Opinion
Beranda » Berita » Memahami Bias Kognitif dalam Penalaran Sehari-hari

Memahami Bias Kognitif dalam Penalaran Sehari-hari

Kehidupan manusia tidak pernah luput dari pertimbangan dalam mengambil keputusan. Memang, sejak lahir manusia mengenali realitasnya dengan kemampuannya yang bernama “rasionalitas”. Dalam sejarah, para filsuf dan teolog sering menyebut akal budi sebagai ciri istimewa yang mengangkat manusia melampaui sekadar naluri.

Akan tetapi, pada beberapa dekade berikutnya, bidang psikologi kognitif justru menantang gambaran ini dengan menunjukkan kerentanan pikiran manusia terhadap bias kognitif. Bias kognitif adalah penyimpangan dari standar logis atau probabilistik yang muncul bukan karena kebetulan, tetapi karena cara kerja pikiran.

Di samping itu, neurosains modern menambahkan dimensi tentang berbagai sistem otak berinteraksi secara dinamis selama proses penalaran dan pengambilan keputusan. Penjelasan populer biasanya menyebutnya konflik antara “impulsif” dan “self-control” yang keduanya bersemayam di prefrontal cortex atau menggunakan konsep MacLean melalui Triune Brain (1960). Namun meski eksplanasi tersebut menarik, sebenarnya ada juga problematika yang mendasar. Sebab, dalam praktikalitas psikoanalisis kontemporer, penalaran manusia lebih tepat dipahami sebagai integrasi halus yang simultan, di mana dorongan langsung dan evaluasi jangka panjang terus dinegosiasikan.

Artikel ini hendak mengeksplorasi bias kognitif dari perspektif self-reflection, dengan menyingkap bagaimana bias ini terasa dari dalam aliran pikiran kita sendiri. Saya memadukan wawasan dari refleksi diri, psikologi dan neurosains menjadi kesatuan naratif. Pendekatan ini berupaya menjelaskan mengapa bias begitu melekat dalam kehidupan kita sehari-hari.

Memetakan Medan Bias Kognitif

Selama lebih dari lima dekade, para peneliti telah mencatat berbagai bias yang secara sistematis membentuk penalaran sehari-hari. Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1974) memelopori karya ini dengan mendokumentasikan bagaimana manusia mengandalkan heuristik — aturan mental cepat — untuk menghadapi ketidakpastian. Heuristik ini sering membantu kita, tetapi juga dapat memunculkan kesalahan yang dapat diprediksi.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

  • Confirmation Bias, kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan informasi yang mengukuhkan keyakinan yang sudah ada (Nickerson, 1998).
  • Availability Heuristic, ketika penilaian tentang frekuensi atau kemungkinan terlalu banyak dipengaruhi contoh yang mudah diingat.
  • Anchoring Effect, ketika informasi awal menambatkan estimasi berikutnya meskipun secara logis tidak relevan (Tversky & Kahneman, 1974).
  • Bias Kelompok Dalam (In-group Bias), naluri untuk lebih memihak kelompok sendiri, meski sering mengorbankan penilaian yang adil terhadap pihak luar.
  • False Consensus Bias, kecenderungan untuk melebih-lebihkan sejauh mana orang lain berbagi pandangan, keyakinan, atau perilaku kita sendiri — seolah asumsi pribadi adalah norma umum.
  • Hindsight Bias (Bias Setelah Kejadian), ketika setelah mengetahui hasil suatu peristiwa, kita meyakini (secara keliru) bahwa kita telah “tahu sejak awal” hal itu akan terjadi.
  • Self-Serving Bias, kecenderungan untuk mengaitkan keberhasilan dengan faktor internal (kemampuan sendiri) dan kegagalan dengan faktor eksternal (nasib buruk, orang lain).

Jonathan Haidt (2012) berargumen bahwa banyak kesimpulan moral atau politik kita bukanlah hasil penalaran yang tenang, melainkan muncul dari kilatan intuitif yang sarat emosi. Adapun alasan baru datang belakangan untuk membenarkan apa yang sudah kita rasakan. Dengan demikian, bias bukan sekadar gangguan teknis pada penilaian statistik, melainkan terjalin erat dengan intuisi moral, kesadaran, refleksi atas identitas sosial, dan afeksi kolektif.

Tekstur Subjektif: mengalami bias dari dalam

Sebagian besar studi empiris menggunakan perspektif ketiga, mengamati bagaimana peserta penelitian menyimpang dari tolok ukur normatif. Sebaliknya, pendekatan self-reflection, menjadi salah satu perspektif yang bisa digunakan. Mengambil inspirasi dari refleksi autoetnografis, perspektif ini menelaah bagaimana bias benar-benar terwujud dalam pengalaman sadar kita. Alih-alih hanya mengamati kesalahan orang lain, kita memperhatikan tarikan narasi tertentu, kemudahan kesimpulan tertentu, dan rasa “benar” yang begitu sering mengiringi bias.

Dari diri kita, bias tidak muncul sebagai cacat logika. Sebaliknya, penilaian tampil sebagai intuisi, keyakinan naluriah, atau kebenaran yang tidak perlu pertimbangan ulang. Misalnya, saat terjebak dalam bias konfirmasi, kita jarang merasa sedang memilah bukti yang mendukung. Justru argumen yang berlawanan sering terasa kurang meyakinkan — bahkan agak mencurigakan — sedangkan detail yang memperkuat pandangan kita terdengar wajar dan masuk akal.

Demikian juga, availability heuristic tidak datang dengan tanda peringatan. Ketika cerita-cerita dramatis mendominasi pikiran kita, seperti video yang menggambarkan konflik. Contoh itu, secara tidak sadar memperbesar penilaian kita tentang seberapa sering atau bahayanya suatu peristiwa. Dari dalam diri, hal ini terasa seperti kehati-hatian rasional.

Mengenali tekstur fenomenologis ini membantu kita memahami mengapa bias begitu sederhana. Sebab, bias tidak muncul sebagai penyimpangan yang mencolok, tetapi melekat sebagai pengalaman hidup sehari-hari.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Bagaimana Neurosains Bekerja dalam Pengambilan Keputusan?

Jika psikologi kognitif membantu kita memahami pola pikir bias melalui eksperimen perilaku dan teori heuristik, maka neurosains memperluasnya dengan menjelaskan bagaimana proses itu terjadi di tingkat saraf. Artinya, neurosains mencoba memetakan bagaimana berbagai area otak secara fisik dan fungsional terlibat saat kita menimbang pilihan, menahan godaan, atau membentuk keyakinan.

Sebelum masuk ke temuan spesifik, salah satu teknik paling umum yang menjelaskan fenomena itu adalah functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI). Berbeda dengan MRI yang memotret struktur anatomi otak, fMRI mengukur perubahan aliran darah yang diasumsikan terkait aktivitas saraf pada area tertentu. Ketika suatu bagian otak lebih aktif, ia memerlukan lebih banyak oksigen, memicu respons vaskular yang dapat terdeteksi. Dengan demikian, fMRI memberi gambaran lokasi-lokasi otak mana yang “menyala” ketika seseorang melakukan tugas tertentu.

Temuan fMRI dalam dua dekade terakhir memperlihatkan adanya semacam pembagian tugas fungsional antara berbagai jaringan otak ketika kita membuat keputusan yang melibatkan pertimbangan jangka pendek versus jangka panjang:

  • Prefortal Cortex (PFC), terutama wilayah dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) dan ventromedial prefrontal cortex (vmPFC), berperan penting dalam fungsi eksekutif. Ini mencakup kemampuan merencanakan, menjaga komitmen terhadap tujuan jangka panjang, dan menghambat dorongan instan. Aktivitas di wilayah ini sering meningkat ketika kita berhasil menahan godaan atau mengkalkulasi konsekuensi lebih jauh.
  • Sistem limbik, seperti amygdala, nucleus accumbens, dan ventral striatum, lebih terlibat dalam memproses hadiah cepat, intensitas emosi, serta motivasi mendekati objek yang diinginkan. Sistem ini sangat sensitif terhadap stimulus yang menjanjikan kepuasan instan atau memicu rasa senang seketika.

