Perfeksionisme Bukan Kunci Sukses
Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kesuksesan hanya milik mereka yang sempurna. Kita belajar untuk tidak pernah gagal, selalu benar, dan menjadi yang terbaik dalam segala hal. Namun, standar ini tidak hanya tak realistis, tapi juga berbahaya.
Stephanie Harrison menulis bahwa perfeksionisme menyebabkan tekanan berat pada diri sendiri dan orang lain. Generasi muda kini mengalami peningkatan kecemasan, depresi, dan kelelahan karena standar yang tak masuk akal, ditambah tekanan sosial media yang memperkuat perbandingan sosial.
Kesalahan Itu Wajar — Dan Perlu
Kesalahan, kegagalan, dan tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari dunia kerja. Tanpa mengalami jatuh bangun, kita tidak bisa tumbuh atau memberi dampak. Sayangnya, saat gagal, kita justru menghukum diri dengan kritik internal seperti: “Apa yang salah dengan diriku?” atau “Aku memang tidak cukup baik.”
Alih-alih merendahkan diri, kita bisa menggunakan pendekatan yang lebih sehat: self-compassion, atau belas kasih kepada diri sendiri.
Apa Itu Self-Compassion?
Konsep ini berasal dari psikologi Buddhis dan diperkenalkan oleh profesor Kristin Neff. Ia membaginya ke dalam tiga elemen:
- Self-kindness: Perlakukan diri sendiri dengan kelembutan dan pengertian.
- Mindfulness: Sadari pikiran dan emosi tanpa membesar-besarkan.
- Common humanity: Sadari bahwa semua orang juga menghadapi tantangan.
Penelitian menunjukkan bahwa self-compassion mengurangi kecemasan dan depresi, meningkatkan kreativitas, serta membuat kita lebih tahan banting dan produktif. Bahkan, saat karyawan lebih welas asih pada diri sendiri, mereka merasa lebih bermakna dalam pekerjaan.
Strategi CARE: Latihan Sederhana untuk Bersikap Lebih Welas Asih pada Diri
Stephanie Harrison menawarkan strategi CARE untuk melatih self-compassion sehari-hari:
C: Catch Yourself Being Critical
Sadari ketika pikiran negatif mulai muncul. Setelah membuat kesalahan, kita sering mengutuk diri sendiri dengan komentar seperti, “Itu bodoh sekali,” atau “Aku tidak kompeten.”
Ucapkan dalam hati: “Itu pikiran yang sangat kritis.” Langkah ini penting agar kita bisa menghentikan pola menyalahkan diri.
A: Acknowledge Your Experiences
Alih-alih menekan emosi, beri ruang untuk merasakannya. Kenali apa yang sedang kamu rasakan. Marah? Kecewa? Sedih?
Ucapkan dengan jujur, seperti: “Aku merasa frustrasi.” Ini akan membantu otak memproses emosi dengan lebih sehat dan menenangkan sistem saraf.
R: Request Your Own Compassion
Bayangkan jika sahabatmu mengalami situasi serupa, apa yang akan kamu katakan padanya? Ucapkan kata-kata yang penuh dukungan itu kepada diri sendiri. Buat juga mantra penyemangat seperti:
- “Aku memang manusia, dan wajar jika membuat kesalahan.”
- “Kesalahan ini tidak mendefinisikan siapa aku sepenuhnya.”
Berikan sentuhan fisik seperti memegang dada atau menarik napas panjang agar rasa tenang lebih terasa nyata.
E: Explore the Best Next Step
Setelah menenangkan diri, tanyakan: “Langkah sederhana apa yang bisa aku ambil sekarang?”
Jika kamu lupa tugas mingguan, buat pengingat rutin atau diskusikan sistem baru bersama tim. Fokuslah pada solusi, bukan menyalahkan diri.
Self-Compassion Butuh Latihan
Jika kamu terbiasa mengkritik diri, bersikap welas asih mungkin terasa asing. Tapi seperti otot, self-compassion akan menguat jika dilatih terus-menerus.
Maka dari itu, saat kamu jatuh, ingatlah satu hal penting: Kamu layak menerima kebaikan dari dirimu sendiri.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
