Fiqih Ibadah
Beranda » Berita » Memahami Air Musta’mal: Hukum, Syarat, dan Pandangan Empat Mazhab

Memahami Air Musta’mal: Hukum, Syarat, dan Pandangan Empat Mazhab

air musta'mal
Pahami apa itu air musta'mal dalam fikih thaharah. Kenali hukum dan perbedaannya menurut empat mazhab agar ibadah Anda lebih sempurna.

SURAU.CO. Dalam kajian fikih Islam, thaharah atau bersuci memegang posisi sangat penting. Salah satu topik krusial dalam bab ini adalah tentang status air. Kita mengenal air musta’mal sebagai air yang telah bekas bersuci. Air ini sudah terpakai untuk menghilangkan hadats, baik kecil maupun besar. Contoh paling umum adalah air sisa wudhu atau mandi janabah.

Namun, mengapa air ini tidak bisa lagi dapat untuk bersuci? Imam An-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan bahwa alasannya bersifat ta’abbudi. Artinya, ini merupakan ketetapan syariat. Beliau juga menambahkan bahwa secara maknawi, air tersebut mengandung bekas “najis ma’nawi” atau kotoran spiritual yang tidak terlihat.

Penting untuk membedakannya dari air lain. Air bekas cuci tangan biasa atau membasuh muka di luar konteks wudhu tidak termasuk musta’mal. Air tersebut statusnya tetap air mutlak, yaitu suci dan menyucikan. Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani menguatkan logika ini. Beliau menyatakan tujuan bersuci adalah membersihkan badan. Maka, tidak masuk akal jika kita membersihkan badan dengan air yang sudah “rusak” oleh kotoran dosa. Dalam kitabnya berjudul Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah beliau mengatakan, “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.”

 Pandangan Empat Mazhab

Melansir laman bincangsyariah.co para ulama dari empat mazhab besar memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai detail hukumnya. Dalam Pandangan Mazhab Hanafi menyebut air musta’mal sebagai air yang terpakai untuk mengangkat hadats. Termasuk juga air untuk wudhu sunah demi meraih pahala. Air wudhu menjadi musta’mal begitu terpisah dari anggota tubuh. Menurut mereka, air ini statusnya suci, tetapi tidak bisa menyucikan. Artinya, wudhu atau mandi dengan air ini tidak akan menghilangkan hadats. Namun, pendapat terkuat membolehkannya untuk membersihkan najis pada pakaian. Pandangan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa air menjadi mustakmal ketika terpisah dari tubuh.”

Sementara itu dalam Perspektif Mazhab Maliki memiliki pandangan yang lebih longgar. Mereka menganggap air musta’mal tetap suci dan menyucikan. Namun, hukum penggunaannya makruh jika masih ada air lain yang tersedia. Kemakruhan ini muncul karena air tersebut kurang elok secara perasaan. Definisi mereka mencakup air bekas mengangkat hadats atau menghilangkan najis, selama sifat air tidak berubah. Madzhab Maliki menghukuminya adalah suci dan menyucikan. Tetapi penggunaannya makruh untuk penghilangan hadats atau pembasuhan sunah meski ada air lainnya bila air itu sedikit.”

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Sedangkan menurut pendapat Mazhab Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat baru) menyebut air musta’mal adalah air sedikit (kurang dari dua kullah) yang telah digunakan untuk basuhan wajib pertama. Air ini hukumnya suci tetapi tidak menyucikan. Jadi, ia tidak sah untuk wudhu, mandi, atau menghilangkan najis. Argumentasinya adalah para ulama salaf tidak pernah mengumpulkan air sisa wudhu untuk dipakai lagi. Dalam Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, Al-Mausuatul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah menyebut, “Ulama terdahulu di tengah keterbatasan air tidak menampung air musta’mal untuk penggunaan kedua kalinya. Mereka justru berpaling pada tayamum sebagaimana mereka juga tidak menampungnya untuk diminum karena air musta’mal terbilang kotor.”
Adapun Kaidah Mazhab Hambali sejalan dengan Mazhab Syafi’i. Mereka menyatakan air musta’mal adalah air sedikit yang dipakai untuk mengangkat hadats atau basuhan ketujuh saat menghilangkan najis. Statusnya suci, namun tidak dapat menyucikan lagi. Air menjadi musta’mal setelah terpisah dari anggota tubuh yang dibasuh.

Syarat Air Menjadi Musta’mal

Sebuah air dapat berubah status menjadi air musta’mal jika memenuhi beberapa syarat berikut:
Untuk Bersuci Wajib. Penggunaan air harus untuk bersuci yang hukumnya wajib, seperti basuhan pertama dalam wudhu.

1. Jumlah Air Sedikit. Volume air yang digunakan harus kurang dari dua kullah (sekitar 216 liter).
2. Telah Terpisah dari Tubuh. Status musta’mal berlaku saat air sudah menetes atau terlepas dari anggota tubuh.
3. Tanpa Niat Menciduk. Jika seseorang berniat menciduk air dari wadah kecil, air di tangannya tidak langsung menjadi musta’mal.

Air Tercampur Benda Lain

Hukum air juga bisa berubah jika tercampur benda lain.• Tercampur Benda Suci: Jika air tercampur benda suci seperti tanah atau daun, hukumnya tetap suci dan menyucikan. Syaratnya, nama “air” tidak hilang darinya. Air tersebut masih tergolong air mutlak.
• Tercampur Benda Najis: Air yang kemasukan najis adalah air mutanajis. Jika salah satu sifatnya (rasa, warna, atau bau) berubah karena najis, maka air itu menjadi najis. Para ulama sepakat air tersebut tidak bisa untuk bersuci lagi.
Memahami konsep air musta’mal dan perbedaannya dengan jenis air lain sangatlah fundamental. Pengetahuan ini memastikan ibadah kita, terutama yang mensyaratkan wudhu, menjadi sah dan diterima. (ENHA/dari berbagai sumber)

Kitab Taisirul Khallaq

Wallahu a’lam bisshawab.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement