Mode & Gaya
Beranda » Berita » Fast Fashion vs. Slow Fashion: Tren Sesaat dan Kesadaran Jangka Panjang

Fast Fashion vs. Slow Fashion: Tren Sesaat dan Kesadaran Jangka Panjang

Perbedaan Fast Fashion dan Slow Fashion

SURAU.Co – Industri fashion bergerak dengan sangat cepat. Setiap musim, bahkan setiap bulan, muncul tren baru yang menggoda. Fenomena ini melahirkan dua pendekatan yang sangat berbeda, yaitu fast fashion dan slow fashion. Keduanya bukan sekadar tentang kecepatan produksi. Lebih dari itu, keduanya mewakili pilihan gaya hidup dan kesadaran kita terhadap lingkungan serta etika sosial.

Banyak orang dengan mudah tertarik untuk membeli pakaian model terbaru. Mereka seringkali mengabaikan pertanyaan penting: “Berapa lama pakaian ini akan saya gunakan?” Meskipun terlihat sederhana, kebiasaan ini mendorong dampak negatif yang signifikan. Sebagai respons, gerakan slow fashion hadir untuk menawarkan sebuah solusi. Artikel ini akan mengupas tuntas kedua konsep tersebut.

Apa Sebenarnya Fast Fashion?

Fast fashion atau mode cepat adalah sebuah model bisnis. Model ini fokus memproduksi pakaian secara massal dan sangat cepat. Tujuannya sederhana, yaitu memenuhi permintaan pasar akan tren terbaru dengan harga murah. Seringkali, produsen fast fashion meniru desain dari merek-merek ternama. Mereka lalu memproduksinya secara besar-besaran dengan biaya yang sangat rendah.

Konsep ini mulai populer pada era 1990-an. Merek seperti Zara dan H&M menjadi pelopor utamanya. Mereka mampu merilis koleksi baru dalam hitungan minggu, bukan lagi bulanan. Hal ini mengubah cara orang berbelanja pakaian secara drastis. Akses mudah terhadap tren terkini dengan harga terjangkau menjadi daya tarik utamanya.

Sisi Gelap di Balik Harga Murah

Di balik gemerlap tren dan harga yang miring, fast fashion menyimpan sisi gelap. Industri ini merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Proses produksinya menuntut sumber daya alam dalam jumlah masif.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Misalnya, proses pembuatan satu kilogram kapas saja membutuhkan sumber daya yang luar biasa. Mengutip Mark K. Brewer dalam laporannya untuk Wildlife Fund (2019), “setidaknya 20.000 liter air digunakan untuk memproduksi 1 kilogram kapas.” Selain itu, proses pewarnaan tekstil seringkali menggunakan bahan kimia berbahaya. Limbah kimia ini kemudian mengalir ke sungai dan merusak ekosistem air.

Dampak negatifnya tidak berhenti di situ. Industri tekstil juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Permintaan pasar yang tinggi mendorong distribusi global yang masif. Hal ini menambah jejak karbon dari transportasi. Akibatnya, budaya konsumtif pun meningkat. Orang dengan mudah membeli, menimbun, lalu membuang pakaian. Pakaian berbahan sintetis seperti poliester bahkan butuh ratusan tahun untuk terurai di alam.

Dampak Buruk pada Etika Sosial

Selain merusak lingkungan, praktik fast fashion juga menimbulkan masalah sosial. Model bisnis ini seringkali mengeksploitasi tenaga kerja. Banyak merek besar memindahkan produksinya ke negara berkembang. Di sana, mereka bisa membayar upah pekerja jauh di bawah standar layak.

Para pekerja garmen kerap bekerja dalam jam kerja yang panjang. Mereka juga menghadapi kondisi kerja yang tidak aman. Ruangan tanpa ventilasi, suhu tinggi, hingga paparan bahan kimia adalah kenyataan pahit yang mereka hadapi. Ini adalah harga yang harus dibayar demi sehelai pakaian murah.

Slow Fashion: Sebuah Gerakan Perlawanan

Menanggapi berbagai dampak buruk tersebut, muncullah gerakan slow fashion. Dipelopori oleh Kate Fletcher pada tahun 2007, slow fashion adalah sebuah antitesis. Gerakan ini mengajak kita untuk memperlambat laju konsumsi fashion. Fokusnya beralih dari kuantitas ke kualitas.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Slow fashion memiliki beberapa karakteristik utama:

  • Mengutamakan Kualitas: Produk slow fashion dirancang agar tahan lama. Gerakan ini menggunakan bahan berkualitas tinggi dan teknik produksi yang baik.

  • Produksi Etis: Perusahaan memastikan pekerjanya mendapat upah layak. Mereka juga menjamin lingkungan kerja yang aman dan manusiawi.

  • Desain Abadi: Alih-alih mengikuti tren sesaat, slow fashion menciptakan model pakaian yang timeless atau tidak lekang oleh waktu.

  • Mendukung Perbaikan: Gerakan ini mendorong kita untuk merawat dan memperbaiki pakaian yang rusak, bukan langsung membuangnya.

    Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Bagaimana Anda Bisa Berkontribusi?

Sebagai konsumen, Anda memegang kekuatan besar untuk mendorong perubahan. Beralih ke slow fashion adalah langkah awal yang sangat berarti. Berikut beberapa cara sederhana yang bisa Anda lakukan:

  1. Beli Lebih Sedikit, Pilih Kualitas: Fokuslah membeli pakaian yang benar-benar Anda butuhkan. Utamakan kualitas bahan agar pakaian bisa bertahan bertahun-tahun.

  2. Dukung Merek Lokal dan Etis: Cari tahu dan dukung merek yang transparan mengenai proses produksinya.

  3. Rawat Pakaian Anda: Perpanjang usia pakaian dengan mencucinya sesuai petunjuk dan menyimpannya dengan baik.

  4. Belanja Pakaian Bekas: Membeli pakaian bekas (thrifting) adalah cara hebat untuk mengurangi permintaan produksi baru.

  5. Tukar atau Donasi: Jika sudah bosan, tukar pakaian dengan teman atau donasikan kepada yang membutuhkan.

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan terus terbawa arus tren sesaat, atau kita memilih jalur yang lebih sadar dan berkelanjutan? Memilih slow fashion berarti Anda memilih untuk menghargai planet ini dan orang-orang yang membuat pakaian Anda.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement