SURAU.CO – Demokrasi menjanjikan kesetaraan bagi seluruh warga negara. Prinsip “satu orang, satu suara” tampak menyetarakan semua pihak dalam menentukan arah masa depan bangsa. Namun, praktik demokrasi tidak selalu mencerminkan relasi seimbang antara kelompok mayoritas dan minoritas. Aktor politik sering memanfaatkan identitas kelompok sebagai alat dalam kontestasi kekuasaan. Inilah yang disebut politik identitas, strategi yang bisa memperkuat atau merusak demokrasi.
Politik Identitas: Definisi dan Dinamika
Politik identitas merujuk pada upaya politisasi kategori identitas tertentu untuk meraih dukungan politik. Dalam konteks demokrasi, strategi ini menjadi semakin menonjol ketika para aktor politik memilih untuk menggalang simpati dengan cara menonjolkan kesamaan atau perbedaan identitas kelompok. Misalnya, seorang calon kepala daerah yang mengedepankan identitas keagamaannya untuk menarik simpati pemilih yang satu keyakinan.
Pada satu sisi, strategi ini dapat menjadi sarana artikulasi kepentingan kelompok yang selama ini terpinggirkan. Ia memberi ruang bagi minoritas untuk menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keadilan sosial. Namun, di sisi lain, jika dijalankan secara eksklusif dan berlebihan, politik identitas dapat merusak kohesi sosial.
Minoritas dalam Arus Demokrasi
Kelompok minoritas sering menghadapi posisi rentan dalam kontestasi politik, baik secara jumlah maupun kekuasaan. Sejarah demokrasi menunjukkan banyak kasus ketika politisi mendiskriminasi, menytereotipkan, bahkan menyerang kelompok minoritas secara politik. Ketika kelompok mayoritas menyalahgunakan kekuatannya untuk menyingkirkan perbedaan, mereka justru mengkhianati esensi demokrasi: menjamin hak dan kesetaraan semua warga negara.
Meski demikian, demokrasi membuka ruang konstitusional bagi kelompok minoritas untuk memperjuangkan haknya. Mereka bisa menggunakan jalur hukum, keterwakilan politik, serta dukungan media dan masyarakat sipil untuk membangun posisi tawar. Tantangannya terletak pada kemampuan sistem demokrasi dalam bersikap inklusif, melindungi yang lemah, dan mencegah dominasi mayoritas.
Mayoritas dan Godaan Eksklusivisme
Kelompok mayoritas memiliki kekuatan besar untuk mengarahkan kebijakan politik. Namun, banyak di antara mereka terjebak dalam godaan untuk memonopoli ruang publik. Ketika kelompok mayoritas mempolitisasi identitas dan menjadikannya standar tunggal, mereka menyempitkan ruang toleransi dan keberagaman. Hal ini mengancam kehidupan demokrasi yang sehat.
Dalam situasi politik yang kompetitif, politisi dari kelompok mayoritas sering memakai identitas agama atau budaya untuk mendiskreditkan lawannya. Dalam praktik ini, mereka bukan hanya merugikan minoritas, tetapi juga merusak nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sejati tidak sekadar soal angka, tetapi tentang penghormatan terhadap keberagaman dan hak individu.
Politik Identitas dan Kualitas Demokrasi
Penggunaan politik identitas dalam kampanye politik punya dampak jangka panjang. Di satu sisi, ia bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya representasi dan hak kelompok tertentu. Tapi di sisi lain, ia juga bisa mengerdilkan demokrasi menjadi arena pertarungan identitas semata.
Kampanye yang didominasi isu identitas cenderung mengabaikan substansi. Kandidat tidak lagi diuji berdasarkan visi, kapasitas, atau integritasnya, melainkan pada kesamaan identitas dengan pemilih. Pemilih pun tak lagi rasional, tapi emosional.
Lebih dari itu, politik identitas bisa menciptakan segregasi politik. Masyarakat terbelah dalam blok-blok identitas yang sulit berdialog satu sama lain. Akibatnya, ruang publik kehilangan daya kritis dan hanya dipenuhi kebisingan sektarian.
Membangun Demokrasi yang Inklusif
Untuk memperkuat demokrasi, kita harus menyadari bahwa keberagaman merupakan kekuatan, bukan ancaman. Negara harus berperan aktif sebagai pelindung seluruh warga tanpa memihak mayoritas atau minoritas. Penegak hukum harus menegakkan keadilan secara merata, tanpa diskriminasi.
Kita juga perlu menyebarluaskan pendidikan politik yang mencerdaskan. Masyarakat harus belajar berpikir kritis dan menolak narasi identitas yang memecah belah. Media dan tokoh publik perlu membentuk opini yang sehat dan rasional dalam masyarakat.
Yang paling penting, para elite politik harus menolak menggunakan identitas sebagai alat kekuasaan. Mereka harus mengedepankan adu gagasan, bukan memperkuat sekat-sekat primordial. Politik seharusnya menjadi ruang menyatukan visi, bukan alat memperdalam perbedaan.
Penutup
Politik identitas memang menjadi bagian dari demokrasi yang plural. Namun, jika politisi menggunakan identitas secara manipulatif dan eksklusif, demokrasi akan menjadi rapuh dan mudah terpecah. Hubungan antara mayoritas dan minoritas seharusnya bersifat saling melengkapi, bukan saling menegasikan.
Tugas kita bersama adalah menjaga ruang demokrasi tetap adil dan inklusif untuk semua. Sebab, demokrasi sejati tidak hanya milik mereka yang banyak, tetapi juga kaum minoritas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
