Kisah
Beranda » Berita » Kejujuran Abu Yazid Al Busthami yang Menyelamatkan Satu Kafilah

Kejujuran Abu Yazid Al Busthami yang Menyelamatkan Satu Kafilah

Ilustrasi

SURAU.CO – Kejujuran adalah sebuah prinsip mulia. Nilainya sering kali baru teruji saat kita berada dalam kesulitan. Kisah seorang sufi besar, Abu Yazid Al Busthami, menjadi bukti nyata bagaimana memegang teguh kejujuran dapat mengubah keadaan yang paling buruk sekalipun. Perjalanannya menuntut ilmu menjadi pelajaran abadi tentang kekuatan sebuah janji.

Janji Suci kepada Sang Ibunda

Semua bermula saat Abu Yazid Al Busthami masih seorang remaja. Ia memiliki cita-cita besar untuk menimba ilmu agama di Baghdad, pusat peradaban dan pengetahuan pada masanya. Ibunya, seorang janda yang bijaksana, sangat mendukung niat mulia putranya. Ia pun mempersiapkan bekal untuk perjalanan jauh tersebut.

Ibunya membekali Abu Yazid dengan uang empat puluh dinar emas. Uang tersebut merupakan satu-satunya warisan dari mendiang ayahnya. Tentu saja, jumlah itu sangat berharga. Untuk memastikan keamanan uang tersebut, sang ibu punya cara tersendiri. Ia memasukkan kepingan-kepingan dinar itu ke dalam lapisan lengan baju Abu Yazid. Kemudian, ia menjahitnya dengan sangat rapat agar tidak terlihat dan tidak mudah jatuh.

Sebelum melepas kepergian putra kesayangannya, sang ibu tidak memberikan banyak harta. Ia hanya membekalinya dengan satu wasiat yang tak ternilai. Ia meminta Abu Yazid berjanji di hadapannya. Janji itu sederhana namun berat: untuk selalu berkata jujur dan tidak berbohong dalam keadaan apa pun. Dengan tulus, Abu Yazid Al Busthami mengucap janji itu. Ia bertekad akan memegang teguh amanah ibunya.

Hadangan Perampok di Tengah Perjalanan

Dengan restu ibu dan bekal yang tersimpan rapi, Abu Yazid berangkat. Ia bergabung dengan sebuah kafilah dagang yang juga bertujuan ke Baghdad. Perjalanan terasa penuh harapan. Para musafir saling berbagi cerita dan impian. Namun, suasana damai itu tiba-tiba sirna.

Pasca Wafatnya Rasulullah: Sikap Abu Bakar Menghadapi Kemurtadan

Di tengah sunyinya padang pasir, sekelompok perampok bersenjata menghadang mereka. Kepanikan melanda seluruh anggota kafilah. Para perampok itu sangat beringas. Mereka merampas semua barang berharga tanpa ampun. Mereka mengambil paksa semua barang seperti emas, perak, dan barang dagangan.

Para perampok itu menghampiri setiap orang, termasuk Abu Yazid Al Busthami yang masih remaja. Mereka melihat pakaiannya yang sederhana. Salah satu perampok memperhatikan lengan bajunya yang terasa sedikit menggembung. Namun, ia tidak menaruh curiga berlebihan. Untuk memastikan, ia bertanya dengan nada meremehkan.

“Apakah engkau membawa sesuatu?”

Tanpa ragu sedikit pun, Abu Yazid menjawab sesuai janjinya. “Ya, aku membawa empat puluh dinar.”

Jawaban itu membuat para perampok saling berpandangan lalu tertawa. Mereka menganggap remaja ini gila atau memiliki gangguan jiwa. Mana mungkin ada orang yang mengaku membawa uang di tengah perampokan? Mereka pun meninggalkannya begitu saja, menganggapnya tidak layak untuk dirampok.

Penaklukan Thabaristan (Bagian 2): Kemenangan di Era Umayyah

Kejujuran yang Mengguncang Pemimpin Perampok

Kawanan perampok itu kembali ke markas mereka di sebuah goa. Mereka menyerahkan semua hasil rampasan kepada pemimpin mereka. Sambil melaporkan hasilnya, salah satu anak buahnya bercerita tentang seorang remaja aneh. Remaja itu mengaku membawa empat puluh dinar, namun mereka biarkan karena terlihat bodoh.

Mendengar laporan itu, sang pemimpin justru membentak. Ia tidak percaya ada orang sebodoh itu. Rasa penasaran menguasai dirinya. Ia merasa harus membuktikannya sendiri. Ia memutuskan untuk kembali ke lokasi kafilah dan menemui remaja itu.

Kedatangan kembali kawanan perampok itu membuat anggota kafilah semakin ketakutan. Mereka mengira akan ada kekerasan lebih lanjut. Pemimpin perampok langsung mencari Abu Yazid. Ia menyeret remaja itu ke hadapannya dengan kasar.

Dengan suara garang, ia bertanya, ”Apa yang engkau bawa?”

Abu Yazid tetap tenang dan memberikan jawaban yang sama. ”Uang keping empat puluh dinar.”

Penaklukan Thabaristan: Merebut Negeri Kapak Persia di Masa Utsmaniyah

Pemimpin perampok semakin tidak sabar. ”Dimana engkau sembunyikan uang itu?”

Dengan sikap polos dan jujur, Abu Yazid menunjukkan letak uang di lengan bajunya. Ia bahkan merobek jahitan itu sendiri dan menyerahkan seluruh uangnya kepada sang pemimpin perampok.

Pemimpin perampok itu tertegun. Ia memegang kepingan-kepingan dinar itu dengan tangan gemetar, bukan karena gembira, melainkan karena takjub. Ia menatap Abu Yazid dengan pandangan tidak percaya.

“Apakah engkau gila, hai anak muda, bagaimana engkau tunjukkan dan engkau serahkan dengan suka rela uang yang engkau simpan begitu rapi sehingga seandainya engkau berbohong pun tentu kami tidak akan mengetahuinya?”

Taubat yang Lahir dari Kejujuran

Abu Yazid Al Busthami kemudian menceritakan semuanya. Ia menjelaskan tentang janjinya kepada sang ibu. Ia tidak ingin mengkhianati amanah ibunya untuk selalu berkata benar, bahkan jika itu membahayakan dirinya.

Penuturan tulus itu menjadi hantaman keras bagi hati pemimpin perampok. Ia terdiam. Bertahun-tahun ia dan anak buahnya mengkhianati perintah Tuhan, merampas hak orang lain, dan menyebar ketakutan. Kini, di hadapannya berdiri seorang remaja yang lebih takut mengkhianati janji kepada ibunya daripada kehilangan hartanya.

Air mata mulai membasahi pipinya yang keras. Ia bergumam dengan suara bergetar, “Laa Haula wa laa Quwwata Illa Billah, engkau takut menghianati janji ibumu, sedangkan kami tidak takut mengkhianati janji Allah?!”

Saat itu juga, sebuah perubahan besar terjadi. Ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk mengembalikan semua harta yang telah mereka rampas dari kafilah. Ia kemudian menghampiri Abu Yazid dan berkata dengan tulus, ”Aku sekarang bertubat setelah belajar kejujuranmu, hai anak muda.”

Melihat pemimpin mereka bertaubat, seluruh kawanan perampok itu pun ikut menyatakan taubat. Kejujuran seorang remaja tidak hanya menyelamatkan hartanya, tetapi juga menyelamatkan seluruh kafilah dan jiwa para perampok itu dari kegelapan. Kisah ini menjadi bukti bahwa kejujuran adalah penyelamat sejati. (Tri)

____________________

Abu Yazid al-Busthami (lahir di Bustham, Persia, abad ke-9 M) adalah salah satu figur sufi paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah Islam. Ia bukanlah seorang penulis buku, melainkan seorang praktisi mistik yang ajarannya menyebar melalui ucapan-ucapan dan kisah hidupnya.

Terkenal dengan kezuhudan (asketisme) yang ekstrem, Abu Yazid meninggalkan segala kenikmatan duniawi untuk sepenuhnya fokus pada Tuhan. Kisah baktinya kepada sang ibu sangat terkenal, di mana ia menganggap ridha ibunya adalah kunci utama untuk membuka pintu menuju pengenalan Tuhan (ma’rifat).


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement