Sosok
Beranda » Berita » Abdoel Moeis: Sastrawan, Jurnalis, dan Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

Abdoel Moeis: Sastrawan, Jurnalis, dan Pahlawan Nasional Pertama Indonesia

Abdoel Moeis
Abdoel Moeis

SURAU.CO – Tepat pada tanggal 3 Juli, Indonesia memperingati Hari Sastra Indonesia. Penetapan ini memang terbilang baru dan belum memiliki keterangan resmi dari negara. Tanggal tersebut terpilih untuk menghormati hari kelahiran seorang tokoh besar. Sosok itu adalah Abdoel Moeis, sastrawan sekaligus pahlawan nasional pertama yang diangkat oleh Presiden Soekarno.

Lalu, siapakah sebenarnya sosok Abdoel Moeis? Ia bukan hanya seorang pengarang. Ia adalah seorang pejuang, jurnalis, dan politisi yang gigih. Kiprahnya membentang dari ruang redaksi, panggung politik, hingga lembaran sastra abadi.

Masa Awal dan Pendidikan yang Cemerlang

Abdoel Moeis lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 3 Juli 1886. Ia memiliki darah campuran yang unik. Ayahnya merupakan seorang tokoh berpengaruh dari Minangkabau. Sementara ibunya berasal dari Jawa dan memiliki keahlian pencak silat. Moeis tumbuh sebagai seorang Muslim yang taat dan aktif dalam organisasi politik beraliran Islam.

Ia menempuh pendidikan di Europees Lagere School (ELS). Setelah itu, ia lulus dari Kleinambtenaarsexamen (ujian amtenar kecil). Moeis juga pernah belajar selama tiga tahun di Stovia (sekolah dokter) Jakarta. Namun, ia terpaksa keluar sebelum tamat karena menderita sakit.

Kemampuannya dalam berbahasa Belanda sangatlah fasih. Bahkan, banyak orang Belanda mengakui kemampuannya melebihi rata-rata penutur asli. Berkat keahliannya itu, Departemen van Onderwijs en Eredienst mengangkatnya menjadi klerk  pada 1903. Akan tetapi, jiwa patriotiknya yang kuat, membuatnya  para pegawai Belanda tidak menyukainya. Hal ini mendorongnya untuk keluar pada tahun 1905.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Terjun ke Dunia Jurnalisme dan Politik

Setelah meninggalkan pekerjaan sebagai klerk, Abdoel Moeis memulai kariernya di dunia jurnalistik. Ia diterima bekerja di harian De Preanger Bode di Bandung. Awalnya ia menjadi korektor, tetapi kemampuannya membuat harian tersebut mengangkatnya sebagai hoofdcorrector (kepala korektor).

Pada tahun 1913, jiwa patriotnya kembali memanggil. Moeis tertarik dengan dunia politik dan memutuskan bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Organisasi ini dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Sarekat Islam, mempercayakannya menjadi pemimpin redaksi surat kabar Kaum Muda. Ia sering menulis dengan nama samaran “A.M.”

Melalui Sarekat Islam, Moeis giat menyuarakan otonomi yang lebih luas bagi Hindia Belanda. Pada tahun 1917, ia bahkan menjadi delegasi “Comite Indie Weerbaar” ke Negeri Belanda. Tujuannya adalah memperjuangkan pertahanan Hindia. Sekembalinya dari sana, ia mendapati Kaum Muda telah dibredel. Namun, perjuangannya tidak berhenti. Ia lalu memimpin harian Neratja di Jakarta.

Perjuangan di Volksraad dan Pengasingan

Kiprah politik Abdoel Moeis semakin menonjol. Ia dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada 18 Mei 1918. Di dewan ini, ia terus berjuang menentang penjajahan Belanda. Pada tahun 1922, ia memimpin aksi mogok kerja para pegawai pegadaian di Yogyakarta (PPPB).

Perlawanannya mencapai puncak di Sumatra Barat. Ia memimpin gerakan protes terhadap aturan pajak tanah (Landrentestelsel). Protes tersebut berhasil membuat Belanda mengurungkan niatnya. Namun, aktivitasnya dianggap sangat mengganggu ketertiban pemerintah kolonial. Akibatnya, pada tahun 1926, Abdoel Moeis “dibuang” dan tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Meskipun dalam pengasingan, semangatnya tidak padam. Ia tidak lagi menonjol di Sarekat Islam, tetapi menemukan medium perjuangan baru. Sejak saat itu, ia mulai fokus menulis novel dan menyadur karya sastra asing hingga akhir hayatnya.

Karya Sastra yang Monumental

Dunia sastra mengenang Abdoel Moeis melalui karya-karyanya yang luar biasa. Novelnya yang paling terkenal, Salah Asuhan (1920-an), menjadi sebuah gebrakan. Novel ini mendapat perhatian luas dari berbagai kalangan kritikus.

Pada saat itu, kebanyakan pengarang hanya mengangkat tema adat kolot. Abdoel Moeis justru menyajikan tema yang lebih modern dan personal. Salah Asuhan menampilkan konflik pribadi seperti cita-cita, cinta, dan dendam. Novel ini juga berani mempertanyakan isu kawin campur antarbangsa. (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: 2022).

Selain Salah Asuhan, ia juga menulis karya lain. Novel sejarahnya antara lain Surapati dan Robert Anak Surapati. Cerpennya yang terkenal berjudul “Suara Kakaknya” dan “Di Tepi Laut”. Ia juga menulis beberapa puisi.  Majalah Boedaja pernah memuat beberapa puisinya.

Moeis turut memperkaya khazanah sastra terjemahan. Ia menerjemahkan Tom Sawyer karya Mark Twain dan Don Kisot karya Cervantes. Ia juga menyadur cerita anak Sebatang Kara dari karya Hector Malot. Kritikus A. Teeuw menyebutnya sebagai golongan pertama sastrawan Indonesia yang nasionalis. Sementara itu, Pamusuk Eneste menggolongkannya ke dalam Angkatan Balai Pustaka.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Akhir Hayat dan Warisan Abadi

Abdoel Moeis meninggal dunia di Bandung pada 17 Juni 1959. Ia wafat pada usia 72 tahun akibat menderita sakit darah tinggi. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan dua orang istri dan tiga belas orang anak. (Sumarno, H.S. 2015:118).

Atas seluruh jasa dan perjuangannya, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Penetapan ini berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 2183/59, tanggal 30 Agustus 1959. Abdoel Moeis tercatat dalam sejarah sebagai Pahlawan Nasional pertama yang diangkat oleh Republik Indonesia. Sejak saat itu, pemberian gelar pahlawan menjadi tradisi bagi bangsa.

Sosok Abdoel Moeis adalah bukti nyata bahwa perjuangan tidak hanya dalam banyak medan. Ia adalah seorang sastrawan yang penanya tajam, jurnalis yang suaranya lantang, dan politisi yang tak kenal takut. (Tri/dari berbagai sumber)

Sumber :

https://dapobas.kemdikbud.go.id/home?show=isidata&id=31

pengelolakrinok,+19.+Nensi+Dwi+188-196.pdf

Sumarno, H.S. (2015). Bunga Bangsa Indonesia Abdul Muis. Yogyakarta: Sumber Citra Lestari


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement