SURAU.CO. Masjid-masjid di Mumbai kini beralih ke aplikasi azan digital untuk mengajak orang melakukan solat. Tindakan ini diambil setelah polisi menindak pengeras suara azan di masjid beberapa waktu belakangan ini. Seperti diketahui Polisi menertibkan lebih dari 1.500 pengeras suara masjid. Pihak keamanan berdalih hal itu sebagai tindak lanjut dari aturan kebisingan sebagai alasan utama. Namun, para pemimpin Muslim merasa tindakan ini diskriminatif. Sebagai respons, mereka mengadopsi solusi teknologi modern. Sebuah aplikasi seluler dari Tamil Nadu menjadi alternatif untuk kumandang azan.lusi inovatif ini dilakukan ditengah kontroversi dan tuduhan diskriminasi.
Banyak masjid di Mumbai kini memanfaatkan teknologi digital. Hal ini dilakukan setelah pengeras suara mereka diturunkan. Aplikasi bernama “OnlineAzan” menjadi pilihan utama. Aplikasi ini menyiarkan panggilan salat secara langsung. Jamaah dapat mendengarnya melalui ponsel mereka lima kali sehari. Inovasi ini memastikan seruan ibadah tetap terdengar di tengah pembatasan.
Adopsi Teknologi sebagai Solusi Praktis
Mengutip laman freepressjournal.in, Masjid Bismillah di Mahim menjadi salah satu pionir dalam penggunaan aplikasi adzan ini. Mereka pertama kali menggunakan aplikasi azan seluler. Awalnya, mereka memakai layanan dari New York. Kini, mereka beralih ke aplikasi buatan India, ‘OnlineAzan’. Wali amanat masjid, Moinuddin Ali, memberikan konfirmasi. “Kami juga memiliki peralatan suara, tetapi menyesuaikan kebisingannya agar sesuai dengan persyaratan hukum,” kata Ali. Ia menambahkan bahwa sekitar 225 jamaah sudah berlangganan azan dari masjidnya.
Langkah serupa diambil oleh Masjid Juma, masjid terbesar di Mahim. Mereka juga telah terdaftar di aplikasi OnlineAzan. Hingga kini, lebih dari 1.200 jamaah telah bergabung. Fahad Pathan, pengurus masjid, menjelaskan alasan peralihan. Mereka lebih percaya pada aplikasi buatan dalam negeri. Kekhawatiran muncul terkait keamanan data pada layanan sebelumnya. “Orang-orang khawatir tentang ke mana nomor telepon pribadi mereka dan data lainnya pergi. Aplikasi ini gratis dan mendapatkan donasi dari seorang dermawan yang berbasis di Tirunelveli,” kata Pathan.
Ia juga menyoroti keunggulan lain dari aplikasi ini. Proses pendaftarannya sangat teliti. Ini mengurangi risiko penyalahgunaan data. “Fitur lainnya adalah aplikasi ini hanya menyediakan layanan azan langsung dari masjid pilihan Anda. Tidak ada iklan atau layanan lainnya. Anda dapat meninggalkan satu masjid dan pindah ke masjid lain yang lebih dekat saat Anda bepergian,” imbuh Pathan.
Akar Masalah dan Perspektif Berbeda
Ketegangan ini bermula dari keputusan hukum. Pada Januari 2025, Pengadilan Tinggi Bombay membuat putusan penting. Pengadilan menyatakan pengeras suara bukan bagian esensial dari agama. Penggunaannya harus mematuhi batas kebisingan yang berlaku. Batas tersebut adalah 55 desibel di siang hari. Pada malam hari, batasnya turun menjadi 45 desibel.
Putusan ini memicu tindakan tegas dari polisi Mumbai. Mereka meluncurkan kampanye penertiban besar-besaran. Dalam tiga bulan, ribuan pengeras suara telah diturunkan. Mantan anggota parlemen BJP, Kirit Somaiya, mengklaim peran penting dalam kampanye ini. Di akun media sosial X, ia menyatakan, “Kami memulai [kampanye] tersebut setelah Pengadilan Tinggi Mumbai mengeluarkan arahan… 99% masjid/wali amanat tidak pernah memperoleh izin, mengajukan permohonan izin penggunaan pengeras suara hingga ada perintah dari Pengadilan Tinggi.” Somaiya menambahkan bahwa setelah tindakan polisi, “lebih dari 600 masjid dan wali amanat telah mengajukan izin dan polisi telah mengizinkan penggunaan pengeras suara.”
Namun, para pemimpin Muslim menyuarakan pandangan berbeda. Mereka menganggap respons polisi sewenang-wenang dan diskriminatif. “Mereka menyebutkan putusan pengadilan,” kata Imran Qureshi, anggota komite masjid, “tetapi putusan itu hanya membatasi volume suara — tidak melarang adzan.” Qureshi menolak menurunkan pengeras suara masjidnya. Ia beralasan petugas tidak memberikan surat perintah tertulis.
Perlawanan dan Tuduhan Diskriminasi
Pengurus masjid bersikeras bahwa peralatan mereka sudah patuh aturan. Mereka menuduh polisi tidak mengikuti prosedur hukum yang semestinya. Yusuf Ansari dari Komite Hazrat Khwaja Garib Nawaz Maharashtra angkat bicara. “Jika masjid terus melanggar aturan setelah pemberitahuan dan hukuman, pengeras suara dapat disita. Namun, ada keluhan bahwa polisi menyita peralatan tersebut tanpa mengikuti prosedur.”
Menurut Ansari, kumandang azan sangat singkat. “Rata-rata azan berlangsung antara tiga hingga lima menit,” katanya. Ia juga menegaskan bahwa mayoritas masjid sangat berhati-hati. Mereka tidak ingin mengganggu warga non-Muslim di sekitar mereka.
Sebagai bentuk perlawanan, lima lembaga keagamaan mengajukan petisi. Mereka membawanya ke Pengadilan Tinggi Bombay. Petisi tersebut menuduh polisi hanya memberi ancaman lisan. Tidak ada dokumen resmi yang menyertai tindakan mereka. Di Govandi, lebih dari 200 imam berkumpul untuk protes. Mereka mendapatkan dukungan dari legislator Abu Asim Azmi.
Yusuf Abrahani, seorang politisi, menyebut tindakan itu ilegal. “Hukum berlaku untuk semua orang, tetapi hanya umat Muslim yang menjadi sasaran. Trotoar ditempati selama Holi, Ganeshotsav, dan Diwali,” katanya. Ia menekankan bahwa komunitas Muslim telah patuh pada batas kebisingan.
Teknologi dan Tradisi di Persimpangan Jalan
Di tengah ketegangan, aplikasi OnlineAzan menawarkan jalan keluar. Aplikasi ini memungkinkan jamaah mendengar azan langsung dari masjid lokal. Ini berbeda dari aplikasi yang hanya memutar rekaman azan. Para pemimpin komunitas melihatnya sebagai solusi praktis. “Menjalankan salat lima waktu adalah kewajiban,” kata mereka, “tetapi menyiarkan azan melalui pengeras suara tidak diwajibkan oleh hukum agama.”
Meskipun begitu, tidak semua orang siap beralih sepenuhnya ke teknologi. Tradisi masih memiliki tempat yang kuat. Di Chunabhatti, polisi menindak dua wali amanat masjid dengan tuduhan menggunakan pengeras suara tanpa izin terbaru. Keduanya kini menghadapi tuntutan hukum serius.
Sementara itu, kontroversi terus bergulir. Kirit Somaiya aktif melacak kepatuhan masjid melalui pengajuan RTI. Para kritikus menuduh penargetan ini mencerminkan bias agama. Mereka melihatnya sebagai upaya menekan komunitas Muslim. Maulana Abdur Rehman Ziyahee menuduh pihak berwenang bekerja sama dengan politisi BJP. Ia menyebut kampanye tersebut mempunyai motif politik.
Saat ini, komunitas Muslim Mumbai berada dalam posisi yang sulit. Mereka merangkul alternatif digital untuk menjaga praktik keagamaan. Namun, mereka juga terus berjuang di ranah hukum. Mereka berusaha mempertahankan hak mereka di ruang publik yang terasa semakin terbatas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
