Budaya ‘Grinding’ yang Dianggap Keren Tapi Melelahkan
Di era media sosial dan tekanan performa tinggi, hustle culture menjadi norma baru. Banyak orang percaya bahwa semakin sibuk seseorang, semakin besar peluangnya untuk sukses. Kelelahan dianggap sebagai simbol keberhasilan.
Namun, di balik produktivitas tanpa henti, tersembunyi bahaya: burnout, kehilangan makna, dan terganggunya kesehatan mental.
Luke, seorang mahasiswa yang juga menjabat sebagai editor kampus, menulis, “Hustle culture equates busyness with productivity, exhaustion with accomplishment, and, most dangerously, self-worth with professional success.”
Ketika Ambisi Mendominasi Identitas Diri
Luke membagikan kisah hidupnya yang penuh tekanan. Ia aktif di organisasi kampus dan menjalani peran ganda sebagai mahasiswa dan pemimpin redaksi. Banyak orang memuji semangat dan kerja kerasnya. Namun, ia merasa harga dirinya tergantung pada pencapaiannya.
Setiap kegagalan membuatnya merasa runtuh. Ia menyadari bahwa ambisi bisa membutakan dan mengaburkan batas antara siapa dirinya dan apa yang ia hasilkan.
Burnout dan Kehilangan Makna
Hustle culture menjanjikan pengakuan dan kesuksesan, tetapi realitanya justru merampas waktu istirahat dan kebahagiaan. Banyak orang menderita gangguan tidur, kecemasan, dan perasaan hampa meskipun terlihat sibuk.
Luke menulis, “The moments of joy, opportunities for growth, and the simple pleasures of life become overshadowed by an undying to-do list.”
Ketika kita hanya fokus pada target, kita kehilangan kesempatan untuk menikmati proses dan merayakan pencapaian kecil. Sementara orang lain bisa menikmati hidup, kita justru merasa terjebak dalam roda yang berputar tanpa henti.
Ambisi Tak Harus Menyiksa
Mengurangi pengaruh hustle culture bukan berarti meninggalkan ambisi. Luke mengatakan, “The antidote to hustle culture is not a rejection of ambition or a call for complacency.”
Ia mengajak kita untuk mengubah cara pandang: sukses seharusnya mencakup waktu untuk diri sendiri, membina relasi, dan hadir secara utuh dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan menetapkan batas waktu kerja, melakukan self-care, dan mengubah cara kita menilai diri, kita bisa menciptakan versi sukses yang lebih manusiawi.
Tekanan Sosial dan Peran Media dalam Membentuk Hustle Culture
Budaya ini tidak muncul tiba-tiba. Kita mulai menginternalisasikan nilai-nilai tersebut sejak kecil—melalui sistem nilai di sekolah, ekspektasi keluarga, dan gambaran kehidupan sempurna dari para influencer.
Anak muda, terutama laki-laki, sangat mudah terpengaruh. Mereka belajar bahwa nilai diri bergantung pada kemampuan untuk unggul dan terus berprestasi.
Namun, hidup bukan hanya tentang mencapai sesuatu. Hidup juga tentang menjadi seseorang yang utuh dan bahagia.
Dari ‘Melakukan’ ke ‘Menjadi’
Luke memutuskan untuk mengubah fokus hidupnya. Ia berhenti mengejar kesempurnaan dan mulai menikmati proses. Ia menyebut perubahan ini sebagai pergeseran dari “doing” ke “being”.
Ia mulai memaknai keberhasilan sebagai integrasi pencapaian ke dalam kehidupan yang berarti, bukan sekadar daftar target yang harus ia kejar.
Kesimpulan: Saatnya Redefinisi Sukses
Hustle culture menciptakan generasi muda yang terlihat sukses tetapi sebenarnya kelelahan. Untuk melepaskan diri dari siklus ini, kita perlu mengubah cara kita memandang sukses.
Sukses bukan hanya soal karier atau produktivitas. Sukses juga soal menjaga kesehatan mental, membangun hubungan yang bermakna, dan menemukan kedamaian dalam keseharian.
Seperti yang Luke katakan, “Life is less about the destination and more about the journey.” Dan perjalanan itulah yang layak untuk diperjuangkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
