SURAU.CO – Perbincangan tentang pembagian kerja suami-istri selalu menjadi topik hangat. Oleh karena itu, banyak pasangan modern bertanya-tanya tentang peran ideal mereka. Siapakah yang bertanggung jawab mencari nafkah? Kemudian, siapa yang seharusnya mengurus pekerjaan domestik? Sebenarnya, Islam sebagai pedoman hidup yang lengkap memberikan kerangka yang jelas namun fleksibel. Konsep ini tidak bertujuan memberatkan satu pihak. Sebaliknya, ia mendorong keharmonisan dan keadilan dalam rumah tangga. Untuk itu, mari kita bedah lebih dalam mengenai pembagian kerja suami-istri dalam Islam berdasarkan sumber utamanya.
Kewajiban Utama Suami: Sang Pencari Nafkah
Islam secara tegas meletakkan kewajiban nafkah di pundak suami. Pada dasarnya, ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah perintah yang mengikat. Suami wajib memastikan kebutuhan primer keluarganya terpenuhi. Kebutuhan ini mencakup sandang (pakaian), pangan (makanan), dan juga papan (tempat tinggal).
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa: 34).
Ayat ini menjadi landasan utama peran suami sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga. Dengan kata lain, kepemimpinan (qawwamah) seorang suami terikat langsung dengan kemampuannya memberikan nafkah. Tanggung jawab ini memastikan istri dapat fokus pada peran penting lainnya. Bahkan, kewajiban ini tetap berlaku meskipun sang istri memiliki penghasilan sendiri dari pekerjaannya.
Peran Mulia Istri: Manajer Rumah Tangga
Lalu, bagaimana dengan peran istri? Secara tradisional dan berdasarkan banyak hadis, peran utama istri berpusat pada pengelolaan rumah tangga. Istri adalah “manajer” yang menjaga kehormatan suami dan hartanya. Di samping itu, ia juga berperan penting dalam mendidik anak-anak. Peran ini sangat krusial untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan penuh ketenangan (sakinah).
Rasulullah SAW bersabda:
“…dan seorang wanita adalah pemimpin (penanggung jawab) di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini jelas menempatkan istri pada posisi terhormat. Artinya, ia bukan sekadar pembantu, melainkan seorang pemimpin di dalam ranah domestik. Tugasnya menjaga amanah suami menjadi fondasi bagi keutuhan keluarga. Akan tetapi, penting untuk digaris bawahi, Islam tidak mewajibkan istri untuk melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, seperti mencuci atau memasak secara mutlak.
Prinsip Kerjasama: Teladan dari Rasulullah SAW
Islam tidak mengajarkan pembagian peran yang kaku dan mutlak. Fondasi utama pernikahan adalah mu’asyarah bil ma’ruf (memperlakukan pasangan dengan baik) dan ta’awun (tolong-menolong). Karena itu, suami dan istri adalah mitra yang saling melengkapi dalam segala hal.
Contoh terbaik datang langsung dari Rasulullah SAW. Beliau tidak pernah segan membantu pekerjaan rumah tangga istri-istrinya. Sebagai contoh, Aisyah RA pernah ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi di rumahnya. Ia menjawab:
“Beliau ikut membantu pekerjaan keluarganya (istrinya), dan jika datang waktu shalat, maka beliau keluar untuk shalat.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain, Aisyah RA juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW biasa menjahit pakaiannya sendiri. Beliau juga memperbaiki sandalnya, dan melakukan pekerjaan lain. Teladan ini jelas menunjukkan bahwa membantu urusan domestik tidak akan mengurangi derajat seorang suami. Justru, hal itu akan menambah cinta dan kasih sayang dalam keluarga.
Bagaimana Jika Istri Bekerja?
Di era modern, banyak istri yang turut bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Islam sendiri tidak melarang seorang wanita bekerja. Namun, hal ini diperbolehkan selama mendapat izin dari suami. Selain itu, ia juga wajib menjaga aurat dan memastikan pekerjaannya halal.
Jika istri bekerja dan memiliki penghasilan, harta tersebut sepenuhnya menjadi miliknya. Suami tidak berhak mengambilnya tanpa kerelaan sang istri. Meskipun begitu, kewajiban nafkah utama tetap berada pada suami. Akan tetapi, jika istri dengan ikhlas ingin membantu keuangan keluarga, maka hal itu menjadi sedekah yang bernilai pahala besar. Pada akhirnya, komunikasi dan kesepakatan (musyawarah) menjadi kunci untuk mengatur ulang pembagian tugas di rumah secara adil.
Kesimpulan: Komunikasi adalah Kunci Utama
Sebagai kesimpulan, pembagian kerja suami-istri dalam Islam bukanlah tentang siapa yang lebih superior. Sebaliknya, ini adalah tentang memahami kewajiban pokok dan menjalankannya dengan semangat kerjasama.
Pertama, suami memiliki kewajiban utama mencari nafkah.
Kedua, istri memiliki peran utama mengelola rumah tangga.
Kemudian, keduanya wajib bekerja sama, saling membantu, dan berkomunikasi untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Rumah tangga yang ideal terwujud bukan karena pembagian tugas yang kaku. Melainkan, karena keikhlasan setiap pasangan untuk saling meringankan beban satu sama lain.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
