Cancel culture telah menjadi percakapan publik yang meluas di berbagai ranah, dari media sosial hingga diskusi akademik. Konsep ini memicu perdebatan intens: apakah cancel culture menjadi alat yang adil untuk meminta pertanggungjawaban, atau sekadar bentuk perundungan publik yang merusak?
Cancel culture mengacu pada aksi kolektif menghentikan dukungan—baik secara sosial, finansial, maupun moral—terhadap individu atau institusi. Biasanya, ini terjadi ketika seseorang mengungkapkan pandangan atau tindakan yang dianggap merugikan, rasis, seksis, atau diskriminatif. Di era digital, peristiwa ini berkembang cepat lewat viralitas unggahan, hashtag, atau petisi daring.
Jurnalis dan penulis Jon Ronson membandingkan cancel culture modern dengan bentuk-bentuk penghukuman publik di masa lalu. Ia menyebut, “The difference… lies in the rapid, borderless propagation of online outcry.” Sekarang, satu unggahan bisa menjatuhkan reputasi secara global dalam hitungan jam.
Namun, apakah semua aksi cancel mencerminkan keadilan?
Cancel Culture dan Suara yang Dimarginalkan
Dalam beberapa kasus, cancel culture membantu masyarakat mengangkat suara yang lama terpinggirkan. Kampanye #MeToo, misalnya, mengungkap pelaku kekerasan seksual yang sebelumnya tak tersentuh hukum. Harvey Weinstein menjadi contoh bagaimana tekanan publik mendorong keadilan formal.
Artis diaspora dan aktivis juga memanfaatkan media sosial untuk menyorot praktik diskriminatif. Ketika mereka menegur museum atau galeri seni karena menampilkan stereotip, kampanye online memaksa institusi melakukan evaluasi. Dukungan publik melalui retweet dan unggahan membuat institusi tidak bisa lagi mengabaikan kritik.
Dari Ruang Publik ke Ruang Digital
Dulu, masyarakat menggunakan hukuman sosial dalam bentuk pengucilan atau pengasingan. Kini, media sosial memperluasnya secara drastis. “The power to critique has been democratised, but so too has the capacity for mob-like vengeance,” kata Helen Lewis. Ini menggambarkan ironi: demokratisasi kritik justru memunculkan bahaya amuk massa.
Tekanan Publik dan Perubahan Kebijakan
Tekanan publik yang efektif mampu menghasilkan perubahan kebijakan. Setelah pembunuhan George Floyd, banyak universitas di Inggris meninjau ulang hubungan mereka dengan tokoh kolonial. University of Liverpool, misalnya, mengganti nama Gladstone Hall karena kaitannya dengan perbudakan.
Cancel culture, bila diarahkan tepat, menjadi pendorong evaluasi diri dan reformasi institusi.
Risiko Cancel Culture: Dari Empati ke Eksekusi Sosial
Namun, banyak kasus memperlihatkan sisi gelap cancel culture. Jurnalis Quinn Norton kehilangan pekerjaan hanya beberapa jam setelah tweet lamanya muncul kembali. Ia menjelaskan konteks tweet-nya, tapi serangan daring datang terlalu cepat dan terlalu keras.
Tragedi Caroline Flack juga mengingatkan kita akan dampak psikologis dari tekanan sosial yang ekstrem. Meski kasusnya tidak sepenuhnya tergolong cancel culture, suasana publik yang penuh kecaman ikut memperburuk keadaannya.
Dr. Loretta Ross menyatakan, “You can’t shame people into changing their mind. You can only shame them into compliance.” Ia menyerukan pendekatan “calling in”—mengajak dialog, bukan sekadar mempermalukan.
Batas Antara Akuntabilitas dan Kekejaman
Banyak orang biasa, seperti Justine Sacco, mengalami kehancuran hidup karena satu tweet. Sakralitas “panggilan moral” sering berujung pada hilangnya kesempatan untuk belajar dan berubah. Kita harus membedakan antara keadilan dan balas dendam.
Kasus J.K. Rowling menunjukkan betapa cancel culture bisa memecah masyarakat. Sementara sebagian publik mengecam pandangannya tentang transgender, Rowling bertahan pada posisi pribadi. Kampanye “boikot” pun muncul, menunjukkan bahwa cancel culture tidak hanya menyasar pernyataan, tapi juga identitas penulisnya.
Seni, Kebebasan Berekspresi, dan Risiko Sensor
Di ranah seni, efek cancel culture terasa tajam. Ketika karya langsung dibatalkan karena kontroversi, ruang untuk kritik dan pembelajaran jadi tertutup. Padahal, seperti kata Dr. Cornel West, “Justice is what love looks like in public.” Keadilan semestinya hadir dengan cinta dan ruang dialog, bukan kebencian.
Salah satu galeri di London menunjukkan pendekatan berbeda. Alih-alih membatalkan pameran karena kritik orientalisme, mereka mengundang diskusi publik dan merevisi kurasi. Inilah contoh “calling out” yang berubah menjadi “calling in.”
Menuju Cancel Culture yang Etis
Cancel culture memiliki potensi menjadi alat transformasi sosial. Tapi, tanpa panduan etika, ia bisa berubah menjadi obor digital yang membakar reputasi tanpa ampun. Kita perlu menyusun kerangka etik—yang mencakup empati, transparansi, dan peluang untuk penebusan.
Seperti seni mural yang berkembang dari goresan demi goresan, cancel culture memerlukan kejelasan tujuan dan ketulusan. Kita harus bertanya: apakah kita ingin menghukum, atau memperbaiki?
Penutup
Etika cancel culture bukan soal hitam dan putih. Ini adalah ruang abu-abu yang menuntut kita menimbang antara keadilan dan belas kasih. Cancel culture bisa menjadi senjata perubahan sosial, atau sebilah pedang yang memotong ruang berdialog. Pilihan ada di tangan kita—publik yang memegang kuasa atas narasi, moralitas, dan masa depan kolektif.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
