Apa Itu Diderot Effect?
SURAU.CO – Diderot Effect menjelaskan fenomena psikologis yang terjadi saat satu barang baru mendorong pembelian barang lain. Kita merasa harus mencocokkan satu barang dengan yang lain agar “selaras”. Padahal, kebutuhan sebenarnya tidak berubah.
Misalnya, kamu membeli sepatu baru. Tak lama kemudian, kamu merasa celana yang biasa kamu pakai jadi terlihat usang. Lalu kamu beli celana, beli tas, dan akhirnya seluruh gaya berpakaian berubah. Ini contoh klasik bagaimana satu pembelian bisa memicu rentetan belanja lanjutan.
Fenomena ini pertama kali dicetuskan oleh filsuf Prancis Denis Diderot. Dalam esainya, Diderot menceritakan bagaimana hadiah berupa jubah baru membuat seluruh barang di rumahnya terlihat jelek. Ia akhirnya mengganti semuanya—dan menyesal.
Mengapa Diderot Effect Terjadi?
Beberapa faktor psikologis mendasari efek ini. Pertama, kita ingin konsistensi visual dalam gaya hidup. Barang baru menciptakan “gangguan” terhadap estetika yang sudah kita anggap wajar.
Kedua, kita memiliki dorongan untuk menciptakan identitas diri melalui barang. Barang baru memberi sinyal perubahan, dan kita ingin barang lain ikut mencerminkan versi “baru” dari diri kita.
Ketiga, banyak iklan dan media memperkuat dorongan ini. Kita melihat gaya hidup “kurasi visual” sebagai tolok ukur keberhasilan sosial.
Oleh karena itu, begitu kita membeli satu barang, otak kita mulai mencocokkannya dengan barang lain. Kita merasa barang lama jadi tak pantas, padahal fungsinya masih sempurna.
Contoh Diderot Effect dalam Kehidupan Sehari-hari
Fenomena ini bisa kamu temukan di banyak aspek kehidupan, seperti:
- Rumah tangga: Kamu membeli sofa baru, lalu merasa karpet atau meja kopi terlihat tua.
- Gaya hidup digital: Kamu mengganti ponsel, lalu membeli casing baru, charger baru, bahkan headphone baru.
- Fesyen: Kamu membeli satu baju, lalu merasa sepatu dan tasmu tidak sepadan. Kamu pun membeli satu set baru.
- Hobi dan dekorasi: Kamu beli tanaman hias, lalu merasa pot, rak, dan ruangannya harus kamu perbarui juga.
Pada akhirnya, semua ini terjadi bukan karena kebutuhan nyata. Melainkan, karena kamu merasa perlu mengharmoniskan barang baru dengan lingkunganmu.
Apa Dampak Finansialnya?
Diderot Effect dapat menimbulkan spiral konsumsi yang membuat pengeluaran membengkak. Barang-barang yang sebelumnya masih berfungsi jadi terasa “tidak pantas”. Kamu membeli, bukan karena butuh, tapi karena ingin estetika utuh.
Kalau kamu tidak menyadarinya, efek ini bisa membuat keuangan terganggu. Tabungan jadi sulit tumbuh. Impulsif belanja meningkat. Bahkan kamu bisa merasa tidak pernah puas, terus mengejar keselarasan tanpa akhir.
Cara Menghindari Diderot Effect
Untungnya, kamu bisa menghentikan siklus ini. Berikut langkah-langkah konkret:
1. Tingkatkan Kesadaran
Langkah pertama: kenali saat kamu terdorong belanja hanya karena ingin “menyamakan” gaya. Begitu kamu sadari, kamu bisa berpikir lebih rasional.
2. Hitung Biaya Total
Jangan lihat harga satu barang saja. Tanyakan: “Apakah barang ini akan mendorong saya membeli barang lain?” Kalau ya, pertimbangkan ulang.
3. Tunda Pembelian
Beri jeda sebelum membeli barang pelengkap. Banyak keinginan akan memudar setelah satu atau dua hari.
4. Fokus pada Fungsi
Tanya dirimu: apakah barang ini benar-benar menambah nilai atau cuma membuat tampilan lebih serasi? Prioritaskan fungsi daripada estetika.
5. Bangun Identitas di Luar Barang
Latih pikiranmu untuk tidak mendefinisikan diri dari apa yang kamu punya. Nilaimu tidak datang dari matching outfit atau gadget terbaru.
6. Praktekkan Hidup Minimalis
Dengan menerapkan prinsip minimalisme, kamu bisa membatasi dorongan konsumsi. Fokus pada kebutuhan nyata, bukan sekadar keinginan.
Penutup: Kamu Tidak Perlu Selalu Serasi
Diderot Effect tidak buruk jika kamu menyadarinya dan bisa mengelolanya. Namun, saat kamu tidak sadar, efek ini bisa membuat kamu terjebak dalam siklus konsumsi yang tidak berujung.
Satu hal penting untuk diingat: kamu tidak perlu mencocokkan semua barang untuk merasa cukup. Hidup yang bahagia tidak berasal dari kepemilikan sempurna, tapi dari kepuasan dan kesadaran.
Mulailah dengan menunda, menganalisis, dan membatasi. Dengan begitu, kamu bisa keluar dari spiral konsumsi dan membangun gaya hidup yang lebih sehat—baik secara finansial maupun emosional. (AE).
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
