Sejarah
Beranda » Berita » Tek Hay Kiong, Gerbang Waktu Toleransi

Tek Hay Kiong, Gerbang Waktu Toleransi

Tek Hay Kiong, Gerbang Waktu Toleransi.

 

Di bawah langit mendung yang berpendar merah, Charlie, Junia, Clania, dan Kusnita, melangkah santai melewati lorong-lorong lampion menuju  pelataran Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal, yang tak hanya kaya sejarah tapi juga jadi simbol toleransi dan akulturasi budaya di Tegal.

Charlie: “Tempat ini seperti lorong waktu… kita seolah masuk ke abad 18, dalam liak liuk gemulai barongsai dan dentuman tambur yang menggetarkan.”

Charly: “Klenteng ini dibangun oleh Kapitan pertama Tionghwa, Souw Pek Gwan tahun 1760an. Namun, ada yang bilang  sekitar tahun 1690, menjadikannya salah satu klenteng tertua di Jawa Tengah.  Tahun 1837 klenteng ini mengalami renovasi dan berganti nama dari “Cin Jin Bio” menjadi “Tek Hay Kiong” .

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Clania, mengangguk: “Betul. Awalnya bernama Cin Jin Bio. Menjadi tempat perlindungan orang Tionghoa saat kerusuhan 1950-an. Sekarang, ia berdiri sebagai simbol ketahanan dan harmoni.”

Kusnita, berkaca-kaca: “Dan hari ini, kita saksi hidup puncak Sejit —ulang tahun Kongco Ceng Gwan Cin Kun, dewa pembasmi kejahatan.”

Charlie: “Kita akan saksikan Kirab Gotong Toa Pe Kong, ketika para Dewa turun ke bumi. Lihat itu! 55 tandu dari kelenteng se-Nusantara: Palembang, Jakarta, Lasem, dll….Semua datang ke Tegal!”

Junia: “Dan yang luar biasa: kirab ini diikuti perwakilan enam agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu) sebagai simbol moderasi beragama. Ini bukti Tegal, miniatur Indonesia.”

Ini bukan cuma budaya Tionghoa, ini perayaan ke-Bhinneka-an Indonesia!”

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Kusnita: “Tegal seperti miniatur Indonesia yang utuh—ramai tapi damai.”

Sesaat, terlihat barongsai menari-nari, di depannya 2 Barongsay merah dan kuning meliak-liuk gemulai mengikuti suara tambur bertalu-talu. Di dalam klenteng, ribuan orang mengikuti prosesi sembahyang di antara kepulan asap pekat dari dupa yang saling bergerak menari-nari diiringi deburan suara tambur yang menggetarkan jiwa.

Sementara itu di ruangan dalam adalah Malam Kesenian Kolaborasi Tionghoa-Jawa. Dengan aneka penyanyi yang meliuk-liuk di antara penonton, sambil menyanyikan aneka lagu Indonesia dan Mandarin, dan di sebelahnya terdapat ruangan besar yang menyediakan aneka hidangan gratis buat ratusan pengunjung yang hadir, semua antri tertib menunggu gilirannya.

Sementara itu, Charlie nyeletuk: “Lihat, di sepanjang jalan, lebih dari 122 stan-stan UMKM dari berbagai kelompok etnis menjajakan penganan tradisional sampai milenial, aneka rupa dan aneka rasa. … Ini bukan sekadar festival. Ini simfoni harmoni sosial-ekonomi!”

Tiba-tiba Kusnita, tampak serius: “Lihat tuh, di Jembatan 7 Bintang, simbolis sekali. Peziarah, berjalan perlahan, naik tangga, menyeberangi jembatan kayu dalam doa, sambil melemparkan koin-koin keberuntungan. Ini adalah lambang perjalanan rohani melewati 7 lapisan langit menuju nirwana.”

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Clania: “Iya, ritual sembahyang Sejit di sini, bukan sekadar doa pribadi. Itu doa bersama untuk Kota Tegal, untuk Indonesia. Ini spiritualitas inklusif. Kita menyatu dalam harapan bersama.”

Junia: Siapa itu Dewa Ceng Gwan Cin Kun?”

Charlie: “Dewa ini dipercaya membawa berkah keselamatan. Lihat pedang di tangannya itu… Itu bukan cuma senjata. Ini adalah metafora perlawanan terhadap kejahatan.”

“Itu pesan: Lawan korupsi, Lawan intoleransi, Lawan kebencian. Lawan Kejahatan.”

Kusnita: “Iya, perayaan ini adalah pernyataan bahwa kebaikan harus diperlihatkan, dibuktikan dalam tindakan, bukan disembunyikan di altar.”

Clania: “Kelenteng ini unik, ya. Arsitekturnya khas Tiongkok. Lihat motif naga emasnya. dan tandu-tandu itu… dibawa puluhan orang bersama-sama. Itu seperti simbol: kebaikan harus dipikul bersama.”

Clania: “Dan barongsai diiringi genderang tambur? Luar biasa!”

Charlie: “Jangan hanya kagum pada acaranya. Pahami dan jalani nilai-nilainya: harmoni, toleransi, dan berani melawan keburukan dan kebusukan.”

Kusnita, tersenyum: “Benar, Jadilah tandu kebaikan yang digotong beramai-ramai. Di rumah, di kantor, di masyarakat. Bawa kebaikan bersama kita, ke semua arah, ke semua orang.”

Referensi:
  1.   Situs Resmi Kelenteng Tek Hay Kiong, https://tekihaykiong.wordpress.com
  2.   Wawancara budayawan Tegal 2024.
  3.   Arsitektur Kepercayaan Tionghoa di Jawa, Yap Thiam Hien Institute.
  4.   Pemkot Tegal. Dokumentasi Kirab Toa Pe Kong Tegal 2023. Kirab Toa Pe Kong diikuti komunitas lintas agama sebagai simbol moderasi dan toleransi.
  5.   Festival Kuliner Sejit Tek Hay Kiong (2023), kerja sama UMKM lokal-Tionghoa.
  6.   Tek Hay Kiong Official Site (2023). Jembatan kayu & sembahyang kolektif Sejit.
  7.   Ceng Gwan Cin Kun dikenal sebagai pelindung masyarakat dari bahaya moral dan sosial – narasi keagamaan populer Tionghoa.
  8.   Tribun Jateng, 17 Juni 2025.

Catatan: 
– Puncak Sejit: Minggu, 22 Juni 2025
“Di sini, dewa-dewa tidak diam di altar—mereka turun ke jalan, menyapa manusia dalam bahasa universal: budaya, harmoni, toleransi dan keberanian menyapa kebenaran.” Lisensi: CC BY-NC 4.0. Keterangan Foto (Keliek J)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement