Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
SURAU.CO – Salah satu metode kampanye yang difasilitasi oleh KPU adalah debat terbuka. Namun, kesempatan adu gagasan antar pasangan calon ini sayangnya tidak jarang berakhir dengan dengan adu otot.
Dalam konteks provinsi, berbagai insiden terjadi. Debat di Aceh terpaksa dihentikan ketika pendukung naik ke panggung hanya karena memprotes salah satu calon yang memakai clip on. Di Sumatera Utara, saling sindir dan mengungkit kesalahan memicu keributan di dalam ruangan, yang berlanjut hingga aksi lempar botol dan batu di luar. Adu mulut dan teriakan pendukung juga berujung bentrokan di debat Sulawesi Selatan. Bahkan di Jakarta, yang disebut barometer Pilkada, terjadi kericuhan hanya karena ada yang membawa alat peraga kampanye.
Sementara itu, di tingkat kabupaten/kota, situasinya lebih variatif lagi. Debat di Pekalongan diwarnai pemukulan hingga ada yang melapor ke polisi. Di Tapanuli Tengah, seorang calon yang sedang berdebat bahkan mengeluarkan pistol ketika terjadi keributan. Debat di Bojonegoro gagal hingga dua kali karena pasangan calon berbeda pandangan soal format. Di Blitar, interupsi dengan teriakan keras terjadi karena tudingan calon membawa catatan. Teriakan yel-yel sindiran merembet menjadi kontak fisik. Aksi kejar-kejaran hingga lantunan sholawat badar untuk melerai terjadi di Batubara. Di Musi Rawas Utara, polisi sampai melepaskan tembakan peringatan. Terakhir, di Situbondo, debat ricuh karena pertanyaan antikorupsi ditujukan kepada calon yang berstatus tersangka.
Regulasi Ideal yang Terbentur Realita
Sejatinya, debat Pilkada memiliki tujuan yang sangat ideal. Tujuannya untuk menyebarluaskan profil, visi, misi, serta program kerja para pasangan calon. Ini menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Untuk meningkatkan kualitas, KPU bahkan membentuk tim perumus dan panelis dari kalangan profesional, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Format debat juga telah diatur secara standar oleh KPU, serupa dengan format debat presiden. Terdapat enam segmen yang mencakup pemaparan visi-misi, pertanyaan dari panelis, sesi tanya jawab antar calon, dan pernyataan penutup. Tema debat pun sudah dikategorikan untuk fokus pada peningkatan kesejahteraan, kemajuan daerah, pelayanan publik, hingga penguatan NKRI.
Namun, ketentuan yang menghadirkan pendukung di lokasi debat justru sering menjadi awal mula dari penyebab keributan. Mayoritas insiden disebabkan oleh ulah pendukung. Potensi ketegangan muncul akibat kehadiran pendukung yang belum dewasa dalam menyikapi pernyataan dan pertanyaan yang dilontarkan antar pasangan calon.
Cermin Kemunduran Demokrasi Kita
Debat sejatinya adalah pertukaran pendapat dengan saling menyampaikan argumentasi. Tujuannya adalah mempertahankan, bahkan memenangkan pendapat. Debat adalah sebuah diskusi yang memang dirancang untuk tidak setuju. Namun, tujuannya tetap untuk mengatasi masalah daerah dan memungkinkan pemilih agar tidak memilih kucing dalam karung.
Akan tetapi, pendukung pasangan calon seringkali belum siap menghadapi dinamika debat. Anggapan menang atau kalah dari pertanyaan dan jawaban antar calon masih dianggap sebagai bentuk serangan pribadi. Hal ini membuat pendukung tidak terima dan mudah memicu keributan.
Peristiwa debat yang memicu adu otot ini adalah fenomena gunung es dari situasi demokrasi kita saat ini. Perbedaan pendapat dalam politik disikapi dengan cara fisik dan kemarahan. Hal ini menunjukkan sebuah kemunduran demokrasi yang sejalan dengan berkembangnya suasana anti-intelektualisme. Perbedaan pendapat justru disikapi dengan cara anarkis.
Mengembalikan Debat ke Akar Sejarahnya
Justru melalui debat, perbedaan pendapat seharusnya menjadi hal yang biasa dan tidak perlu disikapi dengan kekerasan. Sebab, demokrasi berpijak pada prinsip kerja sama dan penentuan kolektif dari setiap pribadi yang bebas dan setara. Argumentasi sebagai ciri khas debat adalah inti dari demokrasi itu sendiri.
Kita perlu kembali pada sejarah, di mana debat adalah cikal bakal landasan ideologis bangsa Indonesia. Perdebatan sengit antara Soekarno dan Mohammad Natsir, serta antara Mohammad Hatta dan Soepomo, telah melahirkan konsep penyatuan kebhinekaan yang kita anut hingga kini.
Lewat perdebatan, para pendiri bangsa telah memberikan pembelajaran penting. Mereka menunjukkan betapa vitalnya demokrasi untuk menjalankan pemerintahan bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang. Saatnya mengembalikan debat sebagai ajang adu gagasan yang mencerahkan, bukan panggung adu otot yang memalukan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
