SURAU.CO – Bulan suci Ramadhan menjelang tiba. Udara di kota dipenuhi antisipasi dan semangat ibadah. Muhammad bin Abu Al-Faraj, seorang lelaki terpandang, merasakan kebutuhan praktis di tengah suasana rohani itu. Ia membutuhkan seorang pelayan perempuan. Tugasnya sederhana, yaitu untuk membuatkan makanan bagi keluarganya.
Maka, ia pun melangkahkan kakinya menuju pasar budak. Hiruk pikuk pasar terasa menyesakkan. Di antara keramaian penjual dan pembeli, matanya tertuju pada seorang gadis yang berdiri di sudut. Kondisinya sungguh memprihatinkan. Wajahnya pucat pasi. Tubuhnya kurus kering. Kulitnya tampak kusam dan tidak terawat. Namun, ada seberkas cahaya aneh di matanya yang menarik perhatian Muhammad.
Bukan karena kekuatan atau kecantikannya, melainkan karena rasa iba yang menyentuh hatinya. Ia memutuskan untuk membeli gadis itu. Muhammad berpikir, setidaknya ia bisa memberinya kehidupan yang lebih layak. Ia membawanya pulang dengan niat tulus untuk menolong.
Jawaban yang Menusuk Kalbu
Setibanya di rumah, Muhammad langsung memberinya tugas pertama. Ia berkata dengan lembut, “Ambillah tas dan pergilah bersamaku ke pasar untuk membeli kebutuhan Ramadhan.”
Gadis itu menatap tuannya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia tidak menunjukkan rasa takut atau patuh buta. Sebaliknya, ia menjawab dengan suara yang tenang namun penuh makna. “Tuanku, dulu aku menjadi budak sebuah keluarga yang menjadikan sepanjang masa mereka seperti suasana Ramadhan.”
Jawaban itu menusuk kalbu Muhammad. Ia tertegun. Kata-kata singkat itu bukanlah keluhan. Itu adalah sebuah cerminan iman yang begitu dalam. Seketika, Muhammad bin Abu Al-Faraj menyadari sesuatu. Gadis di hadapannya bukanlah pelayan biasa. Ia adalah seorang perempuan shalihah yang tersembunyi di balik penampilan fisiknya yang rapuh.
Dugaannya terbukti benar. Selama bulan Ramadhan, gadis itu menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, setiap malam, ketika semua orang terlelap, ia berdiri tegak. Ia menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan qiyamullail yang panjang. Tangisnya dalam sujud menjadi melodi sunyi di keheningan rumah. Muhammad hanya bisa mengamati dari kejauhan dengan rasa takjub dan hormat yang terus bertumbuh.
Penjelasan Penuh Makna
Waktu berlalu begitu cepat. Ramadhan akan segera berakhir. Pada malam Idul Fitri, suasana gembira mulai terasa. Muhammad kembali mendekati pelayannya itu. Kali ini, ia mengajaknya untuk menyambut hari kemenangan. “Pergilah bersama kami ke pasar untuk membeli kebutuhan hari raya,” ujarnya.
Lagi-lagi, gadis itu menjawab dengan sebuah pertanyaan yang menggugah pikiran. “Tuanku, kebutuhan hari raya apa yang engkau inginkan? Kebutuhan orang-orang awam, atau kebutuhan orang-orang tertentu?”
Muhammad semakin penasaran dengan kedalaman ilmunya. Ia ingin memahami jalan pikiran pelayannya ini. “Katakan kepadaku kebutuhan masing-masing,” pinta Muhammad.
Gadis itu lalu menjelaskan dengan fasih. “Tuanku, kebutuhan orang awam adalah makanan yang dikenal masyarakat luas. Sedangkan kebutuhan orang-orang tertentu adalah menyendiri dari keramaian orang; mengkhususkan diri untuk merenung dan melepas semua pesona duniawiah; mendekatkan diri dengan amal-amal ketaatan kepada Allah; merendahkan diri selaku hamba di hadapan-Nya.”
Penjelasan itu laksana air sejuk yang menyirami jiwa Muhammad. Namun, ia masih terikat pada kebutuhan duniawinya. “Aku hanya ingin makanan,” jawab Muhammad jujur.
Gadis itu tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. Ia kembali bertanya untuk menuntun tuannya lebih dalam lagi. “Makanan apa yang engkau inginkan, makanan tubuh atau makanan hati?”
Pertanyaan ini membuat Muhammad benar-benar diam. Ia merasa seperti seorang murid di hadapan guru besar. Dengan rendah hati, Muhammad bin Abu Al-Faraj meminta penjelasan tentang keduanya.
Gadis shalihah itu pun memaparkan hikmah terakhirnya. “Kebutuhan makan tubuh adalah makanan biasa, sedangkan makanan hati adalah meninggalkan dosa-dosa, memperbaiki keburukan, menikmati kesaksian pada Yang Maha dicintai, puas dengan mendapatkan yang dicari. Kebutuhan-kebutuhannya adalah khusyu’ dan takwa, meninggalkan sombong dan pamer, kembali kepada Allah, tawakal kepada-Nya dalam kesendirian maupun dalam keramaian.”
Wafatnya Sang Pelayan
Setelah menyampaikan untaian mutiara hikmah itu, ia merasa tugasnya telah selesai. Gadis itu kemudian beranjak. Ia mengambil wudhu lalu berdiri untuk shalat. Gerakannya begitu tenang. Setiap rukun ia jalankan dengan penuh khusyu’ dan khudhu’. Ia seakan sedang bercengkrama langsung dengan Sang Pencipta.
Tepat seusai mengucapkan salam terakhir, tubuh kurus itu terkulai lembut. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dalam posisi bersimpuh. Wajahnya yang pucat kini memancarkan kedamaian abadi. Ia telah kembali kepada Yang Maha Dicintai, dengan membawa bekal “makanan hati” yang sempurna.
Muhammad bin Abu Al-Faraj termangu di tempatnya. Air mata mengalir di pipinya. Ia tidak merasa kehilangan seorang pelayan. Ia baru saja kehilangan seorang guru agung yang diutus Allah kepadanya. Di malam Idul Fitri itu, ia mendapatkan hadiah terindahnya: sebuah pelajaran tentang makna sejati menjadi hamba. (Tri)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
