Opinion
Beranda » Berita » Bahaya Fast Fashion bagi Kesehatan Mental

Bahaya Fast Fashion bagi Kesehatan Mental

Bahaya Fast Fashion bagi Kesehatan MentalBahaya Fast Fashion bagi Kesehatan Mental

SURAU.CO – Media sosial membuat tren fesyen berganti sangat cepat. Fenomena ini kita kenal sebagai fast fashion. Industri mode memang terlihat glamor dan penuh warna. Namun, di baliknya ada sisi gelap yang jarang terungkap. Sisi gelap itu adalah dampak buruk fast fashion bagi kesehatan mental kita. Dokter sekaligus aktivis sosial, dr. Puspita Wijayanti, membagikan analisisnya mengenai masalah ini.[1]

Jebakan Adiksi Belanja yang Menyenangkan

Membeli pakaian baru dapat memberikan perasaan senang. Aktivitas belanja ini ternyata memicu keluarnya dopamin dalam otak.[1] Dopamin adalah neurotransmitter yang membuat kita merasa puas dan bahagia. Namun, efek dopamin dari belanja hanya bersifat sementara, sama seperti mekanisme adiksi lainnya.[1]

Saat rasa senang itu hilang, kita akan merasakan dorongan untuk mengulanginya. Kita ingin membeli lebih banyak lagi. Kita terus mengikuti tren terbaru tanpa henti. Tanpa sadar, kita masuk dalam lingkaran setan belanja kompulsif (compulsive shopping disorder).[1]

Sebuah studi dari Journal of Consumer Research menunjukkan temuan penting. Dorongan belanja kompulsif sering kali muncul dari rasa cemas.[1] Perasaan rendah diri juga menjadi pemicu utamanya. Dalam konteks fast fashion, kondisi ini menjadi lebih parah karena beberapa faktor.[1]

Pertama, adanya Fear of Missing Out (FOMO) atau takut ketinggalan zaman. Tren yang berubah sangat cepat membuat kita cemas. Kita merasa harus segera membeli agar tidak tertinggal tren.[1] Kedua, adanya tekanan dari perbandingan sosial. Media sosial terus-menerus menampilkan standar gaya yang sulit kita capai. Kita merasa tertekan untuk selalu tampil modis dan mengikuti tren.[1]

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Ketiga, adanya kepuasan sesaat yang diikuti penyesalan. Rasa senang saat membeli pakaian baru seringkali berganti rasa bersalah.[1] Stres akibat pengeluaran yang berlebihan pun muncul kemudian.[1]

Krisis Identitas Diri di Balik Tumpukan Pakaian

Fast fashion menawarkan cara mudah untuk tampil seperti idola di media sosial. Ironisnya, hal ini justru merusak hubungan kita dengan diri sendiri.[1] Kita mulai menggantungkan ekspresi diri pada barang yang kita konsumsi. Akibatnya, kita kehilangan koneksi dengan jati diri kita yang sebenarnya.[1]

Fenomena ini dikenal sebagai krisis identitas fesyen (fashion identity crisis).[1] Seseorang merasa harus terus membeli baju baru agar tetap dianggap relevan. Mereka membeli bukan karena suka atau butuh. Mereka membeli karena tekanan sosial.[1]

Oleh karena itu, fast fashion tidak membangun kepercayaan diri. Tren ini justru meningkatkan kecemasan karena tuntutan untuk selalu up-to-date.[1Fast fashion mengikis kepuasan diri. Kebahagiaan kita menjadi bergantung pada barang, bukan pada nilai diri atau pengalaman hidup.[1] Perilaku impulsif ini sering berujung pada penyesalan finansial dan emosional yang mendalam.[1]

Dampak pada Lingkungan Kerja dan Produktivitas

Kecanduan belanja tidak hanya merugikan kondisi finansial. Kebiasaan ini juga memengaruhi kesehatan mental dalam dunia kerja.[1] “Di Jepang, fenomena ini dikenal dengan istilah shoppaholic burnout, di mana individu mengalami kelelahan mental akibat tekanan untuk terus membeli dan mengikuti standar sosial yang tidak realistis,” kata dr. Puspita.[1] Tekanan ini dapat menurunkan fokus dan produktivitas kerja secara signifikan.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Cara Bijak Mengelola Tren Fast Fashion

Fast fashion telah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Namun, kita bisa mengelolanya dengan bijak agar tidak merusak kesehatan mental. Berikut beberapa cara yang dapat Anda terapkan.[1]

Pertama, terapkan mindful shopping atau belanja dengan kesadaran penuh. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri. Apakah saya benar-benar butuh barang ini? Ataukah ini hanya keinginan sesaat? Jika hanya keinginan, coba tunda pembelian selama 24 jam sebelum membuat keputusan.[1]

Kedua, fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Bangun lemari pakaian Anda berdasarkan karakter personal. Jangan hanya mengikuti tren musiman yang cepat berlalu. Pilihlah pakaian yang berkualitas dan tahan lama.[1]

Ketiga, lakukan detoks media sosial. Kurangi paparan terhadap konten yang memicu Anda untuk membandingkan diri. Hindari akun-akun yang mendorong konsumsi impulsif.[1]

Keempat, alihkan fokus untuk membangun harga diri yang stabil. Penampilan memang penting. Tetapi, kepercayaan diri sejati datang dari dalam. Nilai diri Anda jauh lebih berharga daripada pakaian yang Anda kenakan.[1]

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Menurut dr. Puspita, fast fashion bukan hanya isu ekonomi dan lingkungan. Ini adalah tentang cara kita memandang diri sendiri.[1] Ketika membeli pakaian menjadi cara untuk mencari validasi, kita tidak lagi membeli pakaian. Kita membeli rasa aman dan kepercayaan diri semu.[1] Namun, kebahagiaan dari konsumsi akan selalu bersifat fana, sama seperti tren mode itu sendiri.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement