“Turutan” dan “Iqro'” Warisan Budaya Belajar Baca Al-Qur’an
Turutan dan Iqro’ adalah warisan budaya belajar membaca Al-Qur’an. Keduanya memiliki sejarah dan karakteristik masing-masing sebagai warisan budaya belajar baca Al Qur-an. Membaca Al-Qur’an merupakan warisan budaya yang penting dalam masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam. Tradisi membaca Al-Qur’an, baik secara individu maupun dalam kelompok, memiliki nilai agama dan sosial yang mendalam. Di Minangkabau, tradisi perayaan khatam Al-Qur’an menjadi salah satu contoh bagaimana membaca Al-Qur’an diintegrasikan dalam budaya lokal sebagai warisan tak benda.
Membaca Al-Qur’an adalah perintah Allah SWT yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Membaca Al-Qur’an mendatangkan banyak keutamaan, seperti mendapatkan pahala yang berlipat ganda, ketenangan, rahmat, dan syafaat. Al-Qur’an berfungsi sebagai obat hati yang dapat menenangkan jiwa dan memberikan petunjuk.
Tradisi membaca Al-Qur’an, seperti perayaan khatam, adalah bagian dari warisan budaya yang perlu dilestarikan. Membaca Al-Qur’an, baik secara individu maupun dalam komunitas, memperkuat identitas keagamaan dan nilai-nilai Islam.
Metode Turutan
Turutan dikenal sebagai Qa’idah Baghdadiyah, adalah metode tradisional yang menggunakan pengenalan huruf hijaiyah tanpa harakat. Metode Turutan disusun oleh Abu Mansur Abdul Qafir Al-Baghdadi, menurut Mojok.co. Metode ini digunakan untuk belajar membaca Al-Quran dengan cara mengeja huruf per huruf. Turutan dipercaya sudah ada sejak Islam masuk ke Indonesia. Turutan, atau metode Baghdadiyah, menekankan pada pengenalan huruf-huruf hijaiyah satu per satu dengan cara dieja. Metode ini merupakan salah satu metode tertua yang digunakan dalam pembelajaran Al-Quran di Indonesia.
Turutan dianggap sebagai metode yang cukup efektif untuk pemula yang baru belajar membaca Al-Quran. Beberapa sumber menyebutkan bahwa metode ini juga dikenal sebagai “metode eja” atau “latih tubi”; meskipun tidak diketahui pasti siapa pengasasnya. Metode ini diyakini berasal dari Baghdad, Irak, dan diperkenalkan di Indonesia seiring dengan masuknya agama Islam. Dalam praktiknya, metode ini melibatkan pengajaran huruf-huruf hijaiyah secara bertahap, dimulai dari huruf tunggal, kemudian dilanjutkan dengan penggabungan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata dan kata.
Metode Iqro’
Metode Iqro’ adalah metode modern yang lebih sistematis dan bertahap, dikembangkan oleh KH. As’ad Humam. Pencipta metode Iqro’ K.H. As’ad Humam ini adalah seorang tokoh agama yang lahir di Yogyakarta pada tahun 1933. Metode Iqro’ merupakan metode belajar membaca Al-Quran yang populer, yang dirancang untuk mempermudah pembelajaran bagi pemula.
As’ad Humam, melalui metode Iqro’, berhasil menyederhanakan cara belajar membaca Al-Quran, sehingga lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Metode ini tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga di negara-negara serumpun seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Selain metode Iqro’, As’ad, Humam juga mendirikan Taman Kanak-kanak Alquran (TKA) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Kotagede, Yogyakarta, yang semakin memperluas akses pendidikan Al-Quran.
Metode membaca Al-Quran Iqro mulai diperkenalkan pada tahun 1988. Awalnya, metode ini dikembangkan dari metode tradisional Baghdadi oleh Tim Tadarus Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di Yogyakarta dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1990. Metode Iqro bertujuan untuk memudahkan siapapun, terutama anak-anak, belajar membaca Al-Quran secara mandiri. Buku Iqro’ kemudian menjadi populer dan banyak digunakan di berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia dan negara lain, seperti Malaysia.
