SURAU.CO. Sejarah masuknya Islam di Kepulauan Maluku masih menyisakan misteri hingga sekarang. Wilayah yang mencakup Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan ini menjadi pusat perdebatan akademis. hal ini muncul karena beberapa faktor krusial antara lain karena landasan teori dan asumsi para sejarawan seringkali berbeda. Selain itu, minimnya dokumen tertulis atau arsip kuno menjadi tantangan utama.
Persoalan lain adalah perbedaan definisi tentang “masuknya Islam” itu sendiri. Beberapa pakar berpendapat Islam sudah masuk jika ada pedagang muslim asing di sana. Pendapat lain menyatakan Islam baru hadir saat penduduk lokal mulai memeluknya. Ada pula yang meyakini Islam harus melembaga dalam masyarakat terlebih dahulu. Perbedaan pandangan ini tentu menghasilkan kesimpulan waktu yang beragam.
Namun, di tengah perdebatan sengit itu, para sejarawan menemukan satu titik temu. Mereka semua sepakat bahwa kedatangan Islam di Maluku berlangsung secara damai. Agama ini menyebar melalui jalur perdagangan laut yang ramai. Maluku saat itu memegang peran vital dalam jaringan niaga global. Daerah ini merupakan penghasil utama cengkih dan pala. Dua komoditas ini sangat berharga dan dicari di pasar dunia.
Dua Jalur Proses Islamisasi
Dalam buku Sejarah Masuknya Islam di Maluku, karya Dr. Usman Thalib M.Hum, mengutib dari M. S. Putuhena, proses Islamisasi di Maluku berjalan melalui dua jalur utama. Ia membaginya menjadi jalur “atas” dan jalur “bawah”. Jalur “atas” merujuk pada penyebaran Islam melalui para elite penguasa. Para raja dan bangsawan di kesultanan-kesultanan Maluku memeluk Islam. Mereka kemudian mendorong penyebaran agama di kalangan rakyatnya. Ini menjadi strategi yang sangat efektif.
Sementara itu, jalur “bawah” adalah proses Islamisasi yang tumbuh dari masyarakat. Penyebaran ini dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat biasa. Interaksi langsung dengan para pedagang muslim menjadi pemicu utamanya. Untuk melacak jejak awal Islam, fokus penelitian harus diarahkan ke bandar-bandar niaga utama. Ternate terkenal dengan cengkihnya. Sementara Banda menjadi pusat perdagangan pala. Jangan lupakan pula Jazirah Leihitu di Pulau Ambon. Pelabuhan ini menjadi titik transit penting bagi para pedagang yang menuju Ternate di utara atau Banda di selatan.
Bukti Awal dan Tradisi Lisan
Jauh sebelum bangsa Portugis (1512) dan Belanda (1602) tiba, para saudagar dari Cina, India, dan Arab telah menjalin hubungan dagang di Maluku. Bukti kuat interaksi ini terlihat pada penggunaan aksara. Masyarakat di pusat perdagangan seperti Banda, Hitu, dan Ternate telah mengenal huruf Arab-Melayu. Hal ini tercatat dalam beberapa naskah tua, seperti Hikayat Tanah Hitu dan Kronik Bacan. Ini menunjukkan bahwa sebelum mengenal huruf Latin, masyarakat Maluku sudah akrab dengan tulisan dan angka Arab dalam transaksi dagang.
M.S. Putuhena dalam artikelnya “Sejarah Agama Islam Di Ternate” mengemukakan sebuah tradisi lisan yang menarik. Berdasarkan cerita turun-temurun, empat orang syekh dari Irak tiba di Maluku Utara pada akhir abad ke-2 Hijriah (abad ke-8 M). Kedatangan mereka dikaitkan dengan pergolakan politik di tanah kelahiran mereka. Keempat syekh ini adalah Syekh Mansur, yang menyebarkan Islam di Ternate dan Halmahera Muka. Kemudian , Syekh Yakub, yang berdakwah di Tidore dan Makian. Selain itu ada Syekh Amin dan Syekh Umar, yang mengajarkan Islam di Halmahera Belakang.
Tradisi lisan serupa juga hidup di Banda Neira dan Leihitu. Di Banda, Islam disebut masuk melalui Syekh Abubakar Al Pasya dari Persia. Kehadirannya juga dihubungkan dengan gejolak politik saat peralihan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Abbasiyah sekitar tahun 750 M.
Sumber Portugis dan Perspektif Lain
Versi lain menyebutkan bahwa orang-orang Banda justru menerima Islam di Malaka. Menurut Tome Pires (dalam Lapian, 1990), “bahwa armada dagang orang-orang Banda mampu berlayar sampai ke Malaka.” Di kota pelabuhan kosmopolitan itulah mereka mengenal Islam, lalu menyebarkannya di kampung halaman.
Sumber-sumber Portugis yang tiba pada 1512 memberikan catatan penting. Mereka mencatat bahwa agama Islam telah ada di Ternate sejak tahun 1460. Tome Pires juga memperkuat ini. Ia menyatakan bahwa Banda, Hitu, Makian, dan Bacan sudah memiliki komunitas Islam sekitar 50 tahun sebelum kedatangan Portugis, atau sekitar tahun 1460-1465. Catatan ini memberi kesan kuat bahwa Islam bukan lagi hal baru, melainkan sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat lokal.
Prof. Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia menawarkan pandangan yang lebih jauh ke belakang. Ia menyatakan, “bahwa sejak tahun 650M yakni 7 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para pedagang Arab telah membawa rempah-rempah cengkih dan pala ke pelabuhan-pelabuhan di teluk Persia.”
Hamka berspekulasi bahwa para pedagang Arab ini mungkin telah lama berinteraksi, bahkan menikah dengan perempuan pribumi. Namun, bisa jadi proses peribadatan secara Islam tidak berlanjut. Akibatnya, keturunan mereka kembali ke kepercayaan suku asalnya. Sinyalemen Hamka ini sangat sejalan dengan berbagai cerita rakyat tentang kehadiran orang asing beragama Islam di Maluku.
Semua uraian ini dapat dikonfirmasi dengan adanya jalur perdagangan kuno. Jalur Sutera (silk road) dan Jalur Rempah (spice route) menjadi saksi bisu pertemuan berbagai peradaban. Melalui jalur inilah para saudagar muslim tiba, membawa niaga sekaligus menyebarkan ajaran Islam secara damai di bumi Maluku.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
