Berita Politik
Beranda » Berita » Putusan MK dan Jalan Baru Demokrasi Indonesia

Putusan MK dan Jalan Baru Demokrasi Indonesia

Putusan MK dan Jalan Baru Demokrasi Indonesia
Putusan MK dan Jalan Baru Demokrasi Indonesia

SURAU.CO Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengukir sejarah melalui Putusan Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. Dalam amar putusannya, MK menetapkan bahwa pemilu nasional—meliputi pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD—harus terpisah dari pemilu lokal seperti pemilihan DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota. MK mewajibkan jeda waktu dua hingga dua setengah tahun setelah pelantikan pejabat nasional sebelum rakyat melangsungkan pemilu lokal.

Putusan ini tidak sekadar menghapus tradisi “pemilu lima kotak serentak.” MK justru mengambil langkah strategis yang menyentuh jantung praktik demokrasi Indonesia.

Mengapa Pemilu Harus Terpisah?

Saat rakyat menyelenggarakan pemilu nasional dan lokal secara bersamaan, kampanye tingkat nasional sering kali menenggelamkan suara dan isu-isu lokal. Calon kepala daerah sering kesulitan menarik perhatian publik yang lebih fokus pada debat pilpres dan janji politik nasional.

Pemilu serentak juga membuat perhatian rakyat terpecah antara gagasan kebangsaan dan kebutuhan pelayanan publik lokal. Akibatnya, proses memilih menjadi tergesa-gesa, dan rakyat sulit menyelami kualitas setiap calon. Situasi ini membuat demokrasi kehilangan ruang untuk refleksi dan pendalaman.

Dengan memisahkan pelaksanaan pemilu, rakyat dapat mencurahkan perhatian penuh pada dua level kepemimpinan. Pada satu waktu, mereka mempertimbangkan arah negara. Di waktu yang lain, mereka fokus pada solusi konkret untuk persoalan harian di daerahnya.

Peduli Sumatera: Saat Saudara Kita Menjerit, Hati Kita Harus Bangkit

Demokrasi yang Lebih Substansial

Putusan MK membuka ruang bagi demokrasi yang lebih matang. Rakyat bisa mengarahkan pemilu nasional pada debat ideologis dan visi jangka panjang republik. Sementara itu, mereka bisa menjadikan pemilu lokal sebagai ajang untuk menilai pelayanan publik yang nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan sistem ini, rakyat tak lagi sekadar meramaikan hajatan politik lima tahunan. Mereka justru memasuki forum demokrasi yang lebih serius dan mendalam. Calon kepala daerah pun dituntut untuk membangun kredibilitas secara mandiri, tanpa bergantung pada “efek ekor jas” dari tokoh-tokoh nasional.

Tantangan Regulasi dan Penyelenggaraan

Langkah besar ini tentu menghadirkan sejumlah tantangan. Dari sisi hukum, pemerintah dan DPR harus segera merevisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada agar sesuai dengan ketentuan baru. Mereka perlu menyesuaikan masa jabatan, sistem pencalonan, dan skema pembiayaan negara.

Dari sisi teknis, KPU, Bawaslu, dan jajaran ad hoc di lapangan harus bersiap menghadapi beban kerja ganda dalam satu periode lima tahun. Jika mereka tidak mendapatkan dukungan SDM, logistik, dan manajemen anggaran yang memadai, pemisahan ini justru bisa merusak kualitas pemilu.

Ancaman Kelelahan Politik Rakyat

Rakyat juga berpotensi mengalami kelelahan politik. Menyelenggarakan dua kali pemilu dalam lima tahun bukan perkara ringan. Partisipasi bisa menurun, apatisme bisa meningkat, dan legitimasi hasil pemilu bisa tergerus bila antusiasme publik melemah.

Asosiasi Ma’had Aly Dorong PenguatanDirektorat Jenderal Pesantren

Untuk itu, pemerintah dan lembaga masyarakat sipil harus terus menggencarkan pendidikan politik. Mereka perlu menyadarkan masyarakat bahwa dua momen pemilu ini merupakan kesempatan emas untuk lebih terlibat menentukan arah bangsa, baik secara nasional maupun lokal.

Ujian Bagi Partai dan Kaderisasi Politik

Putusan MK juga menjadi ujian bagi partai politik. Calon kepala daerah tak lagi bisa menumpang popularitas calon presiden atau nama besar partai pusat. Mereka harus tampil dengan gagasan dan rekam jejak sendiri.

Situasi ini akan menguji kualitas kaderisasi partai politik. Partai yang mampu menyiapkan kader berkualitas di tingkat lokal akan bertahan dan tumbuh. Sebaliknya, partai yang selama ini bergantung pada figur sentral akan tergerus oleh dinamika baru ini.

Biaya Demokrasi yang Tak Murah

Kita juga harus menghadapi kenyataan bahwa pemisahan pemilu akan meningkatkan biaya demokrasi. Dua kali distribusi logistik, dua kali kampanye, dua kali pengawasan—semuanya membutuhkan anggaran besar. Jika tidak ada kontrol yang ketat, celah ini bisa dimanfaatkan untuk praktik politik uang dan transaksi kotor lainnya.

Pemerintah harus memperkuat pengawasan, memperluas transparansi, dan memperketat sistem audit dana kampanye. Hanya dengan cara itu, kita bisa membenarkan biaya besar tersebut sebagai investasi untuk pemilu yang benar-benar mencerminkan suara rakyat.

Hikayat yang Menggetarkan: Menyelami Kitab Al-Mawa’idhul Ushfuriyah

Pijakan atau Jebakan?

Putusan MK ini ibarat pedang bermata dua. Kita bisa menjadikannya pijakan kuat menuju demokrasi yang lebih sehat dan reflektif. Namun, bila kita gagal mengelola transisi ini secara serius, putusan ini justru bisa berubah menjadi jebakan rumit yang memperberat beban negara dan masyarakat.

Kita harus menentukan sikap: apakah kita cukup puas berhenti pada perayaan hukum, atau mau melanjutkannya dengan pembenahan sistemik?

Menuju Demokrasi yang Dewasa

Putusan MK 135/PUU-XXII/2024 menjadi panggilan bagi seluruh elemen bangsa. Apakah kita siap melangkah menuju demokrasi yang lebih dewasa? Atau justru tengah menciptakan kerumitan yang belum kita siapkan jalannya?

Demokrasi bukan hanya soal memilih, tapi juga soal membangun sistem yang adil, jernih, dan membumi. Kita sudah membuka ladang demokrasi baru. Sekarang saatnya kita menabur kebijakan yang bijak, menyiramnya dengan kerja keras, dan memanen hasilnya bersama rakyat yang tercerahkan. (Dikutip dari berbagai sumber)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement