Ibnu Khallikan hidup pada masa 608 H – 681 H / 1211 M – 1282 M. Nma lengkapnya adalah Syamsuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Abu Bakar bin Khallikan.
Ibnu Khallikan adalah seorang ulama, sejarawan, biografer, dan hakim agung (Qadi al-Qudat) bermazhab Syafi’i yang sangat terkemuka pada Abad Pertengahan Islam. Ia berasal dari keluarga Kurdi yang terpelajar dan lahir di Irbil (sekarang di Irak).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