Gambaran di atas melahirkan metafora populer tentang dua “otak”: satu impulsif-emosional, satu rasional-reflektif. Namun neurosains modern mengingatkan bahwa dikotomi ini terlalu kaku. Peters dan Büchel (2011) menegaskan bahwa sistem ini terhubung erat, dan self-control bukanlah sekadar PFC yang menahan limbik, melainkan hasil integrasi penilaian di mana pertimbangan jangka pendek dan jangka panjang bekerja simultan.

Persamaan Sederhana

Untuk merangkum seluruh wawasan antara psikologis dan neurosains yang saling terkait ini, kita dapat mengekspresikan kekuatan yang membentuk bias dalam sebuah persamaan heuristik sederhana:

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

D = ( L × E )​
( P × R )

dengan:

Simbol Makna Penjelasan singkat Contoh sehari-hari
L Limbic drive Kekuatan dorongan emosional & hasrat cepat Lapar, nafsu belanja, amarah spontan
E Event salience Kejelasan / vividness stimulus / memori Mengingat video tragis/ menggugah
P Prefrontal weighting Kapasitas evaluasi tujuan panjang & kontrol Ingat kesehatan, tabungan, reputasi sebelum bertindak
R Reflective oversight Derajat kesadaran reflektif (slow thinking) Bertanya: “Kenapa saya langsung yakin ya?”
D Degree of bias Seberapa bias penilaian akhir kita Menyimpulkan terlalu cepat dari satu cerita

Intuisi di balik kerangka ini sederhana:

  • Semakin besar dorongan limbik (L) dan semakin menonjol stimulus (E),
  • ditambah semakin kecil bobot evaluasi panjang (P) dan refleksi sadar (R),
  • maka semakin tinggi tingkat bias (D) yang tertanam dalam keputusan kita.

Eksplanasi di atas menjelaskan bagaimana peristiwa emosional yang vivid (sangat menonjol) cenderung memberi pengaruh berlebihan jika evaluasi tujuan panjang dan kebiasaan memeriksa diri lemah. Dan sebaliknya, dengan memperkuat kontrol jangka panjang akan mengurangi daya tarik bias.

Integrasi ke Dalam Praktik Sehari-hari

Barangkali, melihat kerangka ini beroperasi dalam situasi nyata membuat relevansinya menjadi sangat gamblang. Berikut beberapa ilustrasi sederhana:

  1. Bayangkan kita melihat video tentang praktik korupsi seorang politisi dari partai A yang memang tidak kita senangi. Kejelasan visual dan narasi dramatisnya (E) langsung memicu respons emosional (L). Pada saat yang sama, memori Anda tentang kompleksitas politik atau kebiasaan meninjau ulang (faktor P dan R) mungkin sedang tidak aktif. Akibatnya, tingkat bias (D) melonjak. Pada akhirnya kita spontan menyimpulkan “semua anggota partai A pasti korup”, tanpa mempertimbangkan data.
  2. Bayangkan kita mendapat nilai yang memuaskan. Sangat wajar untuk merasa bangga. Dorongan emosional (L) berkait dengan ingatan vivid tentang perjuangan kita (E). Tetapi kalau refleksi pada variabel struktural (pemberi nilai, lingkungan, sumber daya, dukungan keluarga) (P dan R) minim, maka narasi Anda berisiko bias self-serving: seolah semuanya murni karena kecerdasan dan kerja keras pribadi, tanpa melihat kontribusi faktor eksternal.

Dengan ilustrasi di atas, kita dapat melihat bagaimana kerangka ini menjadi penting untuk menjelaskan ketegangan dinamis yang membentuk bias. Neurosains memperlihatkan bagaimana otak bagian limbik dan prefrontal saling terhubung, bukan sekadar saling melawan. Psikologi menjelaskan bagaimana otak memakai jalan pintas (heuristik) yang mengandalkan emosi dan hal-hal yang paling mencolok. Sementara kalau kita tengok ke dalam diri sendiri, kita bisa merasakan semua itu muncul sebagai rasa yakin, cerita yang terdengar sangat masuk akal, atau pembenaran moral.

Penjelasan ini mengoreksi cara pandang yang mensimplifikasi persoalan tentang otak. Faktanya, prefrontal cortex kita tidak selalu tenang dan objektif. Sering kali, justru bagian ini yang sibuk membuat alasan rumit untuk membenarkan keinginan yang datang dari dalam. Banyak yang kita sebut “rasionalisasi” sebenarnya hanyalah template atau cerita yang otak kita susun supaya dorongan emosional tadi terasa sah.

Metakognisi Sebagai Mekanisme Refleksi

Mengenali semua pengaruh ini mengundang lebih dari sekadar rasa ingin tahu. Ini memerlukan apa yang oleh psikologi disebut metakognisi. Sederhananya, definisi itu adalah sikap melangkah mundur untuk memeriksa proses berpikir kita sendiri. Mengutip Kahneman (2011), metakognisi merupakan cara di mana kita berupaya untuk memperlambat lompatan dari Sistem 1 (intuisi cepat) ke Sistem 2 (analisis teliti). Secara lebih mudah, praktik ini mengajarkan kita untuk ‘objektif’: yakni mengakui bahwa penilaian pertama kita bisa sangat dibentuk oleh emosi langsung dan contoh mencolok, bukan oleh keseimbangan antar berbagai perspektif.

Kadang cukup dengan bertanya pada diri sendiri, “Kenapa saya merasa ini benar sekali?” atau “Apakah saya mungkin menutup mata dari bukti lain yang tidak saya suka?” Dengan begitu, kita sudah memperkuat refleksi (R) dalam persamaan kita. Kalau kita mau juga mengingat dampak jangka panjang atau sisi lain dari suatu masalah, kita menambah bobot pada tujuan panjang (P). Dua hal kecil ini bisa menurunkan D, atau seberapa bias keputusan kita.

Dan ini bukan cuma soal teknik berpikir. Ini juga soal etika. Banyak bias paling berbahaya — soal fanatisme kelompok, stereotip, standar ganda — bisa langsung merugikan orang lain kalau kita tidak hati-hati. Jadi belajar meninjau pikiran sendiri adalah cara kita mencoba berlaku lebih adil, walau intuisi sering mengajak ke arah sebaliknya

Menuju Kesadaran Reflektif

Apakah ini berarti kita harus berusaha menghilangkan semua bias? Kalau kita mau jujur, baik neurosains maupun pengalaman sehari-hari sama-sama menunjukkan itu tidak mungkin. Bagian otak yang membuat kita bisa peduli, semangat, atau merasa terdorong membantu — jalur limbik dan cara otak memberi perhatian pada hal-hal mencolok — adalah juga yang bikin kita mudah berpihak atau condong ke satu sisi. Lagi pula, kalau kita terlalu sering menimbang panjang lebar, kita malah bisa sulit bergerak. Ada kalanya kita memang butuh intuisi supaya bisa segera memutuskan.

Karena itu, tujuannya bukan menyingkirkan semua jalur pintas mental. Kita hanya perlu lebih sadar bagaimana cara kerja mereka. Kita ingin tahu kapan intuisi itu menolong, dan kapan justru menyesatkan. Penjelasan tentang bias ini hanya mengingatkan kita pada kompromi alami dalam proses berpikir manusia. Setidaknya, kita diingatkan bahwa emosi kuat dan cerita yang menggugah memang hampir otomatis menarik penilaian kita. Pada titik itulah kita perlu menyeimbangkannya dengan ingatan pada dampak panjang serta refleksi yang lebih tenang.

Penutup

Memahami bias kognitif sambil sesekali menengok ke dalam diri lewat refleksi membuat kita sadar bahwa bias bukanlah sesuatu yang asing atau aneh dalam otak kita. Bias justru bagian dari cara pikiran manusia bekerja. Mungkin itu sebabnya bias sering terasa seperti akal sehat, bahkan kadang mirip suara hati yang meyakinkan.

Melihat bias dari sudut ini membantu kita belajar bersikap lebih realistis sekaligus lebih berhati-hati. Kita perlu sadar bahwa setiap penilaian kita terbentuk dari campuran emosi, kesan yang menonjol, tujuan jangka panjang, dan sedikit kontemplasi. Dengan begitu, menimbang sesuatu dalam hidup bukan cuma soal logika, tapi juga soal nilai, tentang bagaimana kita ingin berlaku adil, atau menjadi pribadi yang sedikit lebih baik dari hari kemarin. Pada akhirnya, ini sekaligus menunjukkan betapa luar biasanya penciptaan manusia, meski dengan segala kelemahannya.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement