SURAU.CO -Hari ini, 13 Juni 2025, dunia sastra Indonesia merayakan ulang tahun ke-77 Ahmad Tohari. Meski usianya menginjak senja, namanya tetap bergema kuat. Tohari menjadi sumber inspirasi abadi bagi para sastrawan di Tanah Air. Ia membuktikan dirinya sebagai magnet yang tak lekang oleh waktu. Pesonanya bahkan mampu menjangkau generasi Z yang akrab dengan dunia digital.
Karya-karyanya terus hidup dan diapresiasi. Bulan lalu, platform pembaca global Goodreads merilis hasil polling novel Indonesia favorit. Hasilnya menempatkan Ronggeng Dukuh Paruk, mahakarya Ahmad Tohari, dalam posisi empat besar. Novel legendaris ini bersanding dengan karya besar lainnya. Di antaranya adalah Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dari Pramoedya Ananta Toer, serta Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Pencapaian ini menegaskan relevansi Tohari yang melintasi zaman.
Namun, di balik warisannya yang gemilang, sang maestro kini telah meletakkan penanya. Kondisi kesehatan tidak lagi memungkinkannya untuk terus melahirkan karya baru. Kabar ini disampaikan langsung oleh salah satu menantunya, Indro Suprobo.
“Sekarang Bapak sudah tidak menulis. Sejak tahun lalu terkena stroke, beliau mudah lelah dan lupa,” kata Indro Suprobo, ketika dihubungi oleh Surau.co pada Jumat (13/6/2025).
Indro mencoba mengingat kapan persisnya karya terakhir sang mertua terbit di media massa. Awalnya, ia hanya teringat satu judul yang cukup ikonik.
Karya Terakhir Thohari?
“Karya terakhir berupa cerpen, kalau tidak salah dimuat Kompas, saya lupa judulnya. Yang saya ingat, cerpen Bapak yang di Kompas berjudul “Anak yang Mengencingi Jakarta”, yang ilustrasinya dibuat oleh Butet. Apakah setelah itu ada cerpen lagi, saya lupa,” ungkap Indro melalui pesan WhatsApp.
Tak lama kemudian, Indro mengirimkan informasi tambahan. Setelah melakukan penelusuran, ia menemukan dua karya lain yang terbit lebih akhir. Keduanya adalah cerpen yang dimuat di dua media besar. “Mereka Mengeja Larangan Mengemis” terbit di harian Kompas pada 15 September 2019. Sementara itu, “Menembak Mati Tujuh Orang” dimuat oleh Suara Merdeka pada 13 Oktober 2019. Hingga kini, kedua cerpen tersebut diyakini sebagai karya pamungkas Tohari yang dipublikasikan secara luas.

Ahmad Tohari memang dikenal sebagai maestro prosa. Cerpen dan novel menjadi ladang utamanya dalam berkarya. Sepanjang kariernya, ia telah meraih berbagai penghargaan bergengsi. Cerpennya, “Jasa-jasa buat Sanwirya”, meraih Hadiah Harapan dari Sayembara Kincir Emas Radio Nederlands Wereldomroep pada 1977. Novelnya, Di Kaki Bukit Cibalak, juga memenangkan hadiah dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada 1979. Setahun berikutnya, novel Kubah mengantarkannya meraih hadiah dari Yayasan Buku Utama. Puncak pengakuan internasional datang pada 1995 saat ia menerima Hadiah Sastra Asean, SEA Write Award.
Triloginya, Ronggeng Dukuh Paruk, tidak hanya sukses di dalam negeri. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Popularitasnya semakin melambung setelah diadaptasi ke layar lebar dengan judul Sang Penari. Film arahan sutradara Ifa Isfansyah itu sukses besar. Film tersebut berhasil memborong empat Piala Citra di Festival Film Indonesia 2011.
Di antara semua karyanya, novel Kubah memiliki cerita tersendiri. Novel inilah yang menjadi jembatan perkenalannya dengan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tohari mengenang pertemuan itu tidak terjadi melalui jalur keagamaan. Pada 1981, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menobatkan Kubah sebagai novel terbaik.
“Jadi saya kira Gus Dur membaca berita di koran itu, lalu menyuruh orang untuk menghubungi saya, dia bilang ingin bertemu. Maka, kebetulan waktu itu saya sedang bekerja di Harian Merdeka, lalu saya bertemu di PBNU,” jelasnya, seperti dikutip dari nu.or.id.
Ketika Tohari Dituduh PKI
Perkenalan itu ternyata membawa keberuntungan besar. Gus Dur menjadi figur penyelamat saat Tohari menghadapi masa-masa sulit. Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu menganggap karya Ronggeng Dukuh Paruk berbau ideologi kiri. Akibatnya, aparat keamanan memanggil dan menginterogasinya.
“Saya dipanggil ke Komkamtibmas,” kata Tohari, menyebut lembaga keamanan negara yang sangat berkuasa kala itu. “Mereka menuduh saya simpatisan PKI. Saya diinterogasi lima hari, nggak boleh pulang.”
Dalam situasi genting itu, Tohari nyaris tidak berdaya. Namun, sebuah pertanyaan dari interogator justru membuka jalan keluar.
“Kalau kamu bukan PKI, siapa yang bisa menjamin?”
Tanpa ragu, Tohari meminta selembar kertas. Ia kemudian menulis satu nama beserta nomor teleponnya: Abdurrahman Wahid. Seketika, para tentara yang memeriksanya terdiam. Nama besar Gus Dur memiliki pengaruh luar biasa. Setelah itu, Ahmad Tohari pun diperbolehkan pulang. Sebuah kisah nyata yang menunjukkan betapa sastra, politik, dan kemanusiaan pernah berkelindan erat dalam perjalanan hidup seorang sastrawan besar Indonesia.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
