SURAU.CO. Masjid Shiratal Mustaqiem merubakan tempat ibadah umat Muslim yang sampai saat ini berdiri kokoh di kawasan Samarinda Seberang. Bangunan ini memegang predikat sebagai masjid tertua di Kalimantan Timur. Sejarahnya membentang panjang mulai era Kesultanan Kutai Kartanegara hingga saat ini. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah namun monumen sejarah dan simbol perubahan sosial.
Kisah pembangunan masjid ini mulai pada tahun 1880. Ada seorang pedagang muslim dari Pontianak datang ke Samarinda yang bernama Said Abdurachman bin Assegaf. Ia memiliki gelar Pangeran Bendahara dan merupakan keturunan Arab yang terpandang dengan memilih Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Sultan Kutai saat itu, Aji Muhammad Sulaiman, menyambut baik kedatangannya. Sultan melihat ketekunan dan ketaatan Pangeran Bendahara dalam syariat Islam. Ia pun memberikan izin untuk menetap dan berdakwah.
Lahir dari Kesuksesan Sosial
Dakwah Habib Abdurahman tidaklah mudah. Pada masa itu, Samarinda Seberang memiliki citra yang kurang baik. Kawasan ini dikenal sebagai pusat perjudian. Sabung ayam ramai di siang hari. Judi dadu menggema di malam hari. Peredaran minuman keras juga sangat marak di sana.
Kondisi ini menimbulkan keresahan mendalam di kalangan warga. Citra Samarinda Seberang sebagai wilayah syiar Islam terancam rusak. Banyak warga bahkan merasa takut untuk memasuki kawasan tersebut. Pangeran Bendahara merasa prihatin dengan situasi ini. Ia bertekad untuk membawa perubahan positif.
Dengan pendekatan yang bijaksana, ia mendatangi para tokoh masyarakat. Mereka bingung untuk mencari jalan keluar terbaik. Dari perundingan itu, lahirlah sebuah kesepakatan mulia. Mereka akan membangun sebuah masjid di atas lahan seluas 2.028 meter persegi. Masjid ini diharapkan menjadi pusat kegiatan positif.
Legenda Empat Tiang Utama
Pembangunan masjid dimulai setahun kemudian, pada tahun 1881. Pangeran Bendahara bersama warga memulai pekerjaan berat pertama. Mereka akan mendirikan empat tiang utama atau soko guru. Namun, mereka menghadapi kesulitan yang luar biasa. Warga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengangkat dan menancapkan tiang-tiang kayu raksasa itu.
Mereka mencoba berkali-kali. Namun, semua usaha mereka menemui kegagalan. Di tengah keputusasaan, sebuah peristiwa tak terduga terjadi. Seorang perempuan berusia lanjut tiba-tiba datang mendekat. Dengan tenang, nenek misterius itu meminta izin untuk membantu.
Warga yang mendengar permintaannya sontak tertawa. Mereka meniru kemampuan seorang nenek renta. Namun, Pangeran Bendahara justru menyambutnya dengan penuh hormat. Ia meminta warga untuk memberikan kesempatan. Sang nenek kemudian meminta semua orang untuk pulang ke rumah masing-masing.
Paginya berikutnya, setelah salat Subuh, warga terpaksa kembali. Mereka mendatangi lokasi pembangunan dengan rasa penasaran. Betapa terkejutnya mereka. Keempat tiang utama telah tertanam dengan kokoh dan sempurna. Warga pun merasa takjub. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menemukan keberadaan nenek misterius itu. Ia menghilang tanpa jejak.
Arsitektur Unik dan Akulturasi Budaya
Setelah tiang utama berdiri, pembangunan masjid berlanjut. Pengerjaan memakan waktu selama sepuluh tahun. Akhirnya, pada tahun 1891, masjid rampung dibangun. Peresmiannya bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1311 Hijriyah. Sultan Kutai, Adji Mohammad Sulaiman, meresmikannya secara langsung. Beliau juga menjadi imam pertama yang memimpin shalat di sana. Awalnya, masjid ini bernama Masjid Jami, yang berarti tempat berkumpul.
Keunikan arsitektur Masjid Shiratal Mustaqiem sangat menonjol. Hampir seluruh strukturnya terbuat dari kayu ulin. Tidak ada penggunaan semen atau batu pada bangunan utama. Hanya area wudhu yang kini telah menggunakan keramik modern. Pintu masuk, jendela, hingga mihrab dan mimbar khotib terbuat dari kayu pilihan.
Pada tahun 1901, seorang saudagar kaya Belanda bernama Henry Dasen memberikan sumbangan. Ia membangun pembangunan menara setinggi 21 meter. Menara ini memiliki bentuk segi delapan yang unik. Puncak atapnya tidak berbentuk limas, melainkan pola oval dengan balkon terbuka.
Arsitektur masjid ini menampilkan perpaduan beragam budaya. Pengaruh budaya Jawa sangat kental. Ini terlihat jelas pada struktur utama bangunan. Ada juga sentuhan budaya lokal Kutai. Selain itu, unsur budaya Bugis-Makassar, Tionghoa, dan Indis-Belanda ikut menyuburkan desainnya. Perpaduan ini menciptakan sebuah karya arsitektur yang harmonis dan penuh makna.
Warisan dan Makna Hingga Saat Ini
Nama masjid kemudian diubah menjadi Shirathal Mustaqim. Nama ini berarti “jalan yang lurus”. Perubahan nama ini menjadi penanda. Masjid ini telah berhasil membawa perubahan perilaku dan budaya masyarakat Samarinda Seberang ke arah yang lebih baik.
Masjid yang beralamat di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Mesjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur ini tersimpan sebuah Al-Qur’an kuno. Kitab suci tulisan tangan ini diperkirakan berusia 400 tahun. Pada tahun 2003, Masjid Shiratal Mustaqiem meraih penghargaan. Ia menjadi pemenang kedua dalam Festival Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia. Hingga kini, warga sekitar terus menjaga keaslian bentuk bangunannya. Masjid Shiratal Mustaqiem bukan lagi sekadar bangunan tua. Ia adalah cagar budaya, pusat wisata religi, dan saksi bisu perjalanan panjang Samarinda.
Masjid Shirathal Mustaqim tidak memiliki kubah seperti masjid-masjid dari Timur Tengah. Sebaliknya, ia mengadopsi gaya atap tumpang (bersusun), yang merupakan pengaruh kuat dari arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur pra-Islam di Nusantara. Secara keseluruhan, Masjid Shirathal Mustaqim bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga sebuah mahakarya arsitektur kayu dan monumen sejarah yang hidup. Ia menjadi bukti bagaimana Islam dapat berdialog secara harmonis dengan budaya dan kearifan lokal, menghasilkan sebuah karya arsitektur yang unik, autentik, dan tak lekang oleh waktu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
