Kesehatan Mental Menurut Islam dapat dilacak melalui firman Allah SWT dalam Al-Qur’an mengenai jiwa yang mencapai puncak ketenangan. Dia memanggil jiwa tersebut untuk kembali kepada-Nya.
“Dan jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”
(QS. Al-Fajr: 27–28)
Ayat ini menawarkan sebuah tujuan mulia bagi setiap Muslim. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, isu kesehatan mental menyita perhatian global. Percakapan di media sosial dipenuhi istilah populer. Ada anxiety, overthinking, depresi, hingga self-diagnose. Sebagian orang menganggap perasaan cemas atau hampa sebagai bagian identitasnya. Mereka merasa perlu memahami diri lewat label-label tersebut.
Lantas, bagaimana kesehatan mental menurut Islam di era modern ini? Seorang Muslim harus memiliki pandangan yang bijak. Kita tidak menolak ilmu psikologi. Namun, kita juga tidak boleh kehilangan fondasi spiritual kita.
Bahaya Laten Mendiagnosis Diri Sendiri
Self-diagnose adalah tindakan mendiagnosis diri sendiri. Artinya, seseorang menganalisis gejala psikologisnya tanpa bimbingan ahli. Fenomena ini diperburuk oleh konten media sosial. Sebuah video singkat tentang gejala anxiety bisa membuat ribuan orang merasa cocok. Mereka lantas menyimpulkan bahwa dirinya mengidap gangguan mental.
Padahal, perasaan gelisah, sedih, atau lelah adalah fitrah manusia. Tidak semua perasaan negatif menandakan adanya penyakit. Tanpa bimbingan medis dan spiritual, self-diagnose justru berbahaya. Ia dapat menjebak seseorang dalam citra diri yang negatif dan tanpa harapan.
Islam Memberi Ruang untuk Kesehatan Batin
Islam tidak pernah mengabaikan kondisi batin manusia. Al-Qur’an sendiri mengenalkan berbagai tingkatan jiwa (nafs). Allah menjelaskan setidaknya tiga kondisi jiwa manusia:
-
An-nafs al-ammarah bis suu’: Jiwa yang cenderung mengajak pada keburukan (QS. Yusuf: 53).
-
An-nafs al-lawwamah: Jiwa yang sering menyesali perbuatannya dan introspeksi diri (QS. Al-Qiyamah: 2).
-
An-nafs al-muthmainnah: Jiwa yang telah mencapai ketenangan hakiki (QS. Al-Fajr: 27).
Setiap manusia pasti mengalami pasang surut emosi. Rasulullah SAW sendiri juga pernah melewati masa yang sangat berat. Sejarah mengenalnya sebagai ‘am al-huzn (tahun kesedihan). Beliau kehilangan istri tercinta, Khadijah RA, dan paman pelindungnya, Abu Thalib. Sehingga, para nabi pun pernah menangis, merasa sedih, dan mengadu kepada Allah. Ini membuktikan bahwa kesedihan bukanlah tanda lemahnya iman. Ia adalah bagian dari fitrah kemanusiaan.
Tiga Pilar Penyembuhan: Sabar, Tawakal, dan Ikhtiar
Islam tidak menyuruh umatnya pasrah pada luka batin. Sebaliknya, Islam menawarkan jalan keluar yang komprehensif. Jalan itu mencakup kesadaran diri, ibadah, dan ikhtiar medis. Berikut pemaparannya:
-
Sabar: Sabar bukan berarti diam dan tidak melakukan apa-apa. Sabar adalah mengakui rasa sakit sambil terus berusaha mencari solusi. Allah berjanji:
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
-
Tawakal: Tawakal adalah menyandarkan hati dan hasil kepada Allah. Oleh karena itu, sikap ini muncul setelah kita melakukan usaha secara maksimal.
“Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai wakil.” (QS. Al-Ahzab: 3)
-
Berobat (Ikhtiar): Mencari penyembuhan adalah perintah agama. Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk mencari pengobatan. Beliau bersabda:
“Setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa mencari bantuan profesional itu dianjurkan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa berkonsultasi dengan psikolog, konselor, atau psikiater tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Justru, hal itu sejalan dengan prinsip menjaga akal dan jiwa (hifzh al-‘aql wa al-nafs).
Konsep ‘Healing’ dalam Bingkai Spiritual Islam
Istilah healing saat ini sering dihubungkan dengan aktivitas duniawi. Contohnya seperti berlibur, menulis jurnal, atau menyepi ke alam. Semua itu boleh dilakukan selama tidak melanggar syariat. Namun, Islam menawarkan konsep penyembuhan yang lebih dalam dan terhubung langsung dengan Sang Pencipta.
Bentuk terapi ruhani dalam Islam meliputi:
-
Shalat malam (tahajud) untuk meraih ketenangan jiwa (QS. Al-Muzzammil: 6).
-
Memperbanyak zikir dan istighfar sebagai penawar kegelisahan hati (QS. Ar-Ra’d: 28).
-
Membaca Al-Qur’an dengan perenungan (tadabbur), bukan sekadar ritual.
-
Bersedekah dan menolong orang lain untuk meringankan beban batin.
Jiwa Tenang: Sebuah Perjuangan, Bukan Penantian
Self-diagnose yang tidak terarah dapat membuat seseorang melabeli diri sendiri secara negatif. Ia menjadi enggan mencari pertolongan profesional dan menormalisasi kecemasan tanpa solusi. Sebaliknya, Islam mengajarkan muhasabah atau introspeksi diri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenali perasaan, lalu mencari solusinya melalui panduan spiritual dan bantuan ilmiah.
Allah memanggil jiwa yang tenang untuk kembali kepada-Nya:
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai…” (QS. Al-Fajr: 27–28)
Jiwa yang tenang (an-nafs al-muthmainnah) tidak datang dengan sendirinya. Ia adalah buah dari proses panjang. Proses menata hati, mengelola stres, dan terus menyambungkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, mengenali perasaanmu bukanlah kelemahan. Itu adalah langkah awal menuju kesembuhan. Bagi Anda yang sedang berjuang, ketahuilah bahwa Anda tidak sendirian.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
