Mau Jadi Apa Kalau Kuliah di Timur Tengah?
Bagi siapa pun yang menempuh jalan ilmu agama, baik di Timur Tengah maupun di mana pun untuk tafaqquh fid-din, penting menyadari satu hal mendasar:
> “Ilmu agama bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk menjemput akhirat.”
Inilah pembeda utama antara penuntut ilmu agama dan pemburu ilmu duniawi.
Ilmu duniawi biasanya dikejar untuk karier, penghasilan, jabatan, dan prestise profesional. Sementara ilmu agama dituntut hanya karena Allah, lillāhi ta‘ālā. Bukan untuk gelar, bukan untuk gaji, apalagi untuk popularitas. Karena ilmu ini adalah warisan para Nabi, bukan komoditas yang diperjualbelikan.
Namun, kenyataan tidaklah sesederhana itu.
Para penuntut ilmu agama sering dihadapkan dengan pertanyaan klasik, dari orang-orang terdekat hingga masyarakat luas:
> “Mau jadi apa setelah lulus dari Al-Azhar?”
“Mau kerja di mana setelah dari UIM?”
“Nanti pulang dari Timur Tengah, jadi apa?”
Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi bisa mengguncang pondasi spiritual mahasiswa dan para calon penuntut ilmu yang tengah memupuk cita-cita besar.
Padahal, Allah sudah menjanjikan dalam Al-Qur’an:
> “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Bagaimana cara Allah mengangkat derajat itu? Kita tak tahu. Bisa jadi bukan lewat pangkat atau popularitas, tapi lewat hidup yang penuh keberkahan, hati yang tenteram, dan kebermanfaatan yang diam-diam menjangkau banyak orang.
Ilmu Agama: Jalan Menuju Kemuliaan
Seorang penuntut ilmu agama tak perlu gelisah soal rezeki. Tugas kita adalah belajar dengan ikhlas, mengamalkan, dan menyebarkan. Ilmu bukan ladang bisnis. Bahkan banyak masyaikh menolak bayaran dari majelisnya — bukan karena miskin, tapi karena ingin menjaga kemurnian ilmu.
Namun mari kita jujur, realitas tidak bisa dihindari. Biaya hidup, tanggung jawab keluarga, dan masa depan tetap membutuhkan bekal.
Dan karena itu, sangat bijak jika seorang penuntut ilmu agama juga melengkapi dirinya dengan soft skill atau ilmu dunia yang relevan. Kuliah tambahan, kursus profesional, atau belajar wirausaha syariah bukan bentuk berpaling dari dakwah, tapi bentuk ikhtiar agar dakwah berjalan tanpa ketergantungan.
Bayangkan, berdakwah tanpa tergantung pada “amplop”, jabatan, atau pengaruh orang. Kita bisa hidup mandiri, dan dakwah tetap berjalan dengan kemuliaan.
Kita bisa menjadi:
Dosen atau guru agama,Penulis dan content creator islami, Konsultan halal atau mufti lokal, Pebisnis syariah, Penceramah, Bahkan merangkul semuanya sekaligus, sesuai potensi masing-masing.
Jadi, Pertanyaan yang Tepat Bukan Sekadar “Mau Jadi Apa?”
Tapi lebih dalam dari itu:
> “Mau jadi hamba Allah seperti apa setelah berilmu?”Karena yang menentukan mulia atau tidaknya seseorang bukan profesinya, melainkan:
Niatnya saat menuntut ilmu, Caranya dalam mengamalkan, Dan seberapa besar manfaatnya bagi umat.
Mari perbaiki sudut pandang kita. Bukan lagi semata mengejar profesi, tapi menjadi hamba Allah yang bertakwa, berilmu, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat.
Semoga Allah menjaga keikhlasan kita semua di jalan ilmu dan mengangkat derajat kita di dunia dan akhirat. Āmīn. Padang Panjang, (Hafizh Alquran bin Zulhamdi)
SETIAP ORANG SEDANG TIDAK BAIK-BAIK SAJA
Sesungguhnya…
Tidak ada seorang pun yang benar-benar sedang baik-baik saja.
Dan itu adalah fakta.
Ada yang tampak ceria, bisa nongkrong ke mana-mana bersama teman, tapi belum Allah takdirkan bertemu jodoh.
Ada yang telah bersuami, namun diuji dengan sikap suami yang kasar dan malas.
Ada pula yang suaminya baik dan sholeh, tapi diuji dengan rezeki yang sangat pas-pasan.
Ada yang sudah menikah dan memiliki istri, namun diuji dengan sifat istri yang keras dan banyak menuntut.
Sementara yang istrinya lembut dan sabar, diuji dengan belum hadirnya buah hati.
Ada yang memiliki anak, namun Allah uji dengan penyakit bawaan.
Yang anak-anaknya sehat, justru terbebani dengan biaya pendidikan yang tak terjangkau.
Ada yang keluarganya lengkap, namun jarang berkumpul karena semua terlalu sibuk bekerja.
Ada yang keluarganya hangat dan sering bersama, namun hingga kini belum mampu memiliki rumah sendiri.
Yang bekerja keras setiap hari, masih saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Yang menjadi pengusaha, harus memikirkan bagaimana menggaji karyawan dan bertahan di tengah ketidakpastian.
Hidup ini memang tidak pernah benar-benar sampai pada titik bernama sempurna.
Yang ada hanyalah perjalanan menjadi pribadi yang terus belajar bersyukur, dalam segala kondisi.
Selama kita tidak sibuk membandingkan hidup kita dengan milik orang lain, selama kita tidak mengukur kenikmatan berdasarkan standar mereka, maka sebenarnya — hidup kita ini sudah cukup baik. Bahkan mungkin sangat baik.
Sadar atau tidak…
Di luar sana, ada mata yang sedang menatap kehidupanmu diam-diam, penuh harap sambil berkata dalam hati:
> “Enak ya jadi dia… Aku ingin sepertinya…”
Sementara kita sendiri, kadang malah lupa bersyukur.
Kita hanya melihat kekurangan, bukan nikmat yang sudah tak terhitung jumlahnya.
Padahal kita semua sama:
Sedang berjuang menjadi versi terbaik dari diri kita, di tengah banyak luka, masalah, dan doa-doa yang belum terkabul.
Jika hari ini kau melihat seseorang yang hidupnya tampak sempurna…
Maka kemungkinan besar itu hanya karena dua hal:
1. Kau tidak benar-benar mengenalnya.
2. Atau dia sangat pandai menyembunyikan luka dan kesulitannya,
— tidak suka mengeluh,
— hanya sibuk menampakkan nikmat-nikmat Allah yang ada padanya. Maka, teruslah bersyukur. (Almi Efendi/Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
