Jika Anda pernah menginjakkan kaki di Pulau Lombok, niscaya akan menyadari satu hal yang mencolok: di setiap desa, bahkan dusun, selalu ada masjid yang menonjol dengan kubah dan menaranya. Jumlahnya bukan ratusan, tapi ribuan. Tidak heran bila Lombok mendapat julukan “Pulau Seribu Masjid“. Namun, di balik angka tersebut, tersimpan makna kultural dan spiritual yang jauh lebih dalam bagi masyarakat Sasak.
Di Lombok, masjid bukan hanya tempat ibadah. Ia menjadi “induk dari ruang tunggu”, pusat orientasi spasial yang membentuk seluruh pola permukiman tradisional. Dalam budaya Sasak, masjid memiliki kedudukan spiritual dan sosial yang tinggi—sebuah representasi hidup dari perubahan kosmologi masyarakat yang dahulu animistik menjadi religius Islam.
Dalam penelitian yang dilakukan Hidjaz et al., (2019), dijelaskan bahwa masjid adalah induk (ineun) dari semua ruang hunian, karena telah menjadi acuan sejak awal terbentuknya lingkungan hunian.
Transformasi Kosmologi Sasak
Sebelum Islam hadir, masyarakat Sasak mengorientasikan permukimannya pada objek-objek alami seperti Gunung Rinjani dan mata air. Konsep ruang pada masa itu dikenal sebagai ineun tetaok atau “induk ruang”. Namun setelah Islam masuk, orientasi itu berpindah ke masjid, yang disebut ineun paer atau “induk ruang tunggu”.
Perubahan ini bukan hanya perubahan titik orientasi fisik, tapi juga pergeseran pandangan hidup. Jika dulu ruang dipandang sebagai pusat sumber daya alam, kini ia dipahami sebagai tempat menunggu sebelum menuju kehidupan abadi.
Arsitektur Masjid dan Budaya Lokal
Dalam gubus, kubah, menara, dan mihrab bukan sekadar elemen arsitektural. Setiap bagian masjid di Lombok punya keterkaitan erat dengan budaya lokal. Kubah masjid, misalnya, banyak mengadopsi bentuk tebolak—tudung makanan khas Sasak yang melambangkan keberkahan dan perlindungan.
“Atap kubah masjid… disesuaikan sebagai bentuk tebolak… yang secara simbolis melambangkan pelindung rezeki.” (Hidjaz et al., 2019)
Adaptasi budaya ini membuat arsitektur masjid mudah diterima masyarakat. Bahkan, model arsitektur kubah ini menjadi dominan setelah tahun 1970-an.
Masjid dalam Struktur Sosial Sasak
Masjid tidak berdiri sendiri. Ia selalu terletak di tengah bale langgak, yaitu kelompok rumah keluarga besar. Dalam kehidupan sosial masyarakat Sasak, masjid menjadi pusat segala aktivitas: ibadah, musyawarah, dan perayaan. Ketika satu keluarga menerima tamu, semua tetangga ikut menyambut.
Ruang desa bukan dibentuk oleh jalan utama, tetapi oleh relasi kekerabatan yang mengelilingi masjid. Itulah mengapa permukiman Sasak tidak linear di sepanjang jalan, tetapi melingkar dengan masjid sebagai titik pusat.
Makna Simbolik Kubah dan Menara
Menara masjid di Lombok berdiri tegak dan tinggi. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat azan, menara menjadi simbol kehadiran agama dan spiritualitas yang melampaui batas fisik desa.
Menariknya, bentuk menara yang vertikal dihubungkan dengan makna kata “Lomboq” dalam bahasa Sasak yang berarti “lurus” atau “tegak”. Maka, keberadaan menara bukan kebetulan, melainkan cerminan dari filosofi masyarakatnya.
Simbol Kesuksesan dan Kolektivitas
Masyarakat di desa-desa Lombok membangun Masjid dengan cara gotong royong. Semakin megah masjidnya, semakin besar kontribusi kolektif warga. Bahkan, beberapa desa memiliki dua hingga tiga masjid besar sekaligus.
“Setiap desa di Lombok membangun masjid yang megah… sebagai ungkapan syukur yang simbolis atas kesuksesan mereka dalam mengelola sawah-sawah..” (Hidjaz et al., 2019)
Masjid menjadi pencapaian bersama. Ia mencerminkan bukan hanya keberhasilan spiritual, tetapi juga keberhasilan ekonomi dan sosial desa.
Tantangan Modernisasi dan Pengaruh Ekonomi Global
Meski masyarakat Sasak menjaga struktur sosial berbasis masjid dengan kuat, modernisasi dan pertumbuhan industri retail mulai mengganggu tatanan permukiman tradisional mereka. Pertokoan dan jaringan ritel terus menyebar ke tepi-tepi desa dan mengacaukan pola klaster yang sebelumnya mengelilingi masjid.
Pemerintah dan masyarakat harus bersatu mempertahankan keunikan permukiman ini. Mereka perlu melestarikan budaya tersebut, sekaligus mempromosikannya sebagai daya tarik wisata spiritual dan arsitektural.
Masyarakat Lombok tidak sekadar membangun masjid untuk beribadah. Me menjadikannya simbol identitas, pusat interaksi sosial, serta penentu arah hidup bersama. Mereka merancang kubah masjid menyerupai tudung makanan tradisional dan meletakkan masjid di posisi paling sentral dalam permukiman mereka. Setiap unsur masjid mencerminkan adaptasi budaya yang penuh makna.
Dengan memahami masjid sebagai ineun paer—induk dari ruang tunggu—masyarakat Sasak menunjukkan bahwa mereka memaknai hidup sebagai proses spiritual yang berpijak pada ruang dan nilai. Mereka tidak hanya membangun masjid sebagai bangunan fisik, tetapi menanamkannya sebagai inti kehidupan mereka.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
