Setiap pertengahan tahun ajaran baru, keresahan orang tua murid selalu muncul serta terus berulang. Mulai dari situs PPDB yang error, dugaan manipulasi domisili, jual-beli bangku sekolah, hingga praktik titip-menitip dari elite lokal. Semua ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan gejala dari krisis tata kelola pendidikan yang tak kunjung selesai.
Padahal, pendidikan merupakan mandat konstitusi. Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan berdirinya Republik Indonesia adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) bahkan menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar.
Namun dalam praktiknya, hak konstitusional tersebut justru tersandung pada satu hal mendasar: sistem penerimaan murid baru.
Implementasi sistem PPDB terdapat masalah
Sistem PPBD salah satu terdapat adanya zonasi mulai berlaku sejak 2017 ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mencoba menghapus dikotomi antara sekolah “favorit” dan “biasa”. Ia ingin meratakan akses pendidikan bagi semua siswa. Pemerintah mendekatkan siswa dengan sekolah di sekitar tempat tinggal mereka dan berupaya meminimalkan ketimpangan.
Nadiem Anwar Makarim, sebagai menteri yang berikutnya melanjutkan kebijakan tersebut dengan berbagai penyesuaian teknis. Meski demikian, publik tetap melayangkan kritik—mulai dari infrastruktur sekolah negeri yang belum merata hingga maraknya manipulasi data dalam proses pendaftaran.
Kini, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi mengganti istilah PPDB menjadi SPMB (Sistem Penerimaan Murid Baru). Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan perubahan ini melalui Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2025. Menteri Abdul Mu’ti, bersama Wakil Menteri Atib Latipulhayat dan Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa mereka ingin memperbaiki berbagai kelemahan dalam sistem PPDB sebelumnya.
Namun, publik patut bertanya: apakah perubahan ini hanya sekadar mengganti nama? Ataukah pemerintah benar-benar menghadirkan perbaikan substansial?
Pemerintah tetap mengandalkan empat jalur penerimaan yang sama seperti PPDB: domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi. Tanpa perombakan signifikan pada mekanisme dan pengawasan, publik berhak khawatir bahwa SPMB hanya menjadi kosmetik kebijakan—mengubah bungkus tanpa menyentuh isi.
Masalah Lama, dengan Nama Baru
Sistem penerimaan murid mencerminkan masalah struktural dalam pendidikan nasional. Pemerintah belum menyelesaikan ketimpangan daya tampung, kualitas sekolah yang tidak merata, serta lemahnya sistem digitalisasi dan pengawasan. Praktik koruptif dalam penerimaan siswa, seperti manipulasi kartu keluarga, jual beli kursi sekolah, dan intervensi elite lokal, tetap marak terjadi.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah bukan sekadar terletak pada zonasi, tetapi pada lemahnya pengawasan negara dan absennya keadilan struktural dalam pendidikan. Jika pemerintah tidak melakukan reformasi menyeluruh dan evaluasi berbasis data, SPMB hanya akan menjadi simbol perubahan tanpa makna.
Desentralisasi, Tapi dengan Akuntabilitas
Ketimpangan antarwilayah masih menjadi tantangan utama. Setiap daerah memiliki karakteristik demografi, ekonomi, dan infrastruktur pendidikan yang berbeda. Karena itu, pemerintah pusat harus melibatkan pemerintah daerah secara aktif dalam menerapkan kebijakan SPMB agar sesuai dengan konteks lokal.
Namun, pelibatan daerah tidak cukup. Pemerintah pusat tetap harus mengoordinasikan pelaksanaan, memberikan asistensi teknis, dan menyalurkan anggaran secara adil. Negara harus memastikan bahwa semua daerah memenuhi standar pelayanan pendidikan dasar. Desentralisasi hanya akan berhasil jika negara membarenginya dengan akuntabilitas yang kuat.
Jangan Jadikan Pendidikan sebagai Alat Politik Simbolik
Dalam suasana politik elektoral, para penguasa sering menjadikan kebijakan pendidikan sebagai panggung pencitraan. Pemerintah bisa saja mengganti nama PPDB menjadi SPMB hanya demi menampilkan kesan reformasi. Jika mereka tidak memperbaiki sistemnya secara substansial, publik akan semakin skeptis terhadap janji perubahan.
Kebijakan pendidikan harus menjawab kebutuhan rakyat, bukan kepentingan politik sesaat. Pemerintah tidak cukup hanya mengganti nama. Mereka harus berani membongkar akar ketimpangan—mulai dari distribusi anggaran, sebaran tenaga pendidik, hingga pengawasan sekolah yang lebih kuat.
Menuju Sistem Penerimaan yang Adil dan Transparan
Sistem penerimaan murid baru adalah gerbang utama untuk mewujudkan hak atas pendidikan. Jika pemerintah gagal mengelola pintu masuk ini, maka cita-cita keadilan pendidikan akan runtuh sejak awal.
Negara harus berhenti menutupi kegagalan kebijakan dengan perubahan simbolik. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk menyusun kebijakan yang membumi, berbasis data, dan berorientasi pada keadilan sosial. Jangan biarkan perubahan nama menjadi satu-satunya hal yang berubah.
Setiap pertengahan tahun ajaran baru, keresahan orang tua murid selalu muncul serta terus berulang. Mulai dari situs PPDB yang error, dugaan manipulasi domisili, jual-beli bangku sekolah, hingga praktik titip-menitip dari elite lokal. Semua ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan gejala dari krisis tata kelola pendidikan yang tak kunjung selesai.
Padahal, pendidikan merupakan mandat konstitusi. Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan berdirinya Republik Indonesia adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) bahkan menegaskan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar.
Namun dalam praktiknya, hak konstitusional tersebut justru tersandung pada satu hal mendasar: sistem penerimaan murid baru.
Ravyansah – Magister Politik dan Pemerintahan, Pegiat Politik dan Kebijakan Pendidikan
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
