SURAU.CO. Keterbatasan akses ibadah menjadi isu krusial. Kondisi ini dialami oleh para penyandang disabilitas di banyak tempat. Berangkat dari keresahan tersebut, sebuah gerakan baru muncul. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) memprakarsai inisiatif penting. Mereka ingin menciptakan lingkungan ibadah yang lebih inklusif. Fokus utamanya adalah pelatihan bahasa isyarat. Pelatihan ini menargetkan para takmir masjid dan mahasiswa. Tujuannya agar mereka menguasai isyarat keagamaan, terutama isyarat Hijaiyah.
Kyai Sarmidi menjelaskan awal mula keterlibatan P3M. Semuanya berawal dari penyusunan buku “Fikih Disabilitas”. Buku ini berhasil membuka wawasan banyak pihak. Berbagai persoalan fikih bagi kaum difabel kemudian terungkap. Persoalan ini seringkali muncul dalam aktivitas sehari-hari mereka. “Banyak pertanyaan mendasar yang butuh jawaban, seperti bagaimana hukum seorang disabilitas daksa membuka Al-Qur’an menggunakan kaki, sah atau tidaknya shalat menggunakan kursi roda yang sebelumnya telah dipakai di luar masjid,” ungkap Kyai Sarmidi.
Berawal dari Persoalan Fikih dan Akses Fisik
Masalah yang ada ternyata bukan hanya soal hukum (fikih). Persoalan juga menyangkut akses fisik dan komunikasi. P3M bahkan telah melakukan riset mendalam. Hasil riset tersebut menunjukkan fakta mengkhawatirkan. Banyak masjid di lingkungan kementerian dan BUMN belum sepenuhnya ramah disabilitas. Temuan ini menegaskan adanya kesenjangan akses yang nyata.
Salah satu tantangan terbesar terletak pada penyampaian informasi. Dakwah dan ceramah seringkali tidak aksesibel bagi komunitas tuna rungu. ” Penyampaian informasi kepada khalayak, termasuk khutbah atau pengajian, idealnya juga menggunakan Juru Bahasa Isyarat (JBI). Namun, sumber daya manusia untuk ini masih sangat minim, terlebih untuk bahasa isyarat yang berkaitan dengan istilah keagamaan dan huruf Hijaiyah,” lanjutnya. Atas dasar itu, gagasan pelatihan bahasa isyarat muncul. Pelatihan yang sistematis bagi takmir masjid menjadi solusi mendesak.
Konsep Pelatihan dan Kebutuhan Spiritual Mendesak
Diskusi ini menghadirkan para ahli untuk membahas program ini. Beberapa pandangan kunci terungkap dalam diskusi tersebut. Lalan Erlani, ahli komunikasi disabilitas dari Universitas Negeri Jakarta, memberikan pandangannya. Ia menjelaskan bahwa penguasaan bahasa isyarat butuh proses. “Untuk tingkat dasar saja, setidaknya diperlukan sekitar 10 kali pertemuan, dengan durasi 5 jam per pertemuan. Ini adalah fondasi sebelum masuk ke materi yang lebih spesifik seperti isyarat Al-Qur’an,” jelas Lalan.
Sementara itu, Mustafa dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) menyoroti sisi lain. Ia menekankan adanya urgensi spiritual di kalangan komunitas Tuli. Pengalaman LPMQ menunjukkan ada pemahaman yang perlu dikuatkan.
“Dari pengalaman kami, konsep mendasar tentang tauhid di kalangan teman-teman Tuli masih perlu dikuatkan. Ini terjadi karena adanya hambatan komunikasi dalam penyampaian ajaran agama,” ujarnya.
LPMQ sendiri sudah berpengalaman dalam bidang ini. Mereka telah memberikan pelatihan Al-Qur’an isyarat. Pelatihan ini dibagi menjadi dua jenis. Ada kitabah (menulis) dan tilawah (membaca). Pelatihan spesifik ini dapat dilakukan dalam waktu singkat, sekitar 2-3 hari. “Namun, yang butuh waktu lama dan harus dikuasai lebih dulu adalah bahasa isyarat dasarnya,” tegas Mustafa.
Ia juga menambahkan kriteria peserta dalam pelatihan. Peserta utamanya adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Contohnya adalah teman Tuli itu sendiri serta para guru ngaji. “Untuk hasil terbaik, kami juga mengutamakan pelatih dari kalangan Tuli,” tambahnya.
Langkah Strategis: Standardisasi dan Silabus Bersama
Diskusi tersebut menghasilkan beberapa kesimpulan strategis. Langkah-langkah ini akan menjadi panduan ke depan. Pertama, ada kebutuhan standardisasi dan profesionalisasi JBI. Langkah ini terwujud dengan adanya sertifikasi resmi. Sertifikasi akan dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Tujuannya untuk menjamin kualitas dan kompetensi para juru bahasa isyarat.
Kedua, para ahli akan menyusun silabus bersama. Silabus ini penting untuk memastikan pelatihan berjalan efektif. Proses belajar akan menjadi lebih terstruktur dan terukur. Maman AR dari P3M menyebutkan akan ada banyak pihak terlibat dalam penyusunan silabus. Keahlian dari berbagai pihak akan digabungkan untuk hasil maksimal.
Inisiatif yang P3M ini akan menjadi harapan baru para tuna rungu. Gerakan bersama para pakar ini akan menjadi langkah nyata dalam perkembangan Al Quran bagi kaum difabel. Tujuannya adalah meruntuhkan dinding pemisah dalam beribadah. Setiap muslim, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Mereka berhak mengakses dan mendalami ajaran agamanya dengan baik.
Di tengah semangat inklusivitas yang terus menguat, sebuah inovasi penting dalam dunia pendidikan Islam hadir untuk memastikan tidak ada umat yang tertinggal. Bahasa Isyarat Al-Quran adalah sebuah sistem komunikasi visual yang dirancang khusus, kini menjadi jembatan bagi penyandang disabilitas rungu untuk dapat membaca, memahami, dan menghafal kitab suci Al-Quran.
Inisiatif ini lahir dari kesadaran bahwa akses terhadap ajaran agama adalah hak fundamental bagi setiap individu. Selama ini, Sahabat Tuli seringkali menghadapi tantangan besar dalam mempelajari Al-Quran yang pembelajarannya sangat bergantung pada aspek auditori (pendengaran) dan pelafalan. Bahasa isyarat Al-Quran hadir sebagai solusi konkret untuk mengatasi hambatan tersebut.
Cara Kerjanya
Bahasa Isyarat Al-Quran bukanlah sekadar terjemahan biasa. Ia merupakan sebuah sistem yang terstruktur dan teliti dalam pengembangannya. Beberapa komponen utamanya meliputi: Pertama adalah sistem isyarat terpadu. Setiap huruf hijaiyah, kata, bahkan konsep-konsep kunci dalam Al-Quran terrepresentasikan dengan kombinasi gerakan tangan, jari, dan ekspresi wajah. Sistem ini memungkinkan penyampaian yang presisi dan kaya makna. Kedua, Mushaf Al-Quran Isyarat.
Untuk mendukung proses belajar, telah ada mushaf (kitab Al-Quran) khusus. Dalam mushaf ini selain teks Arab asli, ada juga gambar-gambar atau kode QR yang mengarahkan ke video peragaan isyarat untuk setiap kata atau ayat. Hal ini sangat membantu pembelajar mandiri. Dan terakhir adalah Metode Pembelajaran Khusus. Berbagai metode telah diciptakan untuk mempermudah pengajaran. Salah satu yang populer adalah metode Jari Bano, yang secara sistematis mengajarkan cara membaca dan menulis Al-Quran menggunakan isyarat jari yang mewakili huruf-huruf hijaiyah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
