SURAU.CO – Banyak orang menganggap sains dan agama berada di dua kutub yang berlawanan. Pandangan ini sering kali muncul dari sejarah konflik di peradaban lain. Namun, dalam tradisi Islam, hubungan keduanya justru bisa berjalan harmonis. Islam tidak memandang sains sebagai ancaman bagi iman. Sebaliknya, sains dapat menjadi alat untuk memperkuat keyakinan.
Pada dasarnya, Islam mendorong umatnya untuk menggunakan akal. Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk berpikir, mengamati, dan merenung. Alam semesta dengan segala keteraturannya dipandang sebagai tanda-tanda (ayat) kebesaran Sang Pencipta. Maka, mempelajari alam semesta melalui sains adalah salah satu cara untuk mengenal Tuhan.
Jejak Emas dalam Sejarah Peradaban
Sejarah telah membuktikan bahwa Islam dan sains pernah menyatu secara gemilang. Pada masa Zaman Keemasan Islam (sekitar abad ke-8 hingga ke-13 M), dunia Muslim menjadi pusat ilmu pengetahuan. Para khalifah, seperti Harun al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, sangat mendukung perkembangan sains. Mereka mendirikan pusat studi megah seperti Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad.
Di sanalah para ilmuwan Muslim berkarya. Mereka tidak hanya menerjemahkan karya-karya Yunani kuno. Mereka juga melakukan inovasi dan penemuan orisinal yang luar biasa.
Al-Khwarizmi mengembangkan dasar-dasar aljabar.
Ibn Sina (Avicenna) menulis The Canon of Medicine, sebuah ensiklopedia kedokteran yang menjadi rujukan dunia selama berabad-abad.
Ibn al-Haytham (Alhazen) diakui sebagai bapak optik modern karena penelitiannya tentang cara kerja mata.
Bagi mereka, aktivitas ilmiah adalah bagian dari ibadah. Semakin mereka memahami kompleksitas alam, semakin besar pula rasa takjub mereka kepada Sang Khalik.
Dorongan Langsung dari Al-Qur’an
Al-Qur’an bukanlah kitab sains. Tujuannya adalah sebagai petunjuk (hidayah) bagi umat manusia. Namun, di dalamnya terdapat banyak sekali ayat yang mendorong observasi ilmiah. Ayat-ayat ini dikenal sebagai ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar di alam semesta.
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali ‘Imran ayat 190:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulil albab).”
Ayat ini secara eksplisit mengundang manusia untuk mempelajari astronomi, fisika, dan geologi. Orang-orang yang menggunakan akalnya untuk meneliti fenomena alam inilah yang disebut ulil albab. Mereka mampu menangkap pesan keagungan Tuhan di balik hukum-hukum alam yang presisi.
Mendefinisikan Wilayah Masing-Masing
Kunci harmoni antara Islam dan sains terletak pada pemahaman domain masing-masing. Keduanya menjawab jenis pertanyaan yang berbeda.
Sains beroperasi untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”. Ia menjelaskan proses fisik seperti evolusi planet, cara sel bekerja, atau siklus hujan. Fokusnya adalah pada hal yang dapat diamati, diukur, dan diuji.
Sementara itu, Islam (agama) menjawab pertanyaan “mengapa”. Ia memberikan kerangka makna tentang tujuan penciptaan alam semesta. Agama juga mengarahkan kita pada tujuan hidup dan landasan etika.
Keduanya saling melengkapi. Sains tanpa panduan etika agama bisa menjadi destruktif. Sementara itu, agama tanpa pemahaman ilmu pengetahuan bisa menjadi sempit dan jumud. Sains memberikan pengetahuan tentang ciptaan, sementara Islam memberikan kearifan tentang Sang Pencipta.
Menghindari Jebakan dan Menatap Masa Depan
Dalam upaya menyatukan keduanya, kita harus menghindari pendekatan yang keliru. Salah satunya adalah “cocoklogi,” yaitu upaya mencocok-cocokkan penemuan sains modern secara paksa dengan ayat Al-Qur’an. Pendekatan ini justru merendahkan kemuliaan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk abadi.
Pendekatan yang lebih tepat adalah integrasi. Kita menggunakan temuan sains untuk memperdalam pemahaman kita tentang ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, kita menggunakan nilai-nilai etika Islam untuk mengarahkan pemanfaatan teknologi dan sains. Misalnya, etika Islam bisa menjadi panduan dalam isu bioetika seperti kloning atau rekayasa genetika.
Pada akhirnya, hubungan Islam dan sains idealnya adalah hubungan yang saling memperkaya. Akal dan wahyu bukanlah musuh. Keduanya adalah anugerah dari Tuhan yang harus kita gunakan secara seimbang untuk membangun peradaban yang lebih baik.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
