SURAU.CO – Kaidah fiqih Islam adalah aturan umum dalam hukum Islam yang bersifat menyeluruh dan kompatibel untuk berbagai persoalan hukum yang lebih spesifik. Para ulama menggunakan kaidah-kaidah ini sebagai kerangka berpikir dan pedoman ketika menetapkan hukum, baik untuk kasus yang sudah memiliki nash (dalil dari Al-Qur’an dan hadits) maupun untuk kasus yang belum ada panduannya, misal melalui ijtihad.
Salah satu kaidah yang cukup populer adalah al-umūru bi maqāṣidihā, yang berarti “segala sesuatu tergantung pada niatnya.” Selain kaidah tersebut, ternyat masih banyak kaidah penting lain yang sering luput dari perhatian. Dalam tulisan ini, kamu akan menemukan lima kaidah fiqih yang mungkin belum kamu ketahui. Mari kita simak bersama.
1. Keyakinan Tidak Hilang karena Keraguan
Pernah merasa ragu apakah salat kita batal? Atau bingung, tadi sudah wudhu atau belum? Islam mengajarkan bahwa sesuatu yang sudah diyakini tidak bisa batal hanya karena muncul keraguan. Kaidah “al-yaqīn lā yazūlu bi al-syak” atau keyakinan tidak hilang karena keraguan adalah salah satu prinsip besar dalam fiqih Islam yang berlaku hampir di semua aspek kehidupan. Kaidah ini menjadi pegangan ulama dalam menyikapi kondisi yang ragu-ragu. Imam Suyuthi bahkan menyebut bahwa kaidah ini mencakup hampir tiga perempat dari keseluruhan permasalahan fiqih (Al-Asybah wan Nazha’ir, hlm. 51). Senada, Imam Nawawi menyatakan bahwa hampir tidak ada masalah fiqih yang keluar dari cakupan kaidah ini (Al-Majmu’, juz 1, hlm. 258).
Penerapan kaidah ini menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang penuh rahmat dan kemudahan. Hidup manusia tak lepas dari keraguan—entah dalam urusan ibadah atau keputusan sehari-hari. Keraguan bisa menimbulkan was-was yang merusak ketenangan jiwa dan khusyuk ibadah. Mengutip Imam Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid (juz 5, hlm. 27), ulama sepakat bahwa hukum ditetapkan berdasarkan sesuatu yang meyakinkan.
2. Bahaya Harus Dihilangkan
Kaidah “Adh-Dhararu Yuzaalu” atau kemudharatan harus dihilangkan merupakan prinsip besar dalam fiqih Islam yang menekankan pentingnya mencegah dan menghapuskan bahaya dalam kehidupan manusia. Jika sebelumnya kaidah al-yaqīn lā yazūlu bi al-syak lebih banyak membahas soal ketenangan batin, maka kaidah ini lebih menyasar interaksi sosial. Kaidah ini lahir dari sabda Nabi SAW: “Lā ḍarara wa lā ḍirār” — tidak boleh berbuat bahaya, dan tidak boleh saling membahayakan (HR. Ibn Majah, no. 2340, sahih). Bahaya tersebut bisa berupa kerugian fisik, ekonomi, psikologis, atau sosial. Atas hal itu, syariat Islam memerintahkan agar menghindari atau tidak melakukan semua bentuk mudharat itu semaksimal mungkin.
Dalam praktiknya, kaidah ini menjadi dasar bagi banyak hukum penting, seperti larangan menjual barang rusak tanpa penjelasan, membangun bangunan yang merugikan tetangga, hingga pembelaan diri dalam situasi darurat. Ulama juga menjadikan kaidah ini sebagai induk dari kaidah “ad-dharurāt tubīḥ al-maḥẓūrāt” — bahwa dalam keadaan darurat, larangan bisa menjadi boleh. Misalnya, orang yang diserang penjahat boleh membela diri meskipun berakibat fatal, karena tujuannya menghindari kematian. Atau seseorang yang kelaparan di hutan boleh memakan makanan haram demi menyelamatkan nyawa. Semua ini menunjukkan bagaimana Islam menyeimbangkan antara nilai hukum dan realitas kehidupan dengan prinsip perlindungan terhadap manusia sebagai prioritas utama.
3. Kebiasaan Dapat Menjadi Hukum
Kaidah “Al-‘Ādah Muḥakkamah” atau kebiasaan dapat menjadi hukum menegaskan bahwa adat atau kebiasaan yang baik bisa menjadi dasar hukum dalam Islam, selama tidak bertentangan dengan nash (teks syariat). Meski tidak termasuk empat sumber hukum utama —Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas—ulama ushul fiqh menyepakati bahwa al-‘urf (adat) tetap memiliki posisi penting sebagai sumber hukum yang mukhtalaf fih (diperselisihkan). Dalilnya terdapat dalam QS. Al-A‘raf: 199: “Suruhlah orang mengerjakan yang makruf,” serta hadis Nabi SAW: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka itu baik di sisi Allah.” Berdasarkan pemahaman para ulama seperti Imam al-Jurjani dan Syekh Syafiq al-Qosimi, adat menjadi hujjah selama ia tidak menyalahi dalil syariat yang eksplisit.
Adat dalam konteks ini tidak identik dengan budaya lokal semata, melainkan mengacu pada kebiasaan yang rasional dan berlaku umum di masyarakat. Para ulama membedakan antara al-‘urf al-ṣaḥīḥ (adat baik) dan al-‘urf al-fāsid (adat buruk). Hanya kebiasaan yang baik dan mengandung kemaslahatan bagi masyarakat—seperti standar mahar, tata cara jual beli, atau ungkapan yang memiliki makna hukum tertentu—yang bisa menjadi sumber hukum. Imam Asy-Syatibi menekankan bahwa jika adat mendukung lima tujuan utama syariat (maqāṣid al-syarī‘ah)—menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—maka adat itu sah menjadi pijakan. Maka tidak berlebihan jika kaidah ini menyatakan: “al-‘ādah muḥakkamah”—kebiasaan, dalam batas tertentu, bisa menjadi hakim dalam menetapkan hukum.
4. Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Boleh
Kaidah “al-aṣlu fī al-asyyā’ al-ibāḥah wa al-ṭahārah” berarti hukum asal segala sesuatu adalah boleh dan suci. Prinsip ini menegaskan bahwa kita boleh memanfaatkan semua benda di sekitar kita—makanan, pakaian, alat, hingga benda-benda ciptaan manusia—kecuali ada dalil yang secara tegas melarangnya atau dalam keadaan najis. Salah satu ayat yang menjadi dasar ini adalah QS. Al-Baqarah: 29 yang menyatakan bahwa “Dia-lah (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu…”. Begitu juga QS. Al-An’am: 119 yang menyiratkan bahwa apa pun yang tidak dilarang secara jelas berarti halal. Hadits Nabi SAW pun mendukung kaidah ini, seperti sabdanya dalam riwayat Tirmidzi: “Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram. Sedangkan apa yang didiamkan (tidak dijelaskan), maka itu termasuk yang dimaafkan.”
Kaidah ini sangat penting terutama dalam menghadapi berbagai hal baru di zaman modern—seperti teknologi. Artinya, selama tidak terbukti najis atau berbahaya, maka itu boleh. Ulama besar seperti Ibn Taimiyah menyebut kaidah ini sebagai prinsip yang luas manfaatnya. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak mudah mengharamkan sesuatu tanpa ilmu, dan menjaga agar tidak terjebak dalam sikap berlebihan dalam agama.
5. Apa yang Tidak Bisa Diperoleh Seluruhnya, Jangan Ditinggalkan Seluruhnya
Kaidah “ma lā yudraku kulluhu lā yutraku kulluhu” berarti sesuatu yang tidak bisa dilakukan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya. Prinsip ini memberikan ruang luas bagi umat Islam untuk tetap menjalankan syariat semampunya, tanpa merasa terbebani oleh ketidakmampuan menjalankan secara sempurna. Dalam kehidupan nyata, kaidah ini menjadi nafas dalam ibadah dan amal. Misalnya, jika seseorang tidak mampu bersedekah dalam jumlah besar, maka cukup bersedekah sesuai kemampuannya. Jika tidak mampu salat malam sepuluh rakaat, lakukanlah meski hanya empat. Begitu pula dalam belajar: jika tidak mampu menguasai seluruh cabang ilmu, ambillah satu dan istiqamahlah di sana.
Kaidah ini sangat selaras dengan semangat syariat Islam yang humanistik dan realistis. Dalam Al-Qur’an (QS. At-Taghabun: 16), Allah berfirman: “Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” Ini menandakan bahwa Islam tidak membebani jiwa melebihi batas kesanggupannya. Dalam kitab Mabādi’ Awaliyyah fī Uṣūl al-Fiqh wa al-Qawā‘id al-Fiqhiyyah karya Abdul Hamid Hakim—sebuah rujukan penting di madzhab Syafi’i—kaidah ini menjadi panduan agar umat tidak berhenti berbuat baik hanya karena tidak bisa melakukannya secara penuh. Maka, selama kita masih bisa berbuat sedikit, jangan berhenti sama sekali.
Penutup
Lima kaidah fiqih ini menunjukkan betapa Islam merupakan sebuah sistem hukum yang tumbuh dari rahmat dan kebijaksanaan. Di balik teks dan dalil, terdapat prinsip-prinsip yang menjadikan syariat hidup dan fleksibel—mampu menyesuaikan diri dengan kondisi, budaya, dan keterbatasan manusia. Kaidah-kaidah ini adalah cermin dari kasih sayang Allah yang tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan mereka, sekaligus panduan agar kita bisa menjalani agama dengan tenang, seimbang, dan bertanggung jawab.
Lebih jauh, kaidah-kaidah ini juga mengajak kita untuk lebih memahami inti dari hukum Islam. Beriman bukan sekadar taat secara tekstual, tetapi juga memahami tujuan dan hikmah di balik setiap ketentuan. Ketika kita mengenal kaidah fiqih, kita tidak hanya menjadi muslim yang taat, tapi juga muslim yang berpikir. Islam bukan agama yang kaku, tapi agama yang memberi ruang bagi akal, realitas, dan kebaikan kolektif. Maka, memahami dan menerapkan kaidah-kaidah ini adalah bagian dari upaya kita menjemput kematangan spiritual sekaligus kedewasaan berpikir dalam beragama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
