CM Corner
Beranda » Berita » Memilih Tidak Memilih

Memilih Tidak Memilih

Memilih Tidak Memilih

Oleh: Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pascasarjana pada Departemen Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

SURAU.CO Ada dua daerah yang melakukan pemungutan suara ulang tanpa melalui putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan karena kehendak rakyat. Di sana, pemilih lebih banyak mencoblos kolom kosong daripada pasangan calon. Tindakan yang diakomodasi dalam surat suara ini menjadikan Pilkada wajib dilaksanakan ulang pada Agustus nanti, yaitu di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka. Fenomena memilih tidak memilih ini, baik dengan tidak datang ke TPS maupun dengan mencoblos kolom kosong, menjadi alarm bagi kualitas demokrasi kita.

Di dua daerah tersebut, setengah dari pemilih tidak hadir di tempat pemungutan suara alias memilih golput. Dari setengah yang hadir, mayoritas justru mencoblos kolom kosong. Kekalahan pasangan calon, baik dari kelompok yang tidak memilih maupun yang memilih kolom kosong, menjadi alarm bagi kualitas demokrasi kita di tingkat lokal. Tujuan untuk menang mudah dengan membentuk koalisi gemuk dalam mengusung calon tunggal ternyata sebuah kesalahan besar. Hasil Pilkada yang mestinya mudah ditebak justru menciptakan solidaritas penolakan yang kuat. Pemilih yang tidak puas atas kondisi pencalonan, memilih untuk mencoblos kolom kosong atau sekalian tidak datang ke TPS.

Minimnya keterwakilan rakyat dari komposisi pasangan calon menyebabkan partisipasi yang rendah. Semakin rendah tingkat kompetisi, semakin minim pula legitimasi. Semakin kuat niat partai politik untuk menang, semakin jauh mereka dari keterlibatan publik. Upaya mengejar kemenangan dengan memperkecil jumlah pasangan calon direspons dengan protes saat pencoblosan. Anggapan bahwa jumlah pemilih hanya dinilai secara angka juga keliru. Kondisi calon tunggal justru memperkuat literasi politik pemilih. Kesadaran bahwa politik adalah pertaruhan nasib melalui kebijakan publik memperkuat keyakinan bahwa Pilkada adalah momentum perubahan.

Strategi Absen: Memahami Pilihan untuk Tidak Memilih (Golput)

Menghadapi Pilkada dengan calon tunggal, banyak pemilih menentukan untuk menahan partisipasi (non-voting) sebagai sebuah strategi. Ini menjadi pilihan rasional bagi pemilih yang merasa kontestasi politik tidak kompetitif atau hasilnya sudah bisa diprediksi. Dengan demikian, pemilih yang tidak memilih (golput) bukanlah sebuah tindakan irasional. Sebaliknya, ini adalah respons logis terhadap ketidakseimbangan antara biaya (waktu dan tenaga untuk memilih) dan manfaat yang dirasa tidak ada.

Kompleksitas Penyelenggara(an) Pemilu

Tindakan golput mencerminkan ketidakpuasan struktural terhadap sistem politik yang tidak mampu menyediakan pilihan yang bermakna. Hal ini menegaskan bahwa menahan partisipasi, dalam kerangka teori rasional, merupakan ekspresi politik yang memiliki nilai strategis (Verba, Schlozman, dan Brady, 1995). Golput model ini bisa kita kategorikan sebagai tindakan protes dalam diam (silent protest). Jalur golput ini tidak identik dengan apatisme. Sebab, pemilih yang menentukan untuk tidak hadir ke TPS seringkali merasa kecewa terhadap institusi politik, tidak percaya pada penyelenggara pemilu, atau merasa tidak memiliki pilihan yang representatif.

Perilaku pemilih yang melakukan golput didorong oleh evaluasi rasional atas janji politik yang tidak terealisasi. Selain itu, lemahnya program pembangunan atau kekecewaan atas layanan penyelenggara pemilu juga menjadi pemicu. Dalam konteks tertentu, pemilih bahkan menjadikan golput sebagai semacam hukuman elektoral terhadap elite politik yang mereka nilai gagal memenuhi ekspektasi publik. Dengan demikian, keputusan untuk tidak memilih bukan sekadar tindakan pasif, tetapi juga merupakan tindakan politik yang berorientasi pada perubahan.

Strategi Protes: Memilih Kolom Kosong sebagai Perlawanan Aktif

Lebih dari sekadar golput, strategi protes (protest vote) adalah bentuk partisipasi politik di mana pemilih secara sadar memberikan suara kepada kolom kosong. Tujuannya adalah agar pasangan calon yang tidak mereka harapkan menjadi tidak terpilih. Ini adalah bentuk ekspresi ketidakpuasan terhadap pilihan yang tersedia atau terhadap sistem politik secara keseluruhan, tetapi dengan perwujudan aktif di bilik suara (Brennan & Lomasky, 1993).

Mencoblos kolom kosong adalah cara mengirim sinyal protes untuk mendorong perubahan jangka panjang. Pemilih menggunakan berbagai cara alternatif untuk menyuarakan ketidakpuasan dan memobilisasi dukungan terhadap kolom kosong. Ketika wacana politik didominasi oleh elite dan kandidat yang tidak aspiratif, maka menyuarakan pilihan pada kolom kosong menjadi saluran bagi pemilih yang ingin tetap bersuara.

Dengan demikian, pemilih protes mencerminkan dinamika demokrasi yang semakin matang. Ini bukanlah bentuk pelarian, tetapi justru menjadi mekanisme kontrol langsung terhadap oligarki elektoral yang semakin kuat. Dengan memahami pemilih protes sebagai gerakan sosial, para aktor politik perlu mereformulasi strategi politik mereka. Kemenangan kolom kosong berhadapan dengan calon tunggal membuktikan kedigdayaan masyarakat dalam Pilkada. Perolehan suara kolom kosong juga menjaga prinsip kompetisi dalam demokrasi dan mengingatkan partai politik untuk tidak sembarangan dalam mencalonkan kandidat. Pada akhirnya, sikap pemilih untuk memilih tidak memilih wajib menjadi perhatian serius bagi setiap aktor politik yang ingin memiliki masa depan.

Partisipasi Bermakna dalam Pesta Demokrasi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement