Ibadah
Beranda » Berita » Mencari Hari Baik Menikah Menurut Islam: Antara Tuntunan Syariat dan Warisan Tradisi

Mencari Hari Baik Menikah Menurut Islam: Antara Tuntunan Syariat dan Warisan Tradisi

Ilustrasi Pernikahan

SURAU.CO – Menikah adalah sebuah perjalanan suci. Ia merupakan ibadah terpanjang dalam hidup seorang Muslim. Oleh karena itu, setiap pasangan tentu mendambakan awal yang terbaik untuk perjalanan ini. Di tengah masyarakat Muslim, terutama di Indonesia, muncul sebuah kebiasaan yang mengakar kuat. Kebiasaan itu adalah mencari hari baik untuk melangsungkan akad nikah. Salah satu pedoman yang paling sering digunakan adalah kalender Hijriyah, sistem penanggalan warisan zaman Rasulullah ﷺ. Mari simak artikel mencari hari baik menikah menurut islam.

Mencari Hari Baik Menikah Menurut Islam: Antara Tuntunan Syariat dan Warisan Tradisi

Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak calon pengantin. Bagaimana sebenarnya Islam memandang konsep “hari baik” ini? Apakah benar ada bulan-bulan tertentu yang lebih dianjurkan? Sebaliknya, adakah bulan yang sebaiknya dihindari untuk memulai sebuah rumah tangga? Memahami perbedaan antara tuntunan syariat yang murni dan tradisi budaya yang diwariskan menjadi sangat penting. Hal ini bertujuan agar niat suci pernikahan tidak tercampuri oleh keyakinan yang keliru.

Pandangan Murni Syariat: Semua Hari Adalah Baik

Mari kita mulai dari fondasi yang paling mendasar. Secara syariat Islam, tidak ada satu pun dalil yang melarang atau menganjurkan pernikahan pada hari atau bulan tertentu. Prinsip dasarnya sangat jelas. Setiap hari yang Allah ciptakan adalah hari yang baik. Pernikahan boleh dilangsungkan kapan saja. Baik itu di awal, tengah, atau akhir tahun Hijriyah. Asalkan, prosesnya tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Sikap Islam yang membebaskan ini sebenarnya memiliki tujuan mulia. Yakni, untuk memberantas takhayul dan keyakinan-keyakinan tak berdasar. Di zaman Jahiliah sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab sangat terikat dengan mitos hari sial dan hari naas. Islam datang untuk memerdekakan manusia dari belenggu keyakinan semacam itu. Rasulullah ﷺ secara tegas menentang pandangan pesimis terhadap waktu atau tempat tertentu. Beliau bersabda:

“Tidak ada thiyarah (kesialan karena waktu, tempat, atau makhluk tertentu).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Hadis ini adalah pilar utama. Ia menegaskan bahwa tidak ada waktu yang membawa sial. Keberuntungan atau kesialan datangnya dari takdir Allah, bukan dari tanggalan. Dengan demikian, meyakini bulan tertentu membawa petaka adalah sikap yang bertentangan dengan semangat tauhid.

Tradisi Populer: Bulan-Bulan yang Dianggap Istimewa

Meskipun syariat telah memberikan kejelasan, nilai-nilai tradisi tetap hidup di tengah masyarakat. Hal ini tidak sepenuhnya salah. Selama tradisi tersebut tidak diyakini sebagai sebuah keharusan agama, ia boleh saja diikuti sebagai bentuk kearifan lokal. Berikut adalah beberapa bulan Hijriyah yang secara tradisi sering dianggap baik untuk menikah.

1. Bulan Syawal: Teladan Langsung dari Rasulullah ﷺ
Bulan Syawal menempati posisi paling istimewa dalam tradisi pernikahan. Alasannya sangat kuat dan berdasar pada tindakan Rasulullah ﷺ sendiri. Beliau menikahi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal. Tindakan ini bukan kebetulan. Justru, ini adalah cara Rasulullah ﷺ untuk mendobrak mitos Jahiliah yang menganggap Syawal sebagai bulan sial untuk menikah. Oleh karena itu, menikah di bulan Syawal menjadi sunnah (tindakan yang meneladani Nabi) dan penuh keberkahan.

2. Bulan Rabi’ul Awal: Bulan Penuh Cahaya
Selanjutnya, ada bulan Rabi’ul Awal. Bulan ini dikenal sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Karena kemuliaan peristiwa tersebut, banyak orang menganggap bulan ini dipenuhi cahaya dan keberkahan. Mereka berharap, dengan memulai pernikahan di bulan kelahiran Nabi, rumah tangga mereka akan senantiasa dinaungi rahmat dan petunjuk. Ini adalah sebuah harapan baik yang tidak dilarang.

3. Bulan Dzulhijjah: Nuansa Sakral dan Ibadah
Bulan Dzulhijjah juga menjadi favorit banyak pasangan. Bulan ini adalah puncak dari kalender Islam. Di dalamnya terdapat ibadah haji yang agung dan perayaan Idul Adha. Suasana sakral dan semangat berkorban terasa sangat kental. Menikah di tengah atmosfer ibadah seperti ini diharapkan dapat membawa semangat spiritual yang kuat ke dalam pondasi rumah tangga.

Amalan Sunnah Harian Sesuai Dalil Dari Al-Qur’an dan Hadist

Mitos yang Perlu Diluruskan: Bulan yang Sering Dihindari

Sebaliknya, ada pula yang menganggap beberapa bulan sebagai tradisi yang kurang baik. Penting untuk kita pahami bahwa pandangan ini sama sekali tidak memiliki dasar dalam syariat Islam.

1. Bulan Muharram: Kesalahpahaman Makna “Haram”
Sebagian orang menghindari menikah di bulan Muharram. Mereka keliru memahami kata “haram” yang berarti suci atau terhormat (melarang peperangan), bukan berarti haram untuk menikah. Ada pula yang mengaitkannya dengan peristiwa tragis di Karbala. Namun, mengaitkan musibah dengan larangan menikah adalah tindakan yang tidak berdasar dan menyerupai keyakinan thiyarah yang telah dilarang.

2. Bulan Safar: Warisan Kepercayaan Jahiliah
Bulan Safar adalah contoh paling jelas dari mitos yang ditolak Islam. Pada masa Jahiliah, orang-orang menganggap Safar adalah bulan yang penuh kesialan dan bencana. Rasulullah ﷺ secara eksplisit menolak keyakinan ini. Beliau menegaskan bahwa bulan Safar adalah bulan biasa seperti bulan lainnya. Tidak ada kesialan di dalamnya.

Esensi Sebenarnya: Fokus pada Niat dan Kesiapan

Pada akhirnya, Islam mengarahkan kita pada substansi, bukan sekadar simbol. Jauh lebih penting daripada memilih tanggal yang cantik adalah mempersiapkan hal-hal yang menjadi pondasi pernikahan itu sendiri. Keberkahan sebuah rumah tangga tidak melihat dari bulan pernikahannya. Namun, yang menentukan itu adalah faktor-faktor berikut:

  • Niat yang Tulus: Menikah semata-mata karena ingin beribadah kepada Allah.

    Raih Kebahagiaan Dengan Qana’ah

  • Kesiapan Lahir dan Batin: Siap secara finansial, mental, dan emosional untuk memikul tanggung jawab.

  • Memenuhi Rukun dan Syarat: Akad nikah harus sah sesuai tuntunan syariat.

  • Restu Orang Tua: Mencari ridha Allah melalui ridha kedua orang tua.

  • Adab yang Baik: Membangun komunikasi dan interaksi yang baik sejak awal.

Fokus pada hal-hal ini akan jauh lebih bermanfaat daripada sibuk mencari “hari baik”. Bahkan, mahar yang ringan pun menjadi salah satu tanda keberkahan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan maharnya dan paling besar keberkahannya.” (HR. Ahmad)

Syariat sebagai Pedoman Utama

Kesimpulannya, mencari hari baik menikah berdasarkan bulan Hijriyah boleh saja. Anda bisa menjadikannya bagian dari melestarikan tradisi keluarga. Akan tetapi, jangan pernah meyakininya sebagai sebuah penentu keberuntungan atau kesialan. Keyakinan tersebut dapat merusak kemurnian akidah.

Jadikanlah syariat Islam sebagai pedoman utama. Setiap hari adalah hari yang baik untuk menyempurnakan separuh agama. Keberkahan sejati datang dari niat yang lurus, kesiapan yang matang, dan kesungguhan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah di atas landasan takwa kepada Allah SWT.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement