Mode & Gaya
Beranda » Berita » Sains di Balik Empati: Mengapa Welas Asih itu Krusial

Sains di Balik Empati: Mengapa Welas Asih itu Krusial

Sains di Balik Empati
Sains di Balik Empati

Empati memegang peran krusial dalam interaksi manusia.

Ia berfungsi sebagai jembatan emosional yang menghubungkan individu satu sama lain. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk saling berbagi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan. Lebih dari itu, empati mendorong lahirnya perilaku prososial yang membangun masyarakat. Proses berempati melibatkan interaksi jaringan saraf yang sangat rumit di dalam otak. Berkat mekanisme ini, kita dapat merasakan emosi orang lain, memahami perspektif mereka, sambil tetap mampu membedakan perasaan kita sendiri.

 

Tantangan Empati di Dunia Medis

Sayangnya, berbagai studi menemukan adanya penurunan tingkat empati selama masa pelatihan medis. Tanpa intervensi yang tepat, kondisi ini dapat menciptakan masalah serius. Perawatan yang minim welas asih akan membuat pasien merasa tidak puas. Akibatnya, mereka menjadi enggan untuk mengikuti rekomendasi pengobatan. Hal ini secara langsung berujung pada hasil kesehatan yang lebih buruk serta merusak kepercayaan antara pasien dan tenaga medis.

Dahulu, banyak yang menganggap empati diantara tiap manusia sebagai bakat bawaan yang tidak bisa diajarkan. Namun, penelitian modern telah membantah pandangan lama ini. Riset membuktikan bahwa empati adalah sebuah kompetensi yang dapat diasah dan dilatih secara efektif, termasuk pada para penyedia layanan kesehatan. Perawatan medis yang empatik terbukti membawa segudang manfaat. Pasien melaporkan pengalaman yang lebih baik dan lebih patuh terhadap rencana pengobatan. Hasil klinis pun meningkat, sementara angka kesalahan medis dan tuntutan malapraktik menurun.

Mengenal Perbedaan Hijab, Jilbab, dan Khimar dalam Tren Fashion Muslimah

 

Bagaimana Otak Manusia Dirancang untuk Berempati?

Jika evolusi hanya tentang bertahan hidup dengan cara terkuat mendominasi, otak manusia mungkin hanya dirancang untuk kompetisi. Namun, kenyataannya kita memiliki kapasitas mendalam untuk merespons penderitaan orang lain. Kemampuan untuk merasakan dan memahami rasa sakit sesama memotivasi kita untuk bertindak dengan welas asih. Justru kemampuan inilah yang menjadi kunci kelangsungan hidup spesies kita, karena saling membantu adalah naluri dasar yang meringankan penderitaan kolektif.

 

Konsep empati antar manusia sendiri mulai dibahas secara formal pada abad ke-19. Awalnya, para ahli estetika memakai kata Jerman “Einfühlung” untuk menggambarkan bagaimana seseorang bisa “merasakan dari dalam” sebuah karya seni. Kemudian, psikolog Theodore Lipps memperluas makna ini. Ia berteori bahwa kita berempati dengan cara meniru tindakan orang lain secara batiniah.

 

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

Empati Adalah Kemampuan yang Terprogram di Otak

Penelitian di bidang neurobiologi telah mengubah cara kita memandang empati. Ia bukan lagi sekadar soft skill, melainkan sebuah kompetensi yang memiliki dasar biologis di otak. Teori “peniruan batiniah” kini mendapat dukungan kuat dari riset pencitraan otak. Teknologi fMRI (functional magnetic resonance imaging) berhasil menunjukkan adanya mekanisme saraf khusus. Mekanisme ini membuat individu yang empatik secara tidak sadar meniru postur, gerak-gerik, dan ekspresi wajah orang lain.

 

Kapasitas meniru ini bahkan terdeteksi hingga ke tingkat serat otot. Sebagai contoh, ketika tangan seseorang tertusuk jarum, area motorik dan sensorik yang sama akan aktif di otak orang yang mengamatinya. Ini membuktikan bahwa kita benar-benar ikut merasakan apa yang dialami orang lain, meskipun dalam tingkat yang lebih rendah. Proses pelemahan sensasi ini sangat penting. Ia membuat kita bisa berempati tanpa ikut tenggelam dalam penderitaan orang lain, sehingga kita tetap mampu memberikan pertolongan yang efektif.

Mengatasi Bias dengan Empati Kognitif

Salah satu fungsi utama empati adalah menghubungkan manusia. Namun, secara evolusioner, empati afektif atau berbagi emosi lebih mudah terjadi di antara anggota kelompok yang sama. Kita cenderung lebih mudah berempati pada orang yang terlihat atau bertindak mirip dengan kita. Bias semacam ini sering kita temui dalam berbagai aspek kehidupan.

Otak kita memang dirancang untuk mengenali perbedaan dengan cepat. Amigdala, sebagai sensor ancaman, akan bereaksi terhadap stimulus asing dalam hitungan milidetik, jauh sebelum pikiran sadar kita sempat memprosesnya. Di sinilah peran empati kognitif menjadi sangat krusial. Ketika empati emosional terhalang oleh perbedaan ras, etnis, atau agama, empati kognitif harus mengambil alih. Ia adalah kemampuan untuk secara sadar dan aktif berusaha memahami sudut pandang orang lain.

Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

Layanan kesehatan tidak kebal dari bias, baik yang disadari maupun tidak. Tidak ada tempat bagi diskriminasi dalam dunia medis. Riset menunjukkan bahwa melatih kemampuan mengambil perspektif dan secara sadar menghargai kesejahteraan orang lain dapat mengatasi bias ini. Menghargai orang lain, terlepas dari perbedaannya, adalah kunci utama untuk menumbuhkan kepedulian empatik.

 

Pentingnya Empati Diri dan Jalan ke Depan

Empati diri adalah aspek yang sering kali terabaikan, padahal perannya sangat fundamental. Para profesional kesehatan tidak akan bisa terus-menerus memberikan empati jika sumber daya emosional mereka terkuras. Beban kerja yang berat, kelelahan, dan stres dapat menurunkan kapasitas empati secara drastis. Oleh karena itu, merawat diri sendiri adalah syarat mutlak untuk bisa merawat orang lain dengan baik. Program kesehatan mental dan pelatihan empati harus menjadi prioritas bagi setiap institusi kesehatan.

Pada akhirnya, jika kita ingin bergerak menuju masyarakat yang lebih empatik dan dunia yang lebih welas asih, kita harus mulai dari mengasah kemampuan diri sendiri. Meningkatkan empati bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar untuk memperkuat ikatan antar individu, komunitas, dan bahkan bangsa. Dunia layanan kesehatan memiliki potensi besar untuk menjadi teladan, menunjukkan jalan bagi seluruh dunia untuk mengikuti.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement