Sejarah
Beranda » Berita » Penyebab Banyaknya Aliran Islam: Antara Politik dan Intelektual

Penyebab Banyaknya Aliran Islam: Antara Politik dan Intelektual

Banyaknya aliran dalam Islam lahir dari dinamika politik dan kekayaan pemikiran.

SURAU.CO – Banyak orang bertanya, “mengapa Islam memiliki banyak aliran?” Pertanyaan ini sangat wajar. Kita sering mendengar istilah Sunni, Syiah, Khawarij, hingga beragam mazhab fikih. Keragaman ini acap kali menimbulkan kebingungan, bahkan kekhawatiran akan perpecahan. Namun, memahami akar historis dan intelektualnya dapat membuka wawasan baru. Sebenarnya, penyebab Islam banyak aliran sangat kompleks, mencakup faktor politik, perbedaan interpretasi, hingga pengaruh sosial budaya.

Artikel ini akan mengupas tuntas faktor-faktor utama yang membentuk lanskap pemikiran dalam Islam.

1. Faktor Politik dan Krisis Suksesi Awal

Pemicu paling awal dari perbedaan dalam umat Islam adalah politik. Peristiwa ini terjadi tepat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Umat Islam menghadapi tantangan besar pertama: siapa yang akan menjadi pemimpin?

Krisis suksesi ini melahirkan dua pandangan utama:

Kelompok Pertama (kelak menjadi Sunni): Meyakini kepemimpinan harus berdasarkan musyawarah dan kesepakatan umat. Jalan inilah yang mengantar Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama, sebuah prinsip yang mendasari pandangan mayoritas umat Islam.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kelompok Kedua (kelak menjadi Syiah): Percaya bahwa Nabi telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Bagi mereka, kepemimpinan adalah hak ilahiah yang diwariskan dalam keluarga Nabi (Ahlul Bait).

Ketegangan politik ini semakin tajam setelah Perang Siffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Situasi menjadi lebih kompleks dengan munculnya kelompok ketiga, yaitu Khawarij. Awalnya merupakan pengikut Ali, kelompok ini memisahkan diri karena menolak keputusannya untuk berdamai (tahkim). Kaum Khawarij kemudian mengembangkan pandangan teologis yang ekstrem. Bagi mereka, semua pihak yang terlibat dalam proses tahkim tersebut telah dianggap kafir.

Inilah cikal bakal aliran teologis-politis pertama dalam sejarah Islam. Meskipun bermula dari ranah politik, perbedaan ini seiring waktu berkembang menjadi perbedaan dalam akidah dan fikih.

2. Perbedaan Interpretasi Teks Suci (Al-Qur’an dan Hadis)

Kekayaan intelektual Islam menjadi faktor kedua yang memunculkan beragam aliran. Sumber utama ajaran adalah Al-Qur’an dan Hadis. Akan tetapi, tidak semua teks dalam kedua sumber ini bersifat lugas dan pasti (qat’i). Banyak ayat dan hadis yang bersifat multitafsir (zhanni), membuka ruang untuk pemahaman yang berbeda.

Di sinilah peran ijtihad menjadi sangat penting. Ijtihad adalah upaya seorang ulama untuk menggali hukum dari sumbernya. Para ulama dengan latar belakang dan metodologi berbeda tentu menghasilkan kesimpulan yang beragam pula. Semangat keterbukaan ini tercermin dalam ucapan Imam Syafi’i:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Pendapatku benar tetapi mungkin mengandung kesalahan. Pendapat selainku salah tetapi mungkin mengandung kebenaran.”

Perbedaan ijtihad inilah yang melahirkan mazhab-mazhab fikih besar, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Penting dicatat bahwa perbedaan antar mazhab ini tidak menyentuh pokok-pokok akidah. Kesepakatan pada Rukun Iman dan Rukun Islam tetap terjaga; perbedaan hanya terletak pada detail tata cara ibadah dan muamalah.

3. Pengaruh Geografis dan Akulturasi Budaya

Penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia berlangsung cepat. Agama ini masuk ke Persia, Afrika, Eropa, India, hingga Asia Tenggara. Setiap wilayah memiliki konteks geografis, sosial, dan budaya yang unik. Interaksi antara ajaran Islam universal dengan budaya lokal pun menghasilkan corak keberagamaan yang khas.

Proses ini dikenal sebagai akulturasi, di mana ajaran inti Islam tetap terjaga. Namun, ekspresi budayanya bisa sangat berbeda. Contohnya, arsitektur masjid di Tiongkok sangat berbeda dengan di Maroko. Begitu pula tradisi perayaan hari besar Islam di Indonesia yang memiliki sentuhan lokal. Selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar akidah, keragaman budaya ini justru memperkaya khazanah peradaban Islam.

Ikhtilaf Sebagai Rahmat, Bukan Perpecahan

Meskipun terlihat terbagi-bagi, banyak ulama memandang perbedaan pendapat (ikhtilaf) sebagai rahmat. Ada sebuah ungkapan populer yang sering dinisbatkan sebagai hadis:

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.”

Maknanya adalah keragaman pandangan, terutama dalam fikih, memberikan fleksibilitas. Umat Islam dapat memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan relevan untuk setiap zaman dan tempat.

Kesimpulan

Jadi, penyebab Islam banyak aliran sangatlah multifaset. Semua bermula dari pemicu politik pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dinamika ini berlanjut melalui perbedaan interpretasi teks suci, yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fikih. Pada akhirnya, interaksi dengan budaya lokal di berbagai wilayah turut memberikan warna yang beragam pada praktik keislaman.
Memahami akar perbedaan ini membantu kita menjadi lebih bijaksana. Kita belajar untuk menghargai keragaman pandangan sembari menjaga fokus pada kesamaan fundamental: iman kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan begitu, perbedaan tidak lagi menjadi sumber perpecahan, melainkan bukti kekayaan intelektual dan fleksibilitas ajaran Islam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement