SURAU.CO. Pesantren kini berdiri di persimpangan jalan yang krusial. Lembaga pendidikan Islam ini menghadapi tantangan internal yang serius. Di sisi lain, peran pesantren diharapkan dapat memimpin perubahan global. Pemerintah dan para tokoh menyoroti pentingnya transformasi ini. Mereka mendorong pesantren agar menjadi lembaga yang aman dan adaptif.
Hal tersebut dikatakan Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar dalam acara International Conference on The Transformation of Pesantren di Jakarta, Selasa (24/6). Muhaimin memberikan peringatan tegas dan komunitas pesantren untuk secara aktif mencegah tiga masalah besar yaitu perisakan (bullying), kekerasan seksual, dan intoleransi. “Ini yang harus dijaga. Pesantren harus menghindari tiga dosa yang sedang tumbuh di mana-mana, yakni bullying, kekerasan seksual, dan intoleransi,” ujar Menko PM. Pernyataan ini ia sampaikan usai acara International Conference on The Transformation of Pesantren di Jakarta, Selasa (24/6) malam.
Cak Imin menjelaskan bahwa perisakan tidak bisa dianggap remeh. Kasus ini dapat bereskalasi menjadi kekerasan fisik antar santri. Untuk mengatasi kekerasan seksual, pemerintah mengambil langkah konkret. Sebuah satuan tugas khusus akan dibentuk untuk menangani isu ini secara serius di lingkungan pesantren. “Saya sudah bentuk satuan tugas khusus menangani kekerasan seksual di pesantren ini dengan membentuk satuan tugas yang dipimpin Hindun Anisah,” katanya. Mengenai intoleransi, Cak Imin menegaskan bahwa paham tersebut tidak memiliki tempat di pesantren. Pesantren harus menjadi benteng moral dan teladan bagi masyarakat luas. “Nah tiga hal ini yang biarkan orang lain salah, tetapi pesantren tidak boleh salah,” ujarnya dengan tegas.
Peran Strategis Pesantren dalam Pendidikan Masa Depan
Senada dengan Cak Imin, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar juga angkat bicara. Ia menyoroti peran strategis pesantren. Menurutnya, pesantren dapat membentuk wajah pendidikan masa depan. Pendidikan ini berakar kuat pada nilai spiritual, etika, dan keberlanjutan. Menag mengutip pemikiran cendekiawan Nurcholish Madjid. Ia menyatakan jika Indonesia tidak dijajah, universitas terkemuka mungkin bernama Universitas Lirboyo atau Tebuireng. Hal ini menunjukkan potensi besar yang dimiliki pesantren sejak dulu. “Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu dari guru, melainkan tempat mencari ilmunya Allah. Ini menjadi pembeda antara pesantren dengan sekolah umum,” ujar Menag Nasaruddin.
Ia menambahkan bahwa pesantren memiliki pendekatan ilmu yang unik. Sistem pendidikannya menggabungkan akal, wahyu, dan intuisi. Ini berbeda dari sekolah umum yang seringkali hanya mengandalkan logika. “Sekolah mungkin hanya mengandalkan deduksi akal pikiran. Tapi di pesantren, ada tempat bagi wahyu, ilham, dan mukasyafah. Ada enam sumber ilmu, bukan hanya satu,” jelasnya. Menariknya, model pendidikan berasrama (boarding school) ala pesantren justru sedang diminati di negara maju. Menag mengungkap tren ini terjadi di Inggris dan Australia. “Seorang profesor pendidikan dari Inggris bahkan menyebut pesantren sebagai bentuk pendidikan yang sangat modern,” ungkapnya.
Menjawab Tantangan Zaman dan Mencetak Insan Kamil
Dunia telah berubah drastis dalam satu dekade terakhir. Revolusi teknologi dan informasi menjadi pendorong utamanya. Cak Imin menekankan bahwa pesantren harus mampu beradaptasi. Bahkan, pesantren harapannya ke depan bisa menjadi pemimpin dalam menghadapi perubahan global. “Setiap zaman membawa tantangan dan pesantren selalu berhasil melewatinya. Namun kini, kita perlu evaluasi total agar pesantren tak hanya mengikuti, tetapi juga memimpin perubahan,” tegas Cak Imin.
Ia menyoroti bagaimana dakwah kini sangat bergantung pada algoritma media sosial. Ini adalah bukti nyata perlunya adaptasi. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ekspektasi publik terhadap pesantren sangat tinggi. Terkadang ekspektasi itu melebihi kemampuan riil yang ada. “Ini perlu menjadi perhatian bersama,” tambahnya.
Sedangkan Menag Nasaruddin Umar mengajak para kiai dan ulama untuk fokus pada tujuan mulia. Pesantren harus bercita-cita melahirkan manusia insan kamil atau manusia paripurna. Ia mencontohkan ilmuwan muslim besar seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, dan Al-Khawarizmi. Mereka adalah sosok besar yang tidak meninggalkan agamanya. “Saya meminta bimbingan dari para kiyai di sini agar kita pemerintah bisa meciptakan-mencipatakan insan kamil seperti para ilmuan tersebut, kualitas pendidikan seperti itulah yang harus kita miliki untuk masa depan,” ujarnya.
Potret Pesantren Indonesia dalam Angka
Diskusi mengenai peran pesantren menjadi sangat relevan jika melihat skalanya. Data Kementerian Agama menunjukkan jumlah pesantren di Indonesia terus bertumbuh. Angkanya kira-kira mencapai lebih dari 36.600 hingga 41.220 lembaga.
Lembaga-lembaga ini menjadi rumah bagi jutaan santri. Jumlah santri aktif yang belajar di seluruh Indonesia berkisar antara 3,4 juta hingga 4,9 juta orang. tercatat pula ada sekitar 370 ribu pengajar, kiai, dan ustadz. Pesantren tersebar di seluruh nusantara, dengan konsentrasi terbesar berada di Jawa Barat. Secara umum, pesantren terbagi menjadi dua jenis utama: pesantren salaf (tradisional) dan modern, yang masing-masing menawarkan metode pendidikan khas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
