SURAU.CO. Tawakal menjadi salah satu pilar utama dalam bangunan iman. Ia merupakan ibadah hati yang sangat agung. Konsep ini sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Namun, banyak orang masih salah memahaminya. Sebagian menganggap tawakal berarti pasrah total tanpa usaha. Padahal, para ulama besar Islam telah memberikan penjelasan mendalam. Mereka meluruskan pemahaman yang keliru tersebut. Lantas bagaimana memahami makna tawakal ini.
Pentingnya tawakal terlihat dari penyebutannya dalam Al-Qur’an. Kata ini dan variasinya muncul sebanyak 70 kali. Penyebarannya ada di dalam 31 surah yang berbeda. Beberapa di antaranya adalah Surah Ali ‘Imran, An-Nisa, hingga An-Naml. Semua ayat tersebut merujuk pada arti perwakilan atau penyerahan. Secara bahasa, tawakal memang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam terminologi Islam, maknanya menjadi lebih dalam. Tawakal adalah berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Penyerahan diri ini dilakukan saat menghadapi suatu pekerjaan. Termasuk juga saat menanti hasil dari sebuah keadaan.
Tawakal di Hati, Usaha di Dunia Nyata
Makna tawakal sudah banyak dikemukakan oleh para ulama. Salah satu penjelasan makna tawakal terbaik datang dari Syekh Abu Qasim al-Qusyairi. Beliau adalah seorang ulama sufi terkemuka. Menurutnya, tawakal berarti memasrahkan setiap urusan kepada Allah. Hamba secara sadar memilih Allah sebagai penentu hasil akhir. Pilihan ini lahir dari keyakinan yang kuat di dalam hati.
Syekh Al-Qusyairi juga mengutip pendapat Sahal bin Abdullah. Ia memberikan sebuah analogi yang kuat. “Awal dari derajat tawakal adalah ketika seorang hamba merasakan kepasrahan kepada Allah bagaikan seonggok jenazah di depan orang yang memandikannya yang dapat dibolak-balik dengan mudah sesuai keinginan orang yang memandikannya”. Analogi ini menggambarkan tingkat kepasrahan yang total. Namun, kepasrahan ini bukan berarti diam tanpa tindakan.
Syekh Al-Qusyairi memberikan pencerahan dalam kitabnya, Risalah al-Qusyairiyah. “Ketahuilah bahwa tawakal bertempat di dalam hati, dan usaha lahiriah tidaklah merusak sifat tawakal dalam hati selama sang hamba meyakini bahwa takdir datang dari sisi Allah. Apabila suatu perkara terasa sulit maka hal tersebut datang dari takdir Allah. Dan apabila suatu perkara selaras dengan keinginannya maka hal tersebut datang dari pertolongan Allah.”
Kutipan ini menegaskan sebuah prinsip penting. Lokasi tawakal ada di dalam hati. Sementara itu, usaha atau ikhtiar adalah gerakan fisik. Keduanya tidak saling bertentangan. Seorang hamba tetap wajib berusaha sekuat tenaga. Namun, hatinya tetap bergantung penuh pada takdir Allah. Jika usahanya berhasil, itu karena pertolongan Allah. Jika gagal, itu adalah bagian dari ketetapan-Nya.
Pandangan Ulama Lain tentang Hakikat Tawakal
Imam Al-Ghazali turut memberikan pandangannya. Menurut Hujjatul Islam ini, tawakal adalah penyandaran hati. Hati hanya bersandar kepada Tuhan Yang Maha Pelindung. Sebab, tidak ada satupun hal yang lepas dari ilmu dan kuasa-Nya. Makhluk lain, selain Allah, tidak memiliki kekuatan. Mereka tidak dapat memberi bahaya. Mereka juga tidak mampu mendatangkan manfaat. Keyakinan inilah yang menjadi fondasi tawakal.
Sementara itu, Dzun Nun Al-Mishri melihat dari sudut pandang lain. Baginya, tawakal adalah proses meninggalkan kendali nafsu. Seseorang harus melepaskan diri dari daya dan kekuatannya sendiri. Kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi akan memperkuat tawakal. Hamba tahu bahwa Allah melihat segalanya setiap saat.
Tiga Tingkatan Tawakal
Ali Daqaq, seorang ulama sufi, membagi tawakal menjadi tiga tingkatan. Pembagian ini membantu kita memahami tahapannya secara lebih jelas.
Pertama, tingkat pemula (Tawakal). Pada level ini, hati merasa tenteram. Ketenteraman itu muncul karena janji-janji Allah. Ini adalah maqam atau tingkatan bagi orang awam. Kedua, tingkat ,enengah (Taslim). Di sini, seseorang menyerahkan semua urusannya. Ia yakin Allah mengetahui keadaannya lebih baik dari dirinya sendiri. Ini adalah maqam para wali Allah. Ketiga, tingkat puncak (Ridha). Ini adalah level tertinggi. Seseorang merasa ridha sepenuhnya terhadap semua ketentuan Allah. Apa pun yang terjadi, hatinya tetap lapang menerima.
Terakhir, Al-Junaid memberikan definisi yang sangat puitis dan mendalam. Al-Junaid berkata: “Hakikat tawakal adalah, bahwa seseorang harus menjadi milik Tuhan dengan cara yang tidak pernah dialami sebelumnya, dan bahwa Tuhan harus menjadi miliknya dengan cara yang tidak pernah dialami-Nya sebelumnya”. Ini menggambarkan hubungan timbal balik yang paling puncak antara hamba dan Tuhannya. Sebuah kepemilikan spiritual yang mutlak. (ENHA/berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
