Opinion
Beranda » Berita » Hukum Mengemis dalam Islam: Larangan Keras dan Pengecualian Tertentu

Hukum Mengemis dalam Islam: Larangan Keras dan Pengecualian Tertentu

Dalam Islam, mengemis dilarang kecuali dalam kondisi darurat yang tak bisa dihindari.

SURAU.CO – Di tengah kehidupan masyarakat, fenomena meminta-minta atau mengemis mudah kita temui. Banyak orang melakukannya di berbagai sudut kota. Akibatnya, hal ini memunculkan pertanyaan penting bagi seorang muslim. Bagaimana sebenarnya hukum mengemis dalam Islam? Apakah perbuatan ini sepenuhnya terlarang atau ada kondisi yang membolehkannya?

Pada hakikatnya, Islam adalah agama yang sangat menjaga kehormatan manusia. Agama ini mendorong setiap umatnya untuk bekerja keras. Sebab, mencari nafkah dengan tangan sendiri adalah sebuah kemuliaan. Sebaliknya, menjadikan meminta-minta sebagai profesi merupakan perbuatan tercela. Untuk itu, mari kita bedah landasan hukumnya secara mendalam.

Hukum Asal Mengemis: Tercela dan Terlarang

Pada dasarnya, Islam melarang keras aktivitas meminta-minta. Islam menganggap perbuatan ini dapat merendahkan martabat serta kehormatan diri. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memberikan peringatan tegas tentang hal ini. Beliau ingin umatnya memiliki mental yang kuat dan mandiri.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain. Hingga nanti pada hari kiamat dia akan datang. Sementara di wajahnya tidak ada sepotong daging pun.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Hadis ini memberikan gambaran yang sangat jelas. Mengemis tanpa alasan syar’i adalah dosa besar. Akibatnya, pelakunya akan menanggung malu di akhirat kelak. Hadis tersebut menggambarkan wajahnya tanpa daging sebagai simbol hilangnya kehormatan. Dengan demikian, Islam mengajarkan konsep ‘iffah atau menjaga diri dari meminta.

Tiga Kondisi Darurat yang Memperbolehkan Meminta-minta

Akan tetapi, meski hukum asalnya terlarang, Islam bukanlah agama yang kaku. Syariat tetap memberikan pengecualian bagi orang yang benar-benar terjepit. Rasulullah SAW menjelaskan pengecualian ini dalam sebuah hadis dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali. Beliau bersabda:

“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal. Kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) Seseorang yang menanggung utang (untuk mendamaikan dua pihak). Ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya. (2) Seseorang yang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya. Ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan penopang hidup. (3) Seseorang yang ditimpa kefakiran yang sangat. Sampai-sampai tiga orang bijak dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah ditimpa kefakiran.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan penopang hidup. Meminta-minta selain untuk tiga hal ini, wahai Qabishah, adalah haram. Pelakunya memakan harta yang haram.” (HR. Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, kita dapat merinci tiga kondisi yang dibolehkan:

Menanggung Beban Utang Orang Lain. Ini berlaku bagi orang yang berutang untuk kepentingan sosial, misalnya mendamaikan dua pihak yang bertikai. Ia boleh meminta bantuan sampai utangnya lunas.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Tertimpa Bencana yang Menghabiskan Harta. Seseorang yang hartanya ludes akibat bencana, seperti banjir atau gempa. Ia boleh meminta-minta sekadar untuk menyambung hidup kembali.

Mengalami Kemiskinan Ekstrem. Kondisi fakirnya harus sangat parah dan diakui oleh tiga orang terpercaya di lingkungannya. Bantuan yang ia minta sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Di luar tiga kondisi spesifik ini, pintu meminta-minta tertutup rapat.

Hikmah di Balik Larangan Mengemis

Larangan mengemis dalam Islam mengandung hikmah yang besar. Pertama-tama, untuk menjaga muru’ah atau kehormatan diri. Setiap manusia wajib menjaga martabatnya, karena mengemis dapat meruntuhkan harga diri tersebut.

Kedua, larangan ini mendorong produktivitas masyarakat. Islam ingin umatnya menjadi pribadi yang giat bekerja. Bukan menjadi masyarakat pemalas yang bergantung pada belas kasihan orang lain. Oleh karena itu, bekerja, sekecil apa pun hasilnya, jauh lebih mulia.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Ketiga, larangan ini berfungsi untuk menutup pintu eksploitasi dan kebohongan. Faktanya, banyak pengemis profesional menggunakan kebohongan untuk meraih simpati. Dengan adanya larangan ini, Islam mencegah praktik penipuan yang merugikan.

Bagaimana Sikap Kita Terhadap Pengemis?

Lalu, bagaimana seharusnya sikap kita saat bertemu pengemis? Al-Qur’an memberikan panduan umum agar kita tidak menghardik orang yang meminta. Allah SWT berfirman:

“Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” (QS. Ad-Dhuha: 10).

Ayat ini jelas mengajarkan kita untuk tetap bersikap baik. Namun, kita juga perlu bijak dalam bertindak. Memberi kepada pengemis di jalan bisa jadi justru mendukung sindikat atau profesi yang Islam larang.

Oleh sebab itu, solusi terbaik adalah menyalurkan sedekah melalui lembaga yang terpercaya. Lembaga amil zakat (LAZ), misalnya, biasanya memiliki data orang-orang yang benar-benar membutuhkan sesuai kriteria syariat. Dengan cara ini, bantuan kita menjadi lebih tepat sasaran. Kita dapat membantu mereka yang benar-benar berhak tanpa mendukung praktik mengemis yang tercela.

Sebagai kesimpulan, hukum mengemis dalam Islam pada dasarnya adalah haram. Perbuatan ini bertentangan dengan prinsip kemuliaan dan kemandirian. Meskipun begitu, syariat memberikan rukhsah atau keringanan dalam tiga kondisi darurat. Sebagai muslim, Islam menganjurkan kita untuk bekerja keras dan menyalurkan kedermawanan melalui jalur yang benar demi tatanan sosial yang produktif dan bermartabat.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement