SURAU.CO — Di tengah dinamika zaman dan tantangan kehidupan umat, kehadiran ulama perempuan dalam pemikiran Islam telah menjadi bagian penting dari sejarah peradaban. Sejak masa Rasulullah ﷺ, mereka telah aktif meriwayatkan hadis, mengajarkan ilmu keislaman, dan terlibat dalam pengambilan keputusan sosial yang strategis. Namun, dominasi struktur patriarkal kemudian meredupkan peran mereka dalam berbagai bidang, termasuk dalam institusi keulamaan.
Menyadari kondisi tersebut, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hadir sebagai gerakan yang berupaya menghidupkan kembali eksistensi ulama perempuan. KUPI tidak sekadar menjadi ruang pertemuan intelektual, tetapi juga menciptakan forum ijtihad kolektif yang melahirkan semangat pembaruan dalam fikih, sosial, dan politik. Dengan berpijak pada maqāṣid al-syarīʿah dan nilai-nilai keadilan gender dalam Islam, KUPI membentuk paradigma baru dalam memahami keulamaan dari sudut pandang perempuan.
Akar Sejarah Ulama Perempuan
Untuk melacak jejak KUPI, kita perlu menengok sejarah Islam sejak awal. Pada masa Rasulullah ﷺ, ulama perempuan secara aktif berkontribusi dalam perkembangan ilmu keislaman. Sayyidah ‘Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā, misalnya, tidak hanya menjadi istri Rasulullah, tetapi juga mengajar para sahabat dan tabi’in, serta meriwayatkan lebih dari dua ribu hadis. Para sahabat laki-laki bahkan datang kepadanya untuk belajar dan meminta fatwa dalam berbagai urusan, baik agama maupun kehidupan rumah tangga.
Selain itu, perempuan-perempuan lain seperti Ummu Salamah, Asma’ bint Abu Bakar, Rābiʿah al-ʿAdawiyyah, dan Fatimah al-Fihri juga menunjukkan peran penting. Fatimah mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, yang hingga kini tercatat sebagai lembaga pendidikan tertua di dunia. Sementara itu, di Indonesia, para perempuan seperti Nyai Ahmad Dahlan dan Nyai Khadijah (istri KH Hasyim Asy’ari) telah berkontribusi dalam penguatan pendidikan dan dakwah. Belakangan, tokoh seperti Nyai Hj. Badriyah Fayumi juga terus melanjutkan peran ulama perempuan dalam konteks Islam Indonesia modern.
Namun ironisnya, banyak narasi sejarah resmi justru mengabaikan kiprah mereka. Berbagai sumber sering kali menempatkan perempuan sebagai pelengkap, bukan sebagai pelaku utama sejarah Islam. Dalam konteks inilah, KUPI memegang peran penting untuk menggali dan merekonstruksi kembali sejarah perempuan dalam Islam. KUPI menegaskan bahwa perempuan juga menjadi pelaku utama dalam membangun peradaban Islam yang adil dan berkemajuan.
Lahirnya KUPI: Sebuah Ijtihad Sosial-Keagamaan
Pada tahun 2017, para ulama perempuan dan pendamping gerakan keadilan sosial menyelenggarakan KUPI pertama di Pondok Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Cirebon. Mereka tidak sekadar berkumpul untuk diskusi ilmiah, melainkan menginisiasi sebuah gerakan kolektif yang lahir dari kegelisahan terhadap ketidakhadiran perempuan dalam forum keulamaan nasional.
Melalui KUPI, para perempuan mendefinisikan ulang siapa yang pantas disebut ulama. Mereka tidak hanya mengukur keulamaan dari penguasaan terhadap ilmu agama, tetapi juga dari keberpihakan terhadap keadilan sosial, kesetaraan gender, dan perubahan nyata di tengah umat.
Lebih dari itu, KUPI juga mengangkat pengalaman perempuan sebagai sumber pengetahuan keislaman yang otentik. Mereka mendorong pengakuan terhadap pengalaman perempuan dalam menggali hukum Islam—terutama pengalaman yang bersinggungan langsung dengan ketidakadilan struktural dan kultural. Pendekatan ini memperkaya diskursus fikih agar tidak hanya relevan, tetapi juga manusiawi.
Ijtihad KUPI dan Kontribusinya
Melalui berbagai kongres dan diskusi publik, KUPI secara aktif merumuskan pandangan keagamaan terhadap isu-isu krusial yang sering diabaikan ulama arus utama. Beberapa isu tersebut mencakup kekerasan seksual, pernikahan anak, dan krisis ekologis.
Dalam setiap forum, KUPI tidak hanya membaca teks-teks agama secara literal. Mereka juga menelaah realitas sosial, mendengarkan suara korban, dan mempertimbangkan pendekatan psikologis serta ekologis. Para ulama perempuan KUPI menyatukan antara nash (teks), ʿaql (akal), dan tajrībah (pengalaman hidup), sehingga menghasilkan tafsir yang lebih adil dan kontekstual.
Sebagai ilustrasi, dalam isu kekerasan seksual, KUPI menyatakan dengan tegas bahwa segala bentuk kekerasan seksual adalah harām. Mereka menegaskan bahwa hal tersebut tidak hanya bertentangan dengan syariat, tetapi juga melanggar martabat manusia—nilai yang sangat dijunjung dalam Islam.
Pandangan KUPI sepenuhnya selaras dengan maqāṣid al-syarīʿah yang menekankan perlindungan terhadap jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-ʿaql), dan kehormatan (ḥifẓ al-ʿirḍ). Dengan demikian, mereka mengingatkan para pengkaji agama bahwa fikih yang mengabaikan keadilan justru akan melanggengkan ketimpangan. Fikih semacam itu berisiko kehilangan ruh kemanusiaannya jika tidak mampu melihat konteks sosial secara jernih.
KUPI sebagai Ruang Ijtihad Perempuan
KUPI telah menciptakan ruang strategis bagi para perempuan Muslim untuk aktif berijtihad. Mereka tidak lagi membiarkan dominasi laki-laki menguasai dunia keilmuan Islam, tetapi secara sadar dan terorganisir memperjuangkan ruang yang setara. Melalui KUPI, para perempuan tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga menjadi produsen pengetahuan keislaman yang bermakna.
Tokoh-tokoh inspiratif seperti Dr. Nur Rofiah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, KH. Husein Muhammad, dan Nyai Hj. Neng Dara Affiah terus mendorong gerakan ini agar tetap konsisten. Mereka menyatukan gagasan, nilai, dan aksi nyata untuk memperluas dampak keulamaan perempuan di ruang publik.
KUPI juga menyampaikan pesan yang kuat bahwa keulamaan tidak boleh bergantung pada jenis kelamin. Siapa pun yang menguasai ilmu, menjunjung tinggi integritas, dan berpihak pada keadilan memiliki hak untuk disebut ulama. Dengan cara ini, KUPI membalikkan posisi perempuan dari sekadar objek menjadi subjek aktif dalam diskursus dan praksis Islam.
Penutup
Jejak KUPI dalam sejarah Islam Indonesia membuktikan bahwa kebangkitan ulama perempuan bukan sekadar agenda feminisme modern. Lebih dari itu, KUPI merupakan bentuk ijtihad kolektif untuk menjawab tantangan zaman melalui nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn.
KUPI tidak berhenti pada ranah wacana. Mereka membuktikan keberpihakannya dengan aksi nyata, melalui penguatan komunitas, advokasi kebijakan, dan transformasi sosial. Dengan berlandaskan pada iman, ilmu, dan keberpihakan terhadap kaum mustaḍʿafīn (yang dilemahkan), KUPI hadir sebagai cahaya baru dalam sejarah keislaman di Nusantara.
Akhir kata, semoga Allah meridhai setiap langkah para ulama perempuan. Semoga perjuangan mereka terus menginspirasi generasi baru yang mencintai ilmu, mencintai keadilan, dan mencintai kemanusiaan.
اللهم بارك في علمهن، ووفقهن لما فيه خير الأمة والبلاد. آمين يا رب العالمين.
Referensi:
- KUPI. (2017). Dokumen Kongres Ulama Perempuan Indonesia I. Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Cirebon.
- Rofiah, Nur. (2020). Tafsir Keadilan Gender dalam Islam: Mengelola Bias Patriarki dalam Teks Keagamaan. Jakarta: KUPI Secretariat.
- Kodir, Faqihuddin Abdul. (2022). Islam yang Membebaskan Perempuan: Pandangan Keagamaan Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Rahima.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
