Bahaya Syirik dalam Shalawat Tarhim: Antara Tradisi dan Tauhid.
Shalawat tarhim adalah lantunan shalawat yang biasa dikumandangkan di masjid-masjid, terutama menjelang adzan Subuh, Maghrib, atau menjelang Ramadhan. Biasanya berisi kalimat pujian kepada Rasulullah ﷺ dan ajakan untuk mengingat Allah serta mempersiapkan diri untuk shalat. Namun, sebagian kalangan menilai bahwa ada potensi penyimpangan aqidah dalam praktik tersebut jika tidak dipahami secara benar, terutama jika shalawat tersebut disertai unsur ghuluw (berlebihan) terhadap Nabi atau mengandung unsur kesyirikan tersembunyi.
1. Definisi Syirik dan Bahayanya
Syirik secara bahasa berarti menyekutukan. Dalam istilah syariat, syirik adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal yang menjadi kekhususan-Nya, seperti dalam berdoa, beribadah, atau meyakini adanya kekuatan selain Allah yang mutlak.
Allah berfirman:
> “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
(QS. An-Nisa: 48)
Dosa syirik bisa menjadikan seseorang keluar dari Islam jika tidak bertobat hingga akhir hayatnya.
2. Apa Itu Shalawat Tarhim?
Shalawat tarhim biasanya berbentuk syair atau lirik yang dibaca dengan nada sedih dan menyentuh, seperti:
> “Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah… Ya Rasulullah, salamun ‘alaik…”
Shalawat ini sering menjadi tradisi di banyak tempat di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. Tujuannya adalah mengajak umat untuk ingat Allah, Rasul-Nya, dan bersiap-siap untuk shalat.
Namun, sebagian kalangan mempermasalahkan isi dan cara pembacaannya karena dinilai berpotensi mengandung syirik kecil atau ghuluw terhadap Nabi.
3. Potensi Syirik dalam Shalawat Tarhim
Shalawat adalah amalan mulia, diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an:
> “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
(QS. Al-Ahzab: 56)
Namun, bentuk dan isi shalawat harus mengikuti tuntunan syariat. Jika melampaui batas, bisa terjerumus dalam syirik atau bid’ah, misalnya:
a. Meminta kepada Nabi secara langsung
Contoh dalam beberapa versi tarhim:
> “Ya Rasulullah, unzhurna” (Wahai Rasulullah, pandanglah kami),
“Ya Rasulullah, isyfa’ lana” (Wahai Rasulullah, berilah syafaat untuk kami).
Permintaan seperti ini bisa menjadi syirik, apabila diyakini bahwa Rasulullah mampu mendengar dan memenuhi doa dari orang-orang yang masih hidup dari jarak jauh setelah wafat.
➡️ Penjelasan:
Doa hanya ditujukan kepada Allah. Rasulullah memang diberi hak syafaat dengan izin Allah, namun meminta langsung kepada Rasulullah yang telah wafat, meyakini beliau bisa mendengar, mengetahui, dan memenuhi permintaan, termasuk bentuk syirik akbar, jika diyakini secara mutlak.
b. Mengangkat Rasulullah melebihi kedudukannya
Contoh kalimat yang menyebut:
> “Engkaulah cahaya dari segala cahaya, Engkau yang menghidupkan hati, Engkau yang memberi rezeki…”
Kalimat seperti ini jika tidak dibatasi dengan pemahaman syar’i, bisa menyamakan kedudukan Rasulullah dengan sifat-sifat ketuhanan, dan ini adalah ghuluw yang bisa mengarah kepada syirik.
➡️ Penjelasan:
Nabi Muhammad ﷺ adalah hamba dan utusan Allah, bukan pemberi rezeki, bukan pula cahaya hakiki. Ia adalah makhluk, bukan Tuhan.
4. Sikap Islam Terhadap Shalawat yang Menyimpang
Islam memerintahkan untuk mencintai Nabi, tapi melarang memujinya secara berlebihan. Rasulullah sendiri bersabda:
> “Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang Nasrani memuji Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(HR. Bukhari)
Jadi, jika dalam shalawat ada unsur meminta langsung kepada Nabi, atau menisbatkan sifat Allah kepada Nabi, maka hal itu harus ditolak dan dihindari.
5. Solusi: Kembali kepada Shalawat yang Sahih
Shalawat yang benar adalah shalawat yang diajarkan Nabi sendiri, seperti Shalawat Ibrahimiyah yang dibaca dalam shalat:
> “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad…”
Shalawat ini bersih dari unsur ghuluw dan syirik, dan memiliki dasar hadits sahih.
6. Memahami Tradisi dengan Ilmu
Tidak semua shalawat tarhim salah. Banyak yang hanya berupa pujian dan ajakan baik. Namun, masyarakat perlu dibekali dengan ilmu agar bisa membedakan antara yang sesuai sunnah dan yang menyimpang. Jangan karena suara merdu atau suasana haru, kita menerima tanpa memeriksa isi dan akidahnya.
> “Ilmu sebelum berkata dan beramal.” (Imam Bukhari)
7. Peran Ulama dan Da’i dalam Meluruskan
Ulama dan da’i hendaknya menjelaskan dengan hikmah dan kelembutan. Jangan langsung menyalahkan tanpa edukasi. Gunakan pendekatan yang mendidik, bukan mencela.
> “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…”
(QS. An-Nahl: 125)
Penutup: Jaga Tauhid, Luruskan Cinta pada Nabi
Mencintai Rasulullah ﷺ adalah bagian dari iman. Tapi cinta sejati adalah yang sesuai dengan tuntunan beliau, bukan yang dibumbui dengan syair berlebihan atau doa yang ditujukan padanya.
Tauhid adalah prioritas utama. Syirik, walau kecil, bisa berakibat fatal. Mari kembali kepada shalawat yang sahih, dan menjauhi segala bentuk lafaz yang mengandung syirik atau ghuluw, walau itu dibalut indah dalam suara merdu shalawat tarhim.
> “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). (Tengku Iskandar)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