Kenangan Masa Kecil Membaca Al-Quran
Kenangan ketika masa kecil membaca Al-Quran seringkali dipenuhi dengan suasana belajar yang hangat dan penuh kebersamaan. Banyak yang mengingat momen-momen di TPA atau Madrasah diniyah, belajar mengeja huruf hijaiyah dengan metode Iqro, atau membaca Al-Quran dengan bimbingan guru ngaji yang sabar. Ada juga yang mengenang pengalaman tadarus bersama teman-teman di masjid, serta momen sahur di bulan Ramadan. Belajar mengaji menjadi ajang berkumpul dan bermain bersama teman-teman sebaya, menciptakan kenangan manis dalam masa kecil.
Membaca Al-Quran di masa kecil merupakan kebiasaan baik yang memiliki banyak manfaat. Membiasakan anak-anak membaca Al-Quran sejak dini dapat menumbuhkan kecintaan pada Al-Quran, membantu perkembangan spiritual dan moral, serta memberikan ketenangan hati. Al-Quran mengandung nilai-nilai luhur yang dapat membentuk karakter anak menjadi lebih baik, seperti disiplin, jujur, dan bertanggung jawab. Membaca Al-Quran dapat melatih daya ingat dan kemampuan berpikir kritis pada anak. Membaca Al-Quran sejak kecil akan menjadi bekal bagi anak di dunia dan akhirat, karena mereka akan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua dapat menjadi contoh dengan rutin membaca Al-Quran di depan anak-anaknya. Mulailah memperkenalkan Al-Quran pada anak-anak sejak usia balita, misalnya dengan membacakan cerita-cerita pendek dari Al-Quran atau memperdengarkan lantunan ayat suci. Membaca Al-Quran menjadi menyenangkan bagi anak-anak, misalnya dengan membacanya bersama-sama atau menggunakan metode belajar yang menarik.
Berikan apresiasi dan pujian ketika anak-anak berhasil membaca Al-Quran atau menghafal ayat-ayat pendek. Dengan membiasakan membaca Al-Quran sejak kecil, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang Qurani, beriman, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
Warisan Budaya Baca Al-Qur’an
Membaca Al-Quran pada tahun 70-an di Indonesia, khususnya di daerah seperti Jawa, masih kental dengan tradisi mengaji di masjid atau langgar (surau). Anak-anak biasanya belajar membaca Al-Quran dengan metode mengeja (seperti metode Baghdadi) dan menghafal Juz Amma menggunakan Kitab Turutan. Setelah mahir, mereka akan mengaji al-Quran hingga khatam. Acara khataman seringkali dirayakan dengan meriah, seperti diarak keliling kampung.
Masjid, langgar (surau), atau tempat khusus yang disebut “nggon ngaji”. Metode Pembelajarannya:
- Mengeja: Menggunakan metode seperti Baghdadi, di mana huruf-huruf diajarkan dengan cara dieja (misalnya, “alif fathah a”, “ba’ fathah ba”).
- Menghafal: Hafalan Juz Amma menggunakan Kitab Turutan.
- Mengaji Nggladak: Setelah lancar mengeja, santri belajar membaca langsung (tanpa dieja).
Dengan melestarikan tradisi membaca Al-Qur’an, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memperkuat nilai-nilai agama dan karakter dalam masyarakat. Berita dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat mengatakan perayaan khatam Al-Qur’an di Minangkabau adalah contoh bagaimana tradisi ini diwariskan dan dijaga dari generasi ke generasi.
Generasi Cinta Membaca Al-Quran
“Generasi cinta membaca Al-Quran” merujuk pada upaya untuk menumbuhkan rasa cinta dan kedekatan generasi muda terhadap Al-Quran, kitab suci agama Islam. Hal ini melibatkan tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi juga mempelajari maknanya, mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Generasi yang mencintai Al-Quran akan menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai Al-Quran dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, sosial, dan politik. Al-Quran sebagai pedoman generasi muda agar dapat mengambil keputusan tepat, memiliki akhlak mulia, dan mampu berkontribusi positif bagi masyarakat. Berdasarkan hadis, membaca Al-Quran akan memberikan syafaat (pertolongan) bagi pembacanya di hari kiamat. Al-Quran bukan hanya kitab suci yang dibaca, tetapi juga pedoman yang membimbing umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
(Dikutip dari berbagai sumber-Budi-S)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
