Opinion
Beranda » Berita » Premanisme dan Negara Bayangan: Saat Spasialitas Kekuasaan Menantang Konstitusi

Premanisme dan Negara Bayangan: Saat Spasialitas Kekuasaan Menantang Konstitusi

Di Republik yang berdaulat atas tanah, laut, dan udara, keberadaan entitas bayangan seperti organisasi premanisme bukan sekadar kriminalitas—ia adalah distorsi spasial (ruang) atas legitimasi negara.

Ketika GRIB, melalui juru bicaranya Razman Arif Nasution, melarang seorang gubernur berbicara tentang proses hukum pembakaran kendaraan polisi dengan dalih “intervensi hukum,” sesungguhnya yang terjadi adalah makar dalam bentuk “cognitive territorial war”: yaitu “pengambilalihan wilayah makna oleh narasi-narasi non-konstitusional”.

Pertarungan ini bukan hanya antara hukum dan pelanggaran, tetapi juga antara dua sistem kekuasaan: negara hukum dan negara informal.

Premanisme tidak tumbuh karena hukum lemah, tetapi karena spasialitas hukum yang tidak menjangkau seluruh ruang kehidupan.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Negara menegakkan hukum secara teritorial, sementara premanisme membangun kekuasaan secara jaringan: melalui intimidasi pasar, patronase lokal, dan koneksi politik—seperti kerajaan-mikro yang menancap di titik-titik sosial yang dibiarkan “gelap” oleh negara.

Dalam studi buku People and Pixels, fenomena ini disebut sebagai spasialisasi ketimpangan, ketika pixel-pixel geospasial menyimpan relasi kuasa yang timpang. Ketiks di pasar, terminal bayangan, dan gang-gang pemukiman padat, pola dominasi informal menjadi sangat terlihat jelas, di mana hukum negara surut dan “aturan preman” menggantikannya.

Fenomena ini mungkin tak tampak oleh pejabat dari ruang rapat, namun dapat terbaca oleh drone, satelit, dan AI berbasis deep learning.

Premanisme, dalam konteks ini, adalah anomali geospasial. Negara tak bisa mengatasi masalah ini hanya dengan razia atau pembubaran ormas karena masalahnya adalah distribusi kuasa yang telah mapan secara spasial. Yang dibutuhkan adalah Dashboard Republik: sistem penginderaan spasial berbasis AI, decision support system, dan pemodelan prediktif sosial.

Dashboard ini berfungsi seperti kokpit pesawat canggih, memonitor tekanan sosial, eskalasi konflik, suhu kepercayaan publik, dan deteksi non-state actors. Ketika anomali seperti lonjakan kerumunan atau penguasaan wilayah oleh jaringan informal terjadi, dashboard ini memberikan sinyal peringatan. Presiden dan gubernur bisa mengambil langkah taktis sebelum krisis berkembang.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Namun, kenapa sistem ini belum ada? Negara selama ini masih menganggap masalah premanisme sebagai insiden, bukan gejala sistemik. Dalam perspektif computational governance, negara harus bertindak seperti sistem sibernetika: merasakan, menganalisis, dan bereaksi secara simultan berdasarkan data real-time.

Relevansi tugas pokok Gubernur Jawa Barat, sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, sangat jelas: koordinasi ketertiban umum, perlindungan masyarakat, dan pelaksanaan kebijakan nasional di tingkat daerah. Ketika gubernur membentuk satgas anti-premanisme yang melibatkan TNI dan Polri, itu bukan intervensi, tetapi pelaksanaan mandat konstitusional untuk menghindari makar yang merusak tatanan negara.

Namun, Razman dan kawan-kawan justru menciptakan disonansi kognitif: mereka menuduh negara melakukan intervensi hukum, padahal mereka sendiri menghalangi proses hukum dengan ancaman dan framing publik. Ini bukan hanya pembalikan logika hukum, tetapi juga upaya menciptakan kekuasaan tandingan, makar dalam bentuk yang lebih terselubung dan lokal, seperti yang dilakukan PRRI, Permesta, Kartosuwiryo, dan Kahar Muzakar.

Kita menghadapi tantangan serius: ketika kekuasaan informal mengatur narasi publik, mengatur siapa yang boleh berbicara, dan memagari akses negara ke wilayah sosial, maka kita melihat titik-titik makro disintegrasi spasial negara.

Jika ini dibiarkan, negara akan terfragmentasi, seperti yang terjadi di beberapa kawasan Latin Amerika, Timur Tengah, dan Afrika—di mana negara hanya kuat di ibukota, dan wilayah lainnya dikuasai oleh *“warlords” lokal.

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

Presiden Prabowo dan kabinetnya tak boleh sekadar reaktif. Negara harus dilengkapi dengan instrumen penginderaan spasial dan AI, untuk mengenali wilayah “gelap” tersebut sebagai prioritas penegakan hukum dan reformasi sosial. Dalam geopolitik modern: siapa yang menguasai data spasial, ia yang menguasai ketertiban dan mampu mendeteksi dini potensi makar yang mengancam kesatuan negara. (Tim Litbang/TGP/Brigade XVII)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement