CM Corner
Beranda » Berita » Pemilu Sistem Hybrid

Pemilu Sistem Hybrid

Pemilu Sistem Hybrid
Ilustrasi Pemilu Sistem Hybrid

Oleh: Masykurudin Hafidz, Pemerhati Pemilu dan Demokrasi, Founder CM Management

SURAU.CO Di antara berkah pandemi adalah akselerasi terhadap teknologi. Pembatasan pergerakan sosial dalam dua tahun terakhir memaksa masyarakat untuk membuka jalan baru. HootSuite merilis, pada tahun 2021 pengguna internet Indonesia menembus 200 juta jiwa, atau 73 persen dari total penduduk. Sebagian besarnya, 96 persen, mengakses internet menggunakan ponsel. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah pemilih pada Pemilu 2019. Jika kita proyeksikan pengguna internet terus naik hingga 2024, maka hampir bisa dipastikan seluruh pemilih dapat mengakses informasi kepemiluan dari ponselnya masing-masing. Namun, untuk memanfaatkannya, kita perlu mempertimbangkan pemilu sistem hybrid.

Pengalaman Pilkada serentak tahun lalu adalah contoh sekaligus ladang percobaan. Pertemuan antara penyelenggara pemilu dan pemilih sebagian besar berlangsung secara daring. Begitu pula sebagian praktik kampanye. Bawaslu mencatat, terdapat 401 kegiatan kampanye dalam jaringan sepanjang kampanye Pemilihan serentak 2020. Memang banyak kendala, tapi pembelajaran timbul. Ada efisiensi biaya dan efektivitas waktu. Namun, kita tidak bisa anti teknologi, kita juga harus mengantisipasi kekurangannya.

Tantangan Teknologi dalam Demokrasi

Soelaiman dalam bukunya Dinamika Masyarakat Transisi (1998) sudah mewanti-wanti. Ada beberapa dimensi yang wajib kita antisipasi dalam penggunaan teknologi, tak terkecuali dalam dunia kepemiluan.

Pertama, reifikasi. Ini adalah kecenderungan memandang kenyataan hanya dengan cara pandang kuantitatif. Partisipasi dalam pemilu cenderung hanya kita lihat dari seberapa banyak pemilih datang ke TPS. Padahal, masyarakat bisa datang ke TPS karena berbagai pertimbangan, mulai dari pengetahuan yang cukup hingga intimidasi atau politik transaksional.

Kritik Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz terhadap Kebenaran Empiris

Kedua, potensi manipulasi. Di samping mempermudah, teknologi juga memiliki kekuatan manipulatif. Dari fakta yang sama, teknologi dapat mengubah, menambah, dan menguranginya. Berita bohong, disinformasi, dan misinformasi berkembang pesat, disebar oleh akun-akun robot.

Ketiga, fragmentasi. Teknologi membutuhkan kemampuan spesifik sehingga tidak semua pihak dapat mengaksesnya. Yang mahir menggunakan teknologi belum tentu paham pemilu. Sebaliknya, yang berpengalaman dalam pemilu belum tentu mampu beradaptasi dengan teknologi.

Keempat, individualisasi. Teknologi memang memproduksi keramaian, tetapi keramaian dalam kesendirian. Tujuan teknologi adalah menciptakan ikatan sosial, tetapi tidak jarang hasilnya justru merenggangkan. Percakapan kepemiluan di dunia virtual seringkali hanya untuk menunjukkan eksistensi diri, bukan komunikasi dua arah yang bebas.

Penerapan teknologi informasi jelas membutuhkan penelitian mendalam, apalagi untuk mengelola pemilu Indonesia yang sangat beragam. Latar belakang pemilih dan kondisi kepulauan perlu usaha keras jika kita menerapkannya secara ketat, terutama saat kedekatan fisik dan ikatan emosional antara peserta dan pemilih wajib kita usahakan secara maksimal.

Jalan Tengah: Menuju Pemilu Sistem Hybrid

Budaya masyarakat Indonesia adalah budaya bercengkrama, bertatap muka dalam waktu yang lama. Tradisi ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah republik silaturahmi. Perbincangan lahiriah yang berlangsung alami adalah bentuk komunikasi publik yang bebas. Di sisi lain, pandemi belum akan selesai. Penyelenggara pemilu sudah mengambil langkah ancang-ancang untuk menerapkan protokol kesehatan. Oleh karena itu, berdasarkan kedua kondisi tersebut, penyelenggara dan peserta pemilu seyogianya merumuskan jalan tengah.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Di antara rumusan yang dapat kita canangkan adalah pelaksanaan tahapan pemilu dengan metode hybrid. Pertemuan langsung tatap muka tetap kita laksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Sekaligus, kita perlu menfasilitasi layanan virtual agar orang yang tidak hadir langsung tetap dapat menikmati proses dan hasilnya. Sebagai contoh, saat KPU menjalankan sosialisasi, Bawaslu melakukan pengawasan, atau partai politik melaksanakan kampanye, kegiatan ini bisa mengundang sejumlah pemilih yang terbatas untuk menjamin protokol kesehatan. Sepanjang kegiatan tersebut, penyelenggara juga menyediakan aplikasi di mana pemilih yang tidak dapat hadir langsung bisa mengikutinya secara virtual. Selain itu, kegiatan tersebut juga harus disiarkan secara live streaming dan direkam untuk menjadi bahan publikasi digital.

Dengan metode ini, maka akan semakin bertambah materi dan dokumen digital yang menyebar. Semakin banyak kegiatan hybrid, maka semakin banyak pula sumber-sumber peningkatan pengetahuan bagi pemilih. Penyelenggara pemilu dan partai politik juga dapat mempertimbangkan lokasi dan target sasaran. Jika suatu daerah memiliki jaringan internet yang memadai dan didukung oleh masyarakat terdidik, maka jalur virtual dan media sosial menjadi tumpuan. Ketersediaan dananya kemudian dapat kita alokasikan kepada masyarakat pemilih di daerah terpencil yang hanya bisa didekati dengan cara tradisional.

Pada akhirnya, mendekati masyarakat pemilih tidak bisa hanya dengan satu cara. Beragamnya kondisi geografis dan latar belakang masyarakat mewajibkan kita untuk menggunakan metode komunikasi yang variatif. Pelaksanaan tahapan pemilu sistem hybrid menjadi salah satu solusi terbaik dari kondisi pandemi saat ini.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement