🕊️ Cinta & Kebencian dalam Perspektif Iman.
“لا يحبك إلا مشرك أو مبتدع أو جاهل. ولا يبغضك إلا مؤمن سني سلفي يحب أصحاب محمد ﷺ.” (“Tidak mencintaimu kecuali seorang musyrik, ahli bid’ah, atau jahil. Dan tidak membencimu kecuali seorang mukmin Sunni Salafi yang mencintai para sahabat Nabi Muhammad ﷺ.”)
📌 1. Makna “Cinta” dalam Islam
Dalam Islam, mencintai bukan sekadar perasaan, melainkan merupakan bagian dari keimanan. Seseorang dikatakan beriman jika ia mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, serta mencintai sahabat-sahabat Nabi yang menyalurkan sunnah dan aqidah yang benar. Allah berfirman:
> “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, ampuni kami dan saudara-saudara kami yang beriman lebih dahulu dari kami…’” (QS. al-Hasyr: 10)
Cinta kepada sahabat Nabi menunjukkan keimanan dan keberpihakan pada generasi terbaik umat Islam.
📌 2. Siapa yang Dicela oleh Kutipan?
Ungkapan itu menegaskan bahwa hanya tiga golongan yang “mencintai” seseorang yang sesungguhnya tidak layak dicintai menurut kriteria iman yang lurus, yaitu:
Musyrik: Karena cintanya bisa dikendalikan oleh hawa nafsu dan kesesatan akidah.
Mubtadiʼ (Ahli Bid’ah): Karena cintanya terhambat oleh inovasi dalam agama, bukan ilham wahyu.
Jahil (Bodoh): Karena tidak memiliki ilmu dan tidak memahami akidah serta sejarah Islam.
Mereka ini tidak memahami sunnah Rasul dan generasi salaf, sehingga kecintaan mereka tidak didasarkan pada pondasi iman.
📌 3. Siapa yang Layak “Membenci”?
Lawannya, yaitu yang membenci, adalah:
Seorang mukmin Sunni Salafi — yaitu pemeluk akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengikuti manhaj salaf shalih.
Ia mencintai para sahabat Nabi—karena merekalah perantara ajaran Islam yang murni.
Beliau membenci terhadap innovator dan penyimpang, bukan manusia, ketika mereka menyimpang dari agama. Itu adalah ekspresi bara’ (permusuhan dalam hal kebidʻahan), bukan kebencian pribadi.
📌 4. Landasan dari Ahlus Sunnah
Imam Ahmad berkata:
> “Jika kamu melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, curigailah keislamannya.”
(Al-Bidayah wa Nihayah)
Dan Imam Malik:
> “Barang siapa membenci salah seorang sahabat Rasulullah ﷺ, maka ia tidak memiliki bagian dalam Islam.”
(Al-I’tiqad, Al-Lalika’i)
Inilah dasar akidah yang menegaskan bahwa mencintai dan menghormati sahabat adalah bagian dari Islam, sedangkan mencela mereka merupakan bentuk penyimpangan.
📌 5. Tujuan Ungkapan Ini
Ungkapan tersebut bukan kudeta terhadap individu tertentu, tetapi peringatan tegas terhadap jalan akidah:
1. ✋ Batas kecintaan: Agar jangan sampai hati mencintai yang menyimpang dari Sunnah, meski berjubah agama.
2. 💡Penanda iman: Orang yang membenci kebid’ahan dan mencintai sunnah adalah cerminan iman yang benar.
3. 🚨Was-was akidah: Jika seseorang mencintai tokoh yang mencela sahabat, akidahnya perlu dikaji ulang.
📌 6. Sikap Salafi dalam Menanggapi Penyimpangan
Seorang salafi akan:
Memuliakan sahabat Nabi, mengakui keagungan mereka.
Menolak bid’ah dan penyimpangan, bukan pemeluknya.
Bersikap tegas dalam aqidah, tetapi tetap berlapang dada dan menghindari fanatisme buta.
Mengajak kembali kepada sunnah secara ilmiah dan penuh hikmah.
✅ Kesimpulan
Cinta yang benar dalam Islam adalah cinta yang berlandaskan iman dan sunnah, termasuk mencintai para sahabat Rasulullah ﷺ.
Kebencian yang dibenarkan adalah kebencian terhadap bid’ah dan penyimpangan, bukan terhadap manusia.
Kutipan itu menegaskan, hanya mereka yang memelihara aqidah yang lurus yang pantas disebut Mukmin, dan hanya mereka yang menolak penyimpangan yang secara prinsip bersih dari penyimpangan akidah.
📣 Penutup Ajakan
Mari kita periksa kembali keikhlasan cinta & kebencian kita dalam agama. Apakah kita mencintai para sahabat yang membawa sunnah dan aqidah? Atau justru membela yang menyimpang?
🔹 Semoga kita termasuk di antara orang-orang yang cinta pada sunnah, benci pada penyimpangan, dan menjadi bagian dari mukmin Sunni Salafi yang lurus aqidahnya. (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
